Pers
harus idealis, objektif, independen, dan selalu mengutamakan nilai-nilai luhur.
Namun, kita akan mengalami kesulitan untuk menemukannya masa kini. Ini sebuah
kenyataan yang, mau tidak mau, malu tidak malu, harus kita pahami dan terima.
Pemeo baru yang berlaku menegaskan “pers
idealis bukan zamannya lagi” menjadi afirmasi dan semacam justifikasi
untuk memosisikan dan memanfaatkan. Bahkan jika perlu memanipulasi pers untuk
kepentingan satu sektor atau satu kepentingan saja, katakanlah kepentingan
profit atau politik saja.
Apakah
pers yang sesungguhnya telah mati atau tengah sekarat menuju kuburan?
Jawabannya, tentu saja beragam. Betapapun kondisi objektif sudah memberikan
faktafakta yang menyetujuinya. Belum lagi fakta yang muncul dari realitas
mediatik, komunikasi, dan teknologi yang menyertainya, yang ternyata
bulat-bulat telah sukses besar menggantikan atau menindih fungsi dan peran pers
yang secara tradisional sudah ratusan tahun coba ia perhitungkan.
Sekarat Menuju Kuburan?
Bahkan
media-media massa/sosial baru, dengan berbagai macam fiturnya, ternyata tidak
hanya mengganti, tapi juga menambah atau melengkapi dengan cara luar biasa
fitur-fitur yang dimiliki pers idealis-tradisional di atas. Media massa kini
bukan lagi sebuah forum searah antara redaksi dan pembaca. Ia menjadi forum dua
arah di mana semua pihak yang terlibat dalam media itu bisa berdialog secara
terbuka dan bebas.
Sebenarnya
dalam posisi itu, media massa kembali pada posisi idealistiknya sebagai
pengabar yang netral. Yang belum dikontaminasi oleh kepentingan sempit. Media
massa, sebagaimana mediamedia baru, tinggal hanya sebagai administratur dari
persoalan publik, penyedia fasilitas mediatik dengan beragam fiturnya.
Tentu saja media massa semacam ini akan jauh
lebih menarik, menantang dan merangsang, khususnya bagi kaum muda yang umumnya
dinamis, progresif, terbuka dan egaliter. Generasi ini mungkin bosan atau
merasa lucu bila harus mengikuti media-media massa tradisional, yang kita
pahami sebagai pera itu, yang bicara seolah dia adalah otoritas atau pemegang
kebenaran.
Kesenjangan
Zaman
Ada
lack atau kesenjangan yang tercipta antara media massa dan pembacanya
masa kini. Kesenjangan tidak hanya dalam tingkat praktis-pragmatis, tapi juga
paradigmatis hingga filosofis. Saya kira, dengan logika ini, akan wajar bila
ada sebuah penelitian yang mengabarkan bagaimana anak muda atau rumah tangga
muda cenderung tidak berlangganan media massa tradisional yang kita pahami
sebelum ini.
Maka,
bila sebuah lembaga sosial-kultural sudah kehilangan fungsi, peran, posisi atau
hakikat yang selama ini membuatnya ada, saya kira secara eksistensialia sudah
mati, atau setidaknya ia menghadapi kematian, atau setidaknya ia menganggap
dirinya hidup, tapi sesungguhnya mati; zombi.
Tapi
kenyataannya, koran, majalah, jurnal, surat berita, dan sebagainya masih
diterbitkan. Pers masih menjadi lembaga yang dihormati. Hari Pers masih diselebrasi.
Masih cukup banyak wartawan dan pemilik uang yang mau `mengorbankan' harta dan
profesionalitasnya untuk menerbitkan media massa baru. Walaupun media itu
segera mati, mereka masih ngeyel untuk bertahan, bahkan menerbitkan kembali
media-media massa baru. Bukan hanya di negeri ini, melainkan juga di belahan
dunia lainnya. Walaupun, saya kira, lebih setengah dari itu sudah ditikam dewa
maut, sengaja melakukan seppuku atau sebagian mentransformasi diri
menjadi media dalam bentuknya yang terbaru.
