Setelah
seluruh perhatian kita tertuju ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS) minggu lalu,
sekarang perhatian kita tertuju lagi ke partai penguasa, Partai Demokrat,
setelah Majelis Tinggi mengambil alih kegiatan partai dari Dewan Pimpinan Pusat
yang juga Ketua Majelis Tinggi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Masyarakat menunggu apa yang terjadi dengan pengambilalihan operasionalisasi
kegiatan partai tersebut dan implementasinya yang belum jelas. Contohnya,
secara administratif, apakah Ketua Umum Anas Urbaningrum masih menandatangani
surat-surat seperti sediakala, atau sudah beralih ke Majelis Tinggi?
Apakah
para pendukung Anas menerima keputusan Majelis Tinggi itu sebagai penyelamatan
partai, yang berarti penyelamatan bersama dari keterpurukan sebagaimana hasil
survei Saiful Mujani Researsch & Consulting (SMRC)? Yang paling
ditunggu-tunggu masyarakat sebenarnya dan kunci dari segala kemelut yang
dialami partai gagasan dan dirian SBY ini adalah soal status Anas, apakah
terlibat atau tidak dalam kasus korupsi pembangunan pusat pendidikan dan
latihan terpadu olahraga Hambalang.
Gantung di Monas
Mengapa?
Karena Anas dengan segala kepiawaiannya membantah keterlibatannya dengan
mengatakan, “Satu rupiah Anas terlibat korupsi Hambalang, gantung Anas di
Monas.”
Memang harus
diakui keampuhan Anas sebagai tokoh muda berpengaruh besar di masyarakat dan
disayang para seniornya, sekaligus memiliki relasi yang sangat luas, seolah
tidak tersentuh hukum sehingga kuku KPK seolah tumpul. Padahal Nazaruddin
terus-menerus “mengumbar” keterlibatan Anas setiap saat ada kesempatan.
Dengan
ketokohan Anas, muncul ungkapan “ada matahari kembar di Partai Demokrat”
sehingga SBY dengan sejumlah peran dan jabatannya di partai itu seperti
penggagas, pendiri, ketua dewan kehormatan, ketua dewan pembina, seolah
“enggan” bertindak bahkan menegur pun hampir tidak terdengar. Muncul spekulasi, SBY “takut bertindak”
sehingga selalu berlindung di balik asas praduga tidak bersalah, karena KPK
memang belum bersikap sudah sampai setahun lebih.
Apakah
KPK belum cukup menemukan cukup bukti, “masuk angin”, atau ada permainan di
baliknya, menjadi teka-teki tentang keterlibatan Anas. Itulah yang menjadi
persoalan di mata publik, menjadi beban yang harus ditanggung Partai Demokrat
yang mengakibatkan Jero Wacik dan Syarif Hasan buka suara. Apa yang dilakukan
SBY dengan Majelis Tinggi-nya, sebagai orang yang mencintai partainya, adalah
suatu keharusan untuk menyelamatkan dan mencegah dari bahaya kehancuran,
walaupun menurut banyak pengamat amat terlambat.
Sudah
lama terdengar celetukan Ruhut Sitompul agar Anas legowo untuk mundur sementara
sebagai cara menyelamatkan partai. Hampir semua orang mencibirkan malah dia
ditendang dari kepengurusan partai. Para menteri asal Demokrat baru berteriak
dan mengerang saat hasil survei SMSC menunjukkan tingkat elektabilitas
partainya 8,3 persen.
Kita
mengharapkan semoga nasi belum jadi bubur, dan segenap kader Demokrat sepaham
bahwa apa yang terjadi adalah akibat dari adanya dugaan keterlibatan Anas dalam
kasus korupsi Hambalang sebagai masalah murni penegakan hukum yang berlaku bagi
semua orang sama di depan hukum harus dipertanggungjawabkan.
Kalau
semua berprinsip seperti itu, tidak perlu ada intrik atau penolakan terhadap
keputusan Majelis Tinggi. Dengan penerapan Pakta Integritas kepada 33 Ketua DPD
Partai Demokrat, pembenahan dan penertiban mulai berjalan, akan terseleksi
siapa yang mendahulukan kepentingan partai dari kepentingan perorangan dan
solidaritas semu.
