Babak baru
perebutan kursi gubernur Bank Indonesia (BI) kembali dibuka. Ya, saat ini
sedang dicari orang yang tepat untuk bisa duduk di posisi strategis bidang
moneter. Setidaknya, calon yang dijagokan mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Darmin Nasution pada 22 Mei mendatang dipastikan akan lengser dari
jabatannya, karena sudah menjabat selama dua periode. Yakni pada 27 Juli 2009
sampai 1 September 2010, yang saat itu menjadi pelaksana tugas gubernur BI.
Serta menjabat lagi pada 1 September 2010 sampai sekarang.
Sementara
sang calon tunggal Agus Martowardojo, dipastikan maju seorang diri dan bersiap
untuk melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) pada
pertengahan Maret 2013 ini. Kendati Agus Marto mendapat cacian dari anggota
dewan terhormat serta banyak kalangan untuk bisa menjabat sebagai gubernur BI,
Agus mengaku siap duduk di kawasan Thamrin karena ini merupakan tugas negara.
Pemilihan
gubernur BI edisi ini tampaknya pas dengan tahun politik yang sedang terjadi di
tahun Ular ini. Entah, mungkin saja banyak lobi-lobi yang dilakukan demi bisa
menduduki posisi tersebut. Apalagi, banyak yang mengincar kursi gubernur BI.
Tapi
jangan salah, banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dilakukan seorang gubernur
BI yang menjaga stabilitas moneter di antaranya redenominasi, menerapkan financial
inclusion di perbankan, menjaga nilai tukar rupiah, menjaga cadangan devisa
negara, sampai disarankan untuk merancang ulang UU Perbankan.
Namun,
satu tema besar yang sedang hangat dan digadang-gadang pemerintah, yakni
penyederhanaan mata uang alias redenominasi yang rencananya akan diterapkan
dalam sistem keuangan Indonesia. Topik ini pun sudah pasti mendapat pro dan
kontra. Indonesia bahkan dinilai belum siap untuk menjalankan ini.
Awal
mulanya, BI lah yang berinisiatif untuk melakukan redenominasi, namun inisiatif
tersebut harus jelas perundang-undangannya terlebih dahulu. Pembahasan dan
pengesahan RUU tersebut pun masih menunggu ketuk palu dari DPR. Setidaknya,
jikalau memang Agus Marto terpilih menjadi gubernur BI, Agus tampaknya sudah
siap melanjutkan rencana redenominasi tersebut.
Rencana
tersebut tampak jelas terlihat karena Agus terlihat bernafsu untuk
menerapkannya. Kemenkeu, yang saat ini notabene di bawah kepemimpinannya,
berencana melakukan konsultasi serta sosialisasi publik yang tujuannya memberikan
pemahaman redenominasi. Namun, siapapun calonnya, gubernur BI setidaknya harus
mengerti mengenai seluk beluk BI. Pasalnya, jika calon tersebut tidak mengerti
perihal permasalahan di sektor ini, maka hanya menghabiskan waktu untuk belajar
mengenai kompleksitas permasalahan di tubuh BI.
Tugas
berat seakan menanti calon gubernur BI di masa depan. Banyak PR yang belum
rampung, menanti untuk segera diselesaikan. Boleh jadi, program redenominasi
ini sukses di negara-negara lain seperti Turki, Rumania, Polandia, dan Ukraina.
Namun, bagaimana dengan di Indonesia? Masyarakatnya pun tampak belum siap untuk
menerapkan redenominasi ini.
Sang
gubernur BI baru pun setidaknya harus cepat beradaptasi dengan dunia keuangan
yang dinamis dan berputar cepat. Apalagi, bidang perbankan bisa dikatakan
menjadi salah satu sektor yang cukup kompleks. Kita tunggu saja langkah si gubernur baru ini dalam mengontrol
sistem moneter Indonesia.
Mendamba Perubahan
Gubernur BI harus memunyai konsep
mengatur sistem nilai tukar yang tidak luar biasa bebasnya. Sebab, selama ini
asing bisa keluar masuk kapan saja ke pasar uang Indonesia tanpa ada
pengendalian. Ini artinya, BI jangan cuma mengandalkan operasi moneter, tetapi
juga harus berani mengungkap mereka yang bermain-main dengan selisih kurs.
