Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di
Koran Barometer, Jumat 20 Maret 2013
Dewasa ini, iklim politik negeri sudah panas. Elite
politik saling sikut sana dan sini. Mereka saling perang dan serang. Perang
urat saraf di media massa pun menjadi menu harian. Panasnya perpolitikan Tanah
Air tak lepas dari kasus rumah tangga Partai Demokrat yang menyeret Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY berdiri atas nama Ketua Dewan
Pembina Partai Demokrat mengambil alih kewenangan.
Pada saat bersamaan Anas Urbaningrum, sang ketua akhirnya
ditetapkan sebagai tersangka korupsi Hambalang. Anas melawan penetapan ini. Ia
berikrar akan membuka lembaran-lembaran baru dari buku catatannya. Kini
berembus kabar Anas sudah mulai membuka skandal Bank Century. Gaduh politik di
pusat ternyata merembet ke daerah. Daerah kembali memanas, salah satunya di
Papua. Peristiwa tersebut seakan menjadi bukti Republik ini penuh dengan
kegaduhan kalau tidak mau disebut anarkisme. Mengapa Republik ini gaduh?
Lunturnya Keadaban Publik
Kegaduhan yang terjadi saat ini menunjukkan betapa
keadaban publik sudah mulai luntur. Proses humanisasi dalam terma pembudayaan
ala Driyarkara sudah semakin terpinggirkan. Proses humanisasi adalah perjalanan
tiap pelaku, aktor, subjek manusia Indonesia yang berjuang dengan cerdas, batin
hening untuk mencipta struktur-struktur hidup bersama yang semakin manusiawi dan
berharkat. Sehingga keragaman sebagai bangsa yang satu mengarah menuju
bernegara yang demokratis dan berkepastian hukum, di mana setiap kemajemukan
dihormati dengan keberlainannya, dan belajar hidup saling damai sebagai warga
negara Indonesia.
Humanisasi pun bermakna kerja-kerja peradaban yang
semakin mencipta kondisi hidup bersama semakin manusiawi, semakin
menyejahterakan satu sama lain, karena orang-orangnya juga saling mengembangkan
kemanusiaan sesama dan dirinya. Humanisasi dari kondisi sosial manusia saling
mengerkah sesamanya sebagai serigala (homo
homini lupus) menuju ke kondisi hidup bersama di mana manusia memperlakukan
sesamanya dan hidup bersama sebagai sahabat (homo homini socius).
Namun, proses humanisasi tersebut belum mampu berjalan
sebagaimana mestinya. Manusia Indonesia masih saja menjadi serigala bagi orang
lain. Saling memangsa dan menyerang pada saat sempit maupun luang. Perilaku
bengis membela kepentingan pribadi dan golongan seperti menjadi sebuah
keharusan. Tidak ada rasa saling memiliki sesama. Orang lain adalah musuh.
Mereka adalah ancaman. Sikap saling curiga semakin menyulut emosi.
Lebih lanjut, keadaban publik hanya ada dalam ucapan.
Namun, dalam perilaku kita saling serang bahkan saling bunuh. Membunuh seperti
menjadi sesuatu yang halal. Padahal pekerjaan ini tidak mencerminkan perilaku
kemanusiaan. Perilaku itu tak lebih seperti hewan. Nafsu hewaniyah berdiri di
atas kemanusiaan yang mulia. Sebuah potret perilaku hidup yang timpang dan
salah arah.
Kegalauan Bangsa
Kondisi yang demikian justru menjadi mantra pemimpin
bangsa ini. Mereka saling terkam, membunuh karakter, dan saling jegal. Aksi
tipu-menipu tidak pernah luput dari keseharian mereka.
Ketika para pemimpin bangsa masih menjadi homo homini
lupus maka tidak aneh jika masyarakat di akar rumput menjadi lebih beringas.
Keberingasan mereka tampak dengan mudahnya disulut emosi dan melakukan
aksi-aksi ala masyarakat bawah, membakar (obong) dan saling bunuh. Hal tersebut
tentunya berbeda dengan tabiat pemimpin kita. Mereka korupsi berbarengan dan
saling membentengi guna menyelamatkan aset bersama. Kesejahteraan hanya milik
penguasa tanpa pernah terdistribusi kepada masyarakat kelas bawah.
Jangan sampai teman sejawat masuk ke penjara. Pasalnya,
ketika teman masuk penjara, banyak orang yang terseret. Gerbong golongan/partai
politik akan tercoreng. Saling melindungi menjadi agenda wajib. Aparat penegak
hukum (KPK) pun perlu dilemahkan guna memuluskan agenda golongan ini. Tujuannya
hanya satu menyelamatkan rumah partai.
Menilik kondisi demikian, tidak aneh jika proses
humanisasi belum bergerak menuju homo homini socius. Masyarakat
Indonesia masih terkotak dalam fragmen-fragmen. Mereka berkumpul bukan atas
nama ke-Indonesia-an, melainkan atas nama kepentingan bersama. Ke-Indonesiaan
telah usang dalam hati mereka. Bendera partai dan kelompok wajib dijaga. Walaupun
negara ambruk yang penting panji partai tetap tegak.
Kebangsaan yang ditandai semangat Pancasila dan UUD 1945
tidak menjadi semangat hidup bersama. Dua nilai luhur bangsa Indonesia seakan
telah tercabut dari akar budaya masyarakat. Ironisnya, nilai-nilai tersebut
hanya menjadi mata pelajaran yang dihafal di bangku sekolah. Hafalan yang
miskin makna dan tanpa bekas.
Maka dari itu, pawiyatan/pendidikan sudah selayaknya
mulai menyadari kondisi demikian. Jika sekolah masih berkutat dengan rutinitas
dan menjunjung tinggi ritual pendidikan ala Barat maka kondisi kebangsaan akan
semakin kronis. Pasalnya, masyarakat tidak dididik menjadi pribadi yang
berkarakter. Pada akhirnya, apa yang terjadi di pusat dan polah tingkat elite
politik saat ini merupakan sebuah jawaban atas kegalauan bangsa. Bangsa tanpa
panglima atau pemimpin.
Jika kondisi ini tidak segera disadari maka kemanusiaan
akan semakin terkoyak dan kebangsaan akan semakin terpinggirkan. Lalu, kita
harus bagaimana?
0 komentar:
Post a Comment