Jika
dihimpun, data korupsi di Indonesia memang terlalu banyak. Rentetan kasus
korupsi yang telah terbongkar menyentuh seluruh jajaran pemerintahan, eksekutif
hingga tingkat menteri, legislatif, ataupun yudikatif. Puluhan gubernur dan
bupati/wali kota telah menjadi terpidana ataupun tersangka. Akibat langsung
dari korupsi sangat kasatmata. Banyak proyek yang dibiayai dari anggaran negara
cepat rusak, bahkan roboh sebelum digunakan sehingga merugikan keuangan negara
triliunan rupiah.
Kerugian
lebih besar lagi harus dipikul oleh konsumen karena membayar mahal berbagai
kebutuhan hidupnya. Contoh teranyar adalah skandal impor daging sapi. Pada
tahun 2012, jumlah penduduk Indonesia sekitar 249 juta orang dan konsumsi
daging per kapita 1,9 kilogram. Dengan demikian, konsumsi daging nasional
sekitar 473,1 juta kilogram. Harga daging sapi di Indonesia setidaknya dua kali
lebih mahal daripada harga internasional. Jadi, jika harga daging sapi Rp
90.000 per kilogram, konsumen harus membayar tambahan paling tidak Rp 21,9
triliun. Itu baru daging semata.
Kerugian
Kerugian
bagi perekonomian tentu lebih besar lagi. Korupsi membuat kualitas
infrastruktur kian buruk. Ongkos produksi naik, biaya angkut jadi lebih mahal,
biaya siluman merajalela. Ujung-ujungnya, risiko bisnis meningkat dan daya
saing produk-produk Indonesia tergerus. Terbukti, berdasarkan laporan Doing
Business 2013 terbitan Bank Dunia dan International Finance Corporation,
derajat kemudahan berbisnis Indonesia dalam tiga tahun terakhir masih saja
bertengger di urutan ke-120-an dengan skor yang memburuk. Ujung-ujungnya, daya
saing kita pun merosot dari urutan ke-46 pada tahun 2011-2012 menjadi ke-50
pada tahun 2012-2013 (World Economic Forum, The Global Competitiveness
Report 2012-2013).
Korupsi
juga telah menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan yang amat parah akibat
eksploitasi sumber daya alam berlebihan dan ugal-ugalan. Alih-alih memakmurkan
rakyat, pengusahaan tambang dan perkebunan justru menimbulkan derita rakyat
berkepanjangan. Sumber daya alam yang melimpah tidak membawa berkah, tetapi
kutukan. Kepala daerah menjadikan sumber daya alam sebagai modal politik untuk
meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Mereka
mengobral konsesi pengerukan sumber daya alam kepada para pengusaha dan calo
untuk memperoleh dana haram demi meraih kekuasaan. Intensitas pengerukan
kekayaan alam sudah mencapai tingkat yang mencengangkan. Tengok, misalnya,
ekspor bauksit yang pada tahun 2004 baru 1 juta ton melesat menjadi 27 juta ton
pada 2010 dan 40 juta ton pada 2011. Padahal, sumber daya alam yang tak
terbarukan ini juga merupakan hak generasi mendatang, tetapi sudah dikuras
habis oleh ulah penguasa sekarang. Penerimaan negara dari hasil tambang tak
seberapa dibandingkan dengan kerusakan lingkungan dan kemerosotan moralitas
bangsa.
Walaupun
sudah banyak kasus korupsi yang terbongkar, agaknya baru sedikit
potensi kasus korupsi dan pemburuan rente yang tersibak. Kita tak pernah mendengar
pemerintah bersungguh-sungguh mereformasi tata niaga minyak dan gas bumi
(migas). Untuk ekspor-impor minyak mentah dan produk minyak saja, nilai
transaksinya mencapai 56 miliar dollar AS.
Ditambah
dengan ekspor-impor gas senilai 23,6 miliar dollar AS, sudah barang tentu
bisnis perdagangan migas sangatlah menggiurkan. Volumenya hampir mencapai
cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia sebesar 108,8 miliar dollar AS per
akhir Januari 2013. Belum lagi jika memasukkan volume perdagangan migas di dalam
negeri. Tak heran kalau Indonesia masih bertengger di kelompok negara paling
korup.
Dari
16 negara Asia Pasifik yang disurvei oleh Political and Economic Risk
Consultancy yang berbasis di Hongkong, Indonesia menyandang status negara
terkorup pada tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2011, posisi Indonesia satu
peringkat lebih baik, tetapi dengan skor yang tetap di atas 9 (0 untuk skor
terendah atau paling bersih dan 10 untuk skor tertinggi atau paling korup). Pemilihan
Umum 2014 sebentar lagi. Ada puluhan orang yang telah mengisyaratkan minat
menjadi calon presiden, puluhan ribu calon anggota legislatif (DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Mereka mulai gencar mengumpulkan dana untuk
kasak-kusuk dan sudah barang tentu akan berlipat ganda lagi kebutuhannya kala
memasuki medan laga.
Agar
pemilihan umum tak menghasilkan politisi-politisi korup yang bergandengan
tangan dengan pengusaha-pengusaha pemburu rente sebagai mandarnya, tak ada
pilihan lain kecuali mendeklarasikan darurat korupsi. Sebagai pendiri dan Ketua
Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengambil
langkah tegas. SBY sebagai presiden tentu saja memiliki otoritas melakukan
langkah serupa untuk menghentikan praktik-praktik korupsi yang kian menjamur.
Kerusakan Dahsyat
Jika
Presiden meluangkan waktu berkunjung ke Pulau Buru, dengan kasatmata akan
terlihat kerusakan dahsyat akibat eksploitasi tambang emas. Pulau itu seperti
wilayah tak bertuan, negara tak hadir di sana. Rakyatnya tetap terbelakang.
Hanya segelintir orang yang menguasai perekonomian di pulau tersebut. Sudah
puluhan orang tewas akibat eksploitasi tambang yang sembarangan. Tak hanya di
Pulau Buru, tetapi juga di pulau-pulau besar seperti Jawa dan Sumatera.
Saatnya
di sisa masa pemerintahan ini Presiden mewariskan sesuatu yang bernilai bagi
generasi sekarang dan generasi mendatang. Betul-betul melaksanakan semboyan pro-poor
dan pro-green yang sering didengung-dengungkan. Untuk jangka menengah
dan panjang, tak ada pilihan lain kecuali membangun institusi ekonomi dan
politik yang inklusif, yang mampu menegakkan pagar-pagar kokoh. Dengan
demikian, demokrasi tidak menghasilkan segelintir elite yang dengan leluasa
merampok kekayaan alam dan menciptakan pemusatan sumber daya politik.
Presiden
jangan lekas puas dan terbius oleh kinerja makroekonomi yang cemerlang.
Pembaruan harus terus dilanjutkan, bahkan harus lebih dalam lagi. Jika tidak,
sewaktu-waktu perekonomian bisa terjun bebas lagi karena keadilan semakin jauh
dari hati sanubari rakyatnya.
Jangan sia-siakan momentum emas
bonus demografi karena ia tidak datang dua kali. Lalu, kapan Indonesia bebas
korupsi?
Sumber:
Wawasan, 18/2/2013
0 komentar:
Post a Comment