Surat Presiden sudah meluncur ke Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Isinya menyebutkan calon Gubernur Bank Indonesia (BI)
periode 2013-2018. Itu artinya tepat 10 hari setelah Komisi Keuangan DPR
mengirim surat pada 12 Februari 2012. Setelah itu, DPR memiliki waktu tiga
bulan untuk memprosesnya.
Sambil menunggu siapa gerangan Gubenur
BI yang dimaksud, sejumlah harapan bermunculan. Maklum, peran Gubernur BI kali
ini sedikit berbeda dengan sebelumnya-sebelumnya. Ini terjadi, karena tugas BI
sebagai pengaturan dan pengawasan perbankan mulai 2014 telah beralih ke
Otoritas Jasa Keuangan. Dengan kata lain, BI ke depan akan lebih fokus kepada
kebijakan makro prudensial dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Selain itu, berkaitan dengan tugas
Gubernur BI yang secara khusus di atur dalam Undang-undang OJK, maka gubernur
BI bersama Ketua OJK dan Ketua LPS menjadi anggota Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan (FKSSK) yang diketuai oleh Menteri Keuangan. FKSSK ini
merupakan forum resmi para pengambil keputusan di bidang keuangan dan moneter.
Forum ini mirip dan setara dengan Dewan Moneter pada masa Orde Baru.
Peningkatan koordinasi melalui peran dan
fungsi FKSSK diharapkan memperbaiki protokol manajemen krisis di tengah
volatilitas ekonomi global. Melalui FKSSK kepastian kondisi sistem keuangan
secara nasional tidak parsial lagi. Kepastian kondisi krisis akan diberikan
sesuai data akurat hasil kajian FKSSK. Artinya, ada upaya pencegahan untuk
menjaga stabilitas surat utang, APBN, cadangan devisa, dan nilai tukar.
Lebih dari itu, harapan pada gubernur BI
yang baru ialah menjaga independensi BI. Sebab, pada masa sebelum krisis
1997/1998, BI dianggap tidak independen dan tidak mampu mengelak dari
intervensi pemerintah.
Pengalaman selama ini, BI yang tidak
independen ini dianggap sebagai salah satu penyebab krisis. Kini, BI relatif
sudah lebih independen. Lagi pula, Undang-undang BI menjamin siapa pun tidak
boleh mengintervensi BI dalam menjalankan tugasnya.
Dalam jangka pendek, Gubernur BI yang
baru dapat melanjutkan pengelolaan bank sentral secara baik dan bekerja sama
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan koordinasi yang baik. BI
sebagai pengelola moneter, juga punya tanggung jawab membangun sektor riil.
Gubernur BI juga diharapkan mampu
menyusun suku bunga yang pro rakyat kecil. Sebab, selama ini suku bunga di
Indonesia sangat tinggi sehingga menyulitkan masyarakat mengembangkan usahanya.
Padahal, dengan suku bunga rendah dapat menstimulasi kegiatan perekonomian di
Indonesia.
Seperti diketahui, saat ini rasio biaya
operasional perbankan di Indonesia masih terlalu tinggi. Kondisi tersebut
menyebabkan tingginya biaya yang mesti diambil perbankan dari nasabah melalui
mekanisme kredit dan layanan perbankan lainnya. Makanya, BI harus berwibawa
dihadapan pelaku industri perbankan. BI juga jangan mau tunduk dengan keinginan
bank-bank yang tetap menerapkan suku bunga tinggi.
Masih berkaitan dengan langkah jangka
pendek, Gubernur BI juga harus punya rasa nasionalis. Sebab, selama ini pasar
uang dan perbankan Indonesia habis dikuasai asing. Dan lebih memalukan lagi,
kini bank-bank kita jatuh ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, India
dan China. Padahal, perbankan itu menjadi sektor yang sangat penting bagi
sebuah negara untuk mendukung kebijakan perekonomian.
Gubernur BI juga harus memunyai konsep
mengatur sistem nilai tukar yang tidak luar biasa bebasnya. Sebab, selama ini
asing bisa keluar masuk kapan saja ke pasar uang Indonesia tanpa ada
pengendalian. Ini artinya, BI jangan cuma mengandalkan operasi moneter, tetapi
juga harus berani mengungkap mereka yang bermain-main dengan selisih kurs.
Sumber:
Wawasan, 9/3/2013
0 komentar:
Post a Comment