Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) dan Mantan Ketua Fraksi Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) FITK IAIN Walisongo Semarang tahun 2011
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) dan Mantan Ketua Fraksi Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) FITK IAIN Walisongo Semarang tahun 2011
Memang benar, organisasi tidak profit dalam
hal “keuangan”, tetapi organisasi profit dalam hal “ilmu, jaringan, dan membuka
pikiran untuk melihat dunia yang lebih luas”. Itulah yang harus dipikirkan oleh
mahasiswa saat ini.
Jangan pernah berpikir organisasi akan
memberikan apa. Tapi berpikirlah, “aku akan memberikan apa untuk organisasi dan
bangsa ini?”
Menjadi mahasiswa merupakan “kesempatan langka” bagi setiap orang di negeri
ini. Maka dari itu, posisi ini harus dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Jika mengacu
pada Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian, Pengabdian),
mahasiswa diharuskan berorganisasi. Pesan implisit inilah yang tertera pada
poin “pengabdian”. Karena tidak mungkin mahasiswa bisa mengabdi tanpa ikut dan
aktif di organisasi.
Karena itu, aktif di organisasi menjadi suatu “keniscyaan” bagi mahasiswa.
Jika tidak mau berorganisasi, hal itu sama saja “dosa besar”. Hal ini juga
pernah ditulis oleh M Abdullah Badri (2012) dalam bukunya berjudul “Kritik
Tanpa Solusi”. Badri menyatakan, bahwa dosa besar mahasiswa salah satunya
adalah malas membaca, menulis, dan bersosialisasi.
Mahasiswa Ideal
Idealnya, mahasiswa
tidak hanya menjadi insan akademis saja. Namun, mereka juga harus menjadi insan
pengabdi (agen of social change). Yang menjalankan peran sosial dengan mengemban misi mewujudkan masyarakat
adil makmur. Selain beraktivitas yang orientasinya di
perguruan tinggi (back to campus), mahasiswa
juga dituntut untuk bersosialisasi di masyarakat (back to social).
Mahasiswa ideal adalah
mereka yang aktif di perkuliahan dan organisasi, baik intra kampus (BEM, HMJ,
Senat Mahasiswa, UKM), dan ekstra kampus (HMI, GMNI, IMM, KAMMI, PMII,) dan
sebagainya. Menjadi
mahasiswa merupakan kesempatan, sedangkan berorganisasi adalah pilihan, bahkan sudah menjadi “keniscayaan”. Mengapa? Karena hanya
mahasiswa yang mampu bergerak dan mengawal perubahan. Jika tidak mahasiswa,
lalu siapa lagi? Karena tidak mungkin “tukang becak, penjual sayur, dan
pemulung” yang melakukan demonstrasi membela hak rakyat.
Dari sekian banyak lulusan SMA/SMK, hanya sedikit
yang bisa duduk di perkuliahan. Jadi, mahasiswa sebagai “harapan
masyarakat Indonesia,” mereka harus aktif di perkuliahan dan organisasi, hal itu
adalah harga mati.
Secara konsep teoritis mahasiswa aktivis
adalah mereka yang terlibat dalam organisasi, baik intra maupun intrakampus,
sedangkan mahasiswa pasifis adalah mereka yang tidak menyentuh apalagi
menggerakan organisasi. Sehingga stratapun berkata bahwa tipe mahasiswa pasifis
adalah mahasiswa kupu-kupu(kuliah pulang-kuliah pulang)dan mahasiswa aktivis di
identikan dengan mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat). Namun,
kadang-kadang mahasiswa kura-kura ini berubah menjadi mahasiswa kunang-kunang
(kuliah nangkring-kuliah nangkring) bahkan nangkring atau nongkrongnya
pun sampai semester 14. Dan mahasiswa kupu-kupu ini tak ubahnya dengan
mahasiswa itik, yang pergi pagi pulang petang berbaris-baris dengan rapi menuju
kampus dan pulangpun beraturan.
Gairah di Organisasi
Secara sederhana, organisasi bisa diartikan sebagai
wadah serta proses kerjasama antara manusia yang terkait denganhubungan formal
dan rangkaian hirarki untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dari
pengertian di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh mahasiswa.
Pertama, organisasi bukanlah tempat bonafit, profit, dan mencari uang.
Organisasi bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mencapai tujuan atau alat
untuk mengerjakan tugas pokok. Berhubungan dengan itu susunan organisasi haruslah
selalu disesuaikan dengan perkembangan tujuan atu tugas pokok.
Maka dari itu, seharusnya mahasiswa
berorganisasi tanpa mengharapkan uang atau materi. Karena bagi aktivis yang
berorganisasi pasti mengeluarkan uang, bukan justru mendapatkan uang.
Keuda, organisasi adalah wadah serta proses
kerjasama yang terkait dalam hubungan formal. Dalam organisasi selalu terdapat
hirarki artinya dalam suatu organisasi selalu terdapat apa yang dinamakan
atasan dan bawahan untuk selalu berproses dalam mengemba misi organisasi.
Artinya, semua organisasi mahasiswa, baik itu
intra maupun ekstra kampus pasti berorientasi pada perjuangan. Itu pasti. Maka,
sebagai mahasiswa “hukumnya wajib” aktif di organisasi. Memang benar,
organisasi tidak profit dalam hal “keuangan”, tetapi organisasi profit dalam
hal “ilmu, jaringan, dan membuka pikiran untuk melihat dunia yang lebih luas”.
Itulah yang harus dipikirkan oleh mahasiswa saat ini.
Jangan pernah berpikir organisasi akan
memberikan apa. Tapi berpikirlah, “aku akan memberikan apa untuk organisasi dan
bangsa ini?”
Organisasi Intra
Kampus
Organisasi intra merupakan organisasi
mahasiswa yang memiliki kedudukan resmi di perguruan tinggi (PT). Intra juga mendapat pendanaan dari kampus. Jadi, hal tesebut menunjang kegiatan di kampus.
Sesuai aturan PT, organisasi intra terdiri atas
pemerintahan mahasiswa (Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Jurusan
(HMJ), dan Senat Mahasiswa). Selain itu, di kampus juga ada Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM). UKM merupakan organisasi pