Ongkos politik dalam setiap pemilihan umum memang sangat mahal.
Apalagi, percaturan politik di negeri ini dipanaskan dengan menjelang 2014.
Bahkan, tensi politik nasional dipastikan bakal semakin panas seiring dengan
gaduhnya kontestasi politik lokal. Setelah Jawa Barat, sejumlah provinsi
seperti Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Lampung, Papua dan
beberapa daerah lainnya tinggal menunggu giliran untuk menggelar hajatan
Pilkada. Tercatat, sepanjang tahun ini ada 152 Pilkada (provinsi,
kabupaten/kota), termasuk sebagian yang dimajukan pelaksanaannya, karena masa
jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2014 mendatang.
Mahal
Belum bisa ditaksir besarnya ongkos politik yang akan terakumulasi akibat penumpukan
jadwal pilkada itu. Triliunan rupiah sudah pasti akan mengucur dari kas
negara/daerah. Dalam perhitungan KPU, biaya pilkada periode 2012-2014 mencapai
Rp15 triliun (Kompas, 17/2). Belum lagi ongkos yang dikeluarkan oleh para
kandidat untuk memperoleh tiket pencalonan dari parpol, belanja iklan, menyewa
konsultan politik, kampanye lapangan atau bahkan politik uang.
Menurut Mendagri, Gamawan Fauzi, untuk pencalonan Gubernur
dibutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Padahal, gaji gubernur per tahun hanya
Rp8,7 juta (Tempo, 7/12).
Sementara, ada tesis yang mengatakan bahwa faktor utama pendorong
seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik adalah kepuasan finansial
(Lindenfeld, 1999). Di sinilah barangkali yang menimbulkan paradoks dalam
proses rekruitmen pemimpin politik lokal yang berkualitas untuk memimpin
daerah. Biaya miliaran rupiah yang telah dikeluarkan para kandidat harus
berhadapan dengan tuntutan untuk membangun clean goverment and good governounce.
Wajar jika publik sering bertanya: butuh berapa lama bagi seorang
kepada daerah bisa mengembalikan modal pencalonannya itu? Ongkos kekuasaan yang
begitu mahal inilah yang dinilai banyak pengamat menjadi pintu untuk
melempangkan jalan bagi praktik korupsi. Begitu pula dengan konflik, sengketa
dan ketegangan politik lainnya yang tak bisa dinafikan kehadirannya.
Celah Bahaya
Melambungnya ongkos politik menjadi celah bahaya dan titik rawan
bagi pilkada. Ini akan dimanfaatkan oleh tangan-tangan tak terlihat untuk
bermain di balik layar. Mereka tak lain adalah para pelobi, pengusaha, juragan
media massa, maupun korporasi gelap. Meski kelompoknya kecil masyarakat besar,
namun meminjam ungkapan Gramsci (1981) mereka adalah pemenang wacana atas kuasa
mayoritas. Mereka acapkali mengupayakan agar pilkada beroperasi di bawah sistem
politik bayangan yang telah mereka ciptakan.
Mereka membangun jalinan personal dengan para kandidat layaknya
sebuah hubungan patron
dan klien.
Klien
biasanya memanfaatkan pilkada sebagai lahan investasi dengan cara memberikan
sumbangan modal politik atau dana kampanye demi pemenangan patron. Seperti
investasi dalam bisnis yang menyaratkan keuntungan di kemudian hari. Begitu
pula ketika patron
memenangi pilkada, investasi itu pun berbuah konsesi. Patron harus
memberikan akses kepada klien. Misalnya, pemenangan tender proyek, proteksi usaha
atau jaminan lesensi yang mempermudah klien mengeruk sumber-sumber kekayaan
alam daerah.
Sistem politik bayangan semacam ini berjalan di atas prinsip who
get what, baik materi atau immateri yang dapat dipertukarkan dan saling
menguntungkan di antara mereka. Kasus
suap oleh pengusaha, Hartati Murdaya kepada Bupati Amran Batalipu saat Pilkada
Kabupaten Buol yang sampai kini masih ditangani KPK adalah satu contoh tepat
dari banyak kasus serupa lainnya yang belum terungkap.
Dalam kasus itu diketahui
bahwa suap digunakan untuk biaya pemenangan Amran sebagai petahana, termasuk
menyewa konsultan politik senilai Rp300 juta. Konsesinya adalah memuluskan izin
Hak Guna Usaha perkebunan Sawit di Kabupaten Buol. Investasi bersyarat yang
dilakukan oleh pengusaha atau anonim-anonim gelap lainnya kepada calon kepala
daerah saat pilkada sama artinya menyemai benih korupsi yang merugikan negara
dan rakyat.
Lebih Baik dari
Otoritarianisme
Meski ongkos demokrasi sangat mahal, namun menarik pernyataan Joseph
Stiglitz (2012) bahwa seburuk-buruk demokrasi masih lebih baik dibanding sistem
otoritarianisme. Sama halnya dalam konteks pesta demokrasi di tingkat lokal
ini. Masuknya investor gelap jelang pilkada yang menjalin hubungan patron-klien dengan konsesi bisa dipastikan
hampir selalu terjadi. Begitu pula dengan modus pemberian sumbangan dana
kampanye fiktif
atau melebihi ketentuan batas maksimal yang jarang terungkap oleh pengawas
pemilu atau penegak hukum.
Praktik-praktik semacam itu bukanlah produk instrinsik demokrasi,
melainkan ekses negatif dari perubahan sosio-kultural masyarakat. Di sinilah
pentingnya mendudukkan pilkada bukan semata-mata hanya sebagai proses politik,
melainkan juga menyertakan dimensi ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.
Membuat analisis cost and
benefits menjadi kata kunci untuk menemukan model yang sehat dari berbagai
alternatif model suksesi pemilihan. Institusionalisasi pilkada ke dalam wilayah
ekonomi memerlukan penerapan prinsip-prinsip political management model
yang modern, terbuka, akuntabel, termasuk strategi marketing yang efektif dan
efisien.
Sukses pilkada bukan sekadar mampu melaksanakan berbagai tahapan
sesuai prosedur yang dipersyaratkan, melailnkan juga mampu menghasilkan
pemimpin yang bisa memahami maksud mengapa pilkada dengan biaya miliaran rupiah
itu dibutuhkan. Dari sisi pemberantasan korupsi, penting kiranya merujuk
kembali proses demokrasi pemilihan pejabat publik di Hong Kong.
Kasus korupsi pemilu dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana
korupsi sebagaimana dalam rumusan Elections Corrupt and Illegal Conduct
Ordinary (ECICO). Sementara eksekutornya (KPK-nya) adalah The
Independent Comission Against Corruption (ICAC). Misalnya disebutkan bahwa
proses penegakan hukum korupsi pemilu tidak serta merta terhenti oleh kedaluwarsa
(pemilu telah usai).
Inilah yang seharusnya menjadi dasar pijakan bagi perluasan kewenangan
KPK untuk mencegah praktik-praktik investasi bersyarat itu. Jangan biarkan
momentum pilkada hanya menampilkan ilusi partisipasi sosial untuk menutupi
realitas sebenarnya bahwa kekuasaan dipegang oleh para investor tersembunyi.
Sumber: Koran Wawasan, 25 Maret 2013
0 komentar:
Post a Comment