Kleptokrasi merupakan persoalan besar yang membelenggu bangsa
ini. Dengan kleptokrasi, terjadi penggerusan makna keuangan negara. Tanpa kleptokrasi,
keuangan negara berada dalam derajat yang sangat penting dalam hal membiayai
proyek-proyek pembangunan. Sementara, keberadaan proyek-proyek pembangunan
memberikan kontribusi bagi upaya pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Dengan kleptokrasi, kedudukan keuangan negara tiba-tiba mengalami
degradasi makna: sekadar menjadi obyek pencurian yang diprakarsai
pejabat-pejabat negara.
Tak dapat dibantah, sejak era Orde Baru
kleptokrasi mengemuka sebagai persoalan besar. Kebocoran anggaran negara hingga
mencapai 30%, merupakan manifestasi secara sangat gamblang kleptokrasi. Maka,
muncul harapan-harapan besar di benak publik: tumbangnya Orde Baru disertai
punahnya kletokrasi. Tragisnya, tumbangnya Orde Baru tak otomatis mencerabut
watak kleptokrasi. Justru, kleptokrasi mendapatkan dataran pijak baru setelah
berlalunya rezim Orde Baru. Lebih dari sepuluh tahun setelah Orde Baru tumbang,
Indonesia justru kian diharu-biru kleptokrasi.
Nomenklatur “kleptokrasi” mengacu pada
kata “kleptomania”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan, kleptomania bermakna: “kelainan jiwa berupa keinginan hendak
mencuri yg tidak dapat ditahan-tahan sekalipun barang curian itu tidak berharga
atau tidak berguna sama sekali”. Mencuri dalam konteks ini telah berkembang
sedemikian rupa menjadi tendensi yang mendapatkan penerimaan secara psikologis.
Artinya seseorang merasa tak bersalah secara psikologis, tatkala mencuri.
Kleptomania, dengan demikian, menjadi
dasar langue munculnya istilah “kleptokrasi”. Dalam makna genariknya,
“kleptokrasi” mengandung makna sebagai terbentuknya jejaring kekuasaan yang
diorkestrasi para maling. Dalam kedudukannya sebagai “krasi”, tentu saja
eksponen kleptokrasi tak mungkin dan tak pernah mau menyebut diri mereka
maling. Di sinilah masalahnya. Seseorang tetap mengklaim dirinya warga
terhormat, sekali pun secara hakikat klepto (baca: maling). Di sini,
kleptokrasi telah menghadirkan suatu format kamuflase, di mana para maling
menyelubungi dirinya sebagai kaum terhormat.
Dalam beberapa tahun terakhir, cukup
banyak pejabat negara dijebloskan ke penjara. Sebab pokoknya, mereka eksponen
kleptokrasi. Sekali pun secara kategoris berlatar belakang profesional dan
ilmuwan, mereka merupakan elemen penting kleptokrasi di negeri ini. Tetapi,
terus-menerus mereka menegasikan kesadaran sebagai seorang klepto. Dengan
demikian, muncul kesenjangan makna. Telaah pada tingkat sosiolinguistik
memunculkan kesimpulan, bahwa para pejabat korup merupakan sekumpulan klepto.
Tetapi, retorika yang dilontarkan kalangan kerabat sang pejabat, tak sedikit
pun memberi celah adanya penerimaan terhadap hakikat klepto.
Pengulangan Sejarah
Situasi
Republik Indonesia kini mengalami pengulangan sejarah kembali seperti pada saat
dulu jaman penjajahan. Era dulu mungkin lebih identik dengan penjajahan
bersenjata,namun kini berubah wujud dan bentuk bahkan penjajahan ini mampu
merubah wajahnya dengan wajah yang baru.Namun sesungguhnya esensinya tetap saja
sama. Tetap ada eksploitasi manusia, penghisapan kekayaan bumi nusantara, ketimpangan
sosial, keserakahan, dan penindasan
Saya
selaku penulis tidak ada maksud untuk menyebarkan ratapan dan pesimisme, namun
mari renungkan secara seksama dengan akal sehat dan keobyektifitas yang ada
dalam diri kita masing-masing, apakah yang sedang mendera bangsa ini. Setelah setengah
abad lebih, sejak Ir.Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Rakyat Indonesia
belum sepenuhnya menikmati esensi kemerdekaan itu sendiri. Kemiskinan,
Kemelaratan, Kebodohan, Kekerasan dan masalah-masalah sosial lainnya, masih
begitu lekat dan tampak dalam keseharian kita di depan mata.