Langkah
SBY sebagai penggagas dan pendiri partai adalah suatu keharusan menghindarkan
partainya dari kehancuran. Penyelesaian persoalan politik, sosial, dan
kemasyarakatan lebih cepat akan lebih baik. Kita menyaksikan perpecahan
organisasi apa pun, apalagi partai politik bisa berbuntut panjang. Akibat dari
kelambanan pembenahan di Partai Demokrat, harus diakui akan menyita perhatian
dan waktu SBY, apalagi menjelang pendaftaran calon legislatif. Menurut kita,
cepat tidaknya penyelesaian prahara internal Partai Demokrat tergantung pada
ketegasan KPK tentang status Anas.
Kalau
KPK tetap tarik-ulur, bisa jadi perlawanan atas kebijakan Majelis Tinggi akan
muncul, dan KPK akan dituduh masyarakat bermain politik, yaitu menghancurkan
Partai Demokrat atau melindungi Anas. Kita menunggu proses berikutnya, termasuk
pembenahan Partai Demokrat. Semoga nasi belum jadi bubur alias terlambat
Infrastruktur Politik yang Solid
Pengambilalihan
urusan partai oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat membuahkan hasil positif
sekurang-kurangnya pada satu hal, yaitu kini petinggi partai tidak bisa
sembarangan bicara, saling menuduh, dan menyudutkan pesaingnya di depan umum.
Ini suasana positif karena hancurnya citra Partai Demokrat juga disebabkan
ricuhnya perseteruan antarfaksi. Kasus-kasus korupsi yang menjerat beberapa
tokoh ternyata digunakan oleh faksi-faksi yang bersaing untuk menjatuhkan
lawannya. Ini yang disebut oleh Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) sebagai komunikasi publik yang tidak cerdas.
Kini
SBY memegang kendali dan tidak ada tokoh partai yang berani bersuara
menyimpang. Semua kompak mendukung kebijakan SBY dengan interpretasi mereka
masing-masing. Di satu sisi, sebenarnya keputusan SBY itu baik dalam upaya
menjaga keutuhan partai, meski juga bisa membingungkan pendukungnya karena pengambilalihannya
tidak tuntas.
Kita
hanya bisa menduga-duga apa yang ada dalam benak SBY menyiasati keadaan terus
memburuknya citra partai di mata publik. Pertama, SBY sangat berhati-hati untuk
tidak menabrak frontal ketentuan AD/ART partai, khususnya yang berkaitan dengan
pelengseran ketua umum. Kedua, pengambilalihan partai memperlihatkan
ketidaksabarannya atau semacam “pesan” agar KPK segera menetapkan Anas
Urbaningrum sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pusat olahraga di
Hambalang.
Karena
itu, seandainya KPK benar-benar menetapkan Anas sebagai tersangka kasus
korupsi, ia akan mengundurkan diri atau menghadapi sanksi pemecatan. Bila
posisi ketua umum lowong maka akan memudahkan upaya mendorong terselenggaranya
Konferensi Luar Biasa (KLB) untuk memilih pengganti Anas Urbaningrum. Skenario
ini yang tampaknya menjadi pilihan SBY sehingga ia bisa menghindari tuduhan
melanggar AD/ART, sekaligus memilih orang yang sepenuhnya loyal. Maka, menarik
untuk mengamati siapa calon pengganti Anas.
Ada
kabar bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD didekati untuk posisi itu.
Tokoh ini menarik karena dikenal sebagai pejabat negara yang jujur dan bersih,
selain berkemampuan melakukan terobosan dalam menjalankan tugas-tugas
kenegaraannya. Namun Mahfud bukan kader Demokrat yang tentu bisa menimbulkan
resistensi.
Kita
sebenarnya lebih berkepentingan agar Partai Demokrat solid, tidak terus
bertengkar, sekurang-kurangnya agar dampak negatifnya bisa dikurangi.
Bagaimanapun partai ini telah dibangun, berkembang, dan memberikan kontribusi
besar dalam perjalanan bangsa hampir 10 tahun terakhir. Membiarkan partai ini
hancur sebenarnya sama saja kita tidak berlajar dari sejarah; hanya bisa
membangun namun tidak mampu memelihara dan memanfaatkannya untuk kepentingan
rakyat.
Kita
membutuhkan infrastruktur politik yang solid dan kuat di mana Demokrat ada di
dalamnya. Kita menyadari banyak kelemahan dan kerawanan dalam sistem
kepartaian, bahkan menjadi sarang para petualang dan koruptor. Inilah
tantangannya, bagaimana kita bisa membasmi tikus-tikus tanpa menghancurkan
bangunannya. Apakah SBY bisa? Kita tunggu saja.
Sumber:
Wawasan, 22/2/2013
0 komentar:
Post a Comment