Matinya
Pers Ideologis
Mungkin
saya dianggap pesimistis bila mengatakan dunia masih dipertahankan oleh ide-ide
dari sebagian kecil para pejuang dan pemikirnya. Atau: bila dunia masih belum
rusak luar dalam saat ini, karena masih ada-ada minoritas kecil yang tetap
idealistis. Tentu saja saya tak mampu menggolongkan diri sebagai pesimistis
apalagi bersikap sinis.
Realitas
mutakhir tampaknya tidak memiliki maksud jahat untuk membunuh idealisme dan
mendepankan pragmatisme. Sains dan teknologi, yang menjadi inti dari peradaban
mutakhir ini, hanya menyediakan semacam alat, arsenal, perangkat lunak dan
keras, untuk kita bisa mengolah kehidupan dengan cara lebih baik daripada
sebelumnya.
Tentu
saja, kita bisa berdebat tentang terma dalam tanda petik di atas. Namun bagi pers
di mana pun, realitas itu telah menjadi hakim yang keputusannya final. Pers
yang mempertahankan ideologidalam pengertian idealisme lama harus menerima
kenyataan ia akan (segera) menjadi zombi. Lembaga lembaga pers berideologi kuat
seperti Kompas, Tempo, Analisa, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat,
Suara Merdeka, dan lain-lain, juga banyak nama besar di luar negeri seperti The
Guardian, Liberation, hingga Time atau New York Times, mungkin sudah mengintip
tempat mereka di San Diego Hills, Kalibata, atau tempat-tempat beristirahat
terhormat lainnya.
Artinya,
bila semua lembaga itu enggan atau tidak mampu mengakselerasi diri dengan SENO
rea litas dan generasi mutakhir di atas, Hari Pers tidak perlu diselenggarakan
lagi kecuali untuk seremoni dan romantisme. Perubahan menyeluruh, hingga ke
tingkat paradigmatik dan filosofis di atas, harus dilakukan untuk memberi acuan
bagi aksi praksis pragmatisnya. Dunia baru tidak dapat ditolak lagi sebagai
semacam keharusan zaman karena pers bukanlah lembaga eksklusif yang punya
kecenderungan memencilkan diri.
Lahir
Kembali
Sebagai
contoh, pers yang dahulu lebih dikendalikan oleh de-ide para redak ide-ide para
redaktur utamanya, kini harus takluk pada pertimbangan bisnis. Pola hubungan di
antara keduanya harus ditimbang kembali. Secara nasional mestinya ada rembuk
dan ufakat bagaimana idealisme mufakat bagaimana idealisme sebuah media massa
masih bisa dipertahankan dalam komprominya dengan kepentingan bisnis yang juga
harus utama.
Contoh
lain, kita tampaknya harus mulai menerima, katakanlah satu contoh kecil,
penggunaan kertas akan menjadi perilaku masa lalu yang bodoh pada masa kini. Di
segala sisinya. Begitu pun praanggapan yang kemu dian seperti men jadi adagium,
pers adalah kebenaran dan otoritas, sebaiknya ditang galkan. Kedua hal utama
itu di masa lalu -kini sudah ke seluruh elemen sosial, bahkan hingga ke
tingkat personal.
Pers
ideologis boleh jadi mati. Tapi pers dan ideologi akan terus hidup bila ia tak
membiarkan dirinya menjadi mayat pucat dan pasi. Pers tak terelak harus
menjalani semacam renaissance, lahir kembali. Menjadi apa? Biar sudah
sekitar 35 tahun saya menjadi insan pers, saya tak berani memberi rekomendasi.
Biarlah selebrator di Manado yang memutuskannya. Yang saya pahami, hanya dengan
lahir kembali, pers Indonesia akan tetap merasakan kehidupan dalam dirinya.
Sumber: Wawasan,
11/2/2013
0 komentar:
Post a Comment