Satu
persoalan mendasar negeri ini yang hingga kini belum teratasi adalah praktik
korupsi. Kejahatan tingkat atas bernama korupsi ini hampir merata menjangkiti
seluruh simpul pokok negara dari hulu ke hilir dan berklindan dengan kekuasaan
di legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Korupsi nyaris paripurna menampilkan
identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap
mewujud dalam suatu kemapanan pola dan sukses menjadi totalitas historis atau
menjadi bentuk kehidupan.
Praktik
Korupsi di Indonesia di yakini kian hari kian meningkat,baik secara kuantitaif
maupun kualitatif. Modus operandinya pun makin canggih. Pelakunya juga
beragam,latar belakang profesi,usia,dan pendidikan. Korupsi masih merupakan
penghambat bagi pertumbuhan ekonomi,penghambat kecerdasan anak bangsa, dan
borok bagi nama baik Negara di mata dunia.
Menurut
Transparansi Internasional yang membuat peringkat negara-negara terkorup
di dunia, tahun ini Indonesia menempati ranking ke-4. Sungguh suatu prestasi
yang tidak buruk dalam hal keburukan, korupsi. Ada yang menyatakan bahwa
korupsi sudah merupakan budaya di Indonesia.Korupsi banyak yang menyakini bahwa
dalam prakteknya telah di lakukan secara berkelompok dan sangat tersistematis
dan rapi hampir di semua instansi.
Berjamaah
Korupsi
secara beramai-ramai ini seringkali melibatkan banyak orang dalam sebuah
institusi sehingga kalau ada inspeksi atas keganjilan yang ditemukan, sukar
sekali membongkarnya karena mereka sebagai atasan dan bawahan saling
“melindungi” dan dilanjutkan dengan “kerja sama” dengan auditor. Tidak salah
jika ada orang yang menamai Indonesia sebagai negara “Kleptokrasi”.
Saat
ini, korupsi politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan kelompok politik mana
saja mengingat fragmentasi kekuatan politik di era demokrasi elektoral.
Sejumlah pintu masuk menganga hingga kerap menarik minat para koruptor. Pertama,
sirkulasi jabatan strategis di pemerintahan seperti di sejumlah kementrian yang
memungkinkan pengendalian uang rakyat untuk berubah fungsi menjadi basis
logistik parpol atau kandidat. Hal ini juga berlaku pada posisi-posisi penting
di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Indonesia dan sejumlah aset
negara lainnya yang biasanya teramat rentan untuk dikuasai dan dikendalikan
oleh para koruptor.
Kedua,
dalam penyusunan, pengalokasian dan pendistribusian anggaran. Kerapkali terjadi
politik transaksional, mark up proyek, dan pengaturan ilegal dalam anggaran. Ketiga,
korupsi politik juga kerap terjadi dalam proses penyusunan dan pengesahan UU,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan sejumlah kebijakan publik lainnya.
Korupsi terjadi karena kepentingan para pihak baik pengusaha swasta, pihak
asing maupun institusi pemerintah sendiri dalam lolosnya sebuah regulasi.
Oleh
karena itu ungkapan “di jajah bangsa sendiri” bukanlah isapan jempol belaka,
semua terasa nyata. Koruptor dan komprador telah berkolaborasi berstrategi dan
memainkan pola dengan kejamnya telah memakan secara illegal kekayaan
Negara,seharusnya di pergunakan untuk kemaslahatan bersama. Mereka telah
mengkhianati cita-cita pendirian republik yang menginginkan keadilan dan
kesejahteraan untuk semua warga Negara Indonesia.
Barang Langka
Kejujuran
di Indonesia semakin lama menjadi barang langka, karena kondisi kekinian
menempatkan masyarakat pun memberikan pemakluman terhadap korupsi. Dalam
berbagai kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan akan menjadi
panglima bagi pemberantasan korupsi. Artinya, pada tingkatan wacana dan slogan,
pemerintah dapat di katakana bersungguh-sungguh memerangi korupsi. Namun apa
guna wacana tanpa tampak hasilnya. Rakyat saat ini menunggu hasil kongkrit,
rakyat, perlu wujud nyata,bukan sekedar janji dan harapan.
Kita
tentu tidak ingin fase konsolidasi dan pelembagaan demokrasi terus-menerus
tersandera oleh tindakan korupsi politik. Jika korupsi politik tak bisa
dibatasi dan dikendalikan secara efektif, maka seluruh energi bangsa ini akan
terisap dan benar-benar masuk ke dalam fase negara gagal.
Sumber:
Wawasan 12/2/2013
0 komentar:
Post a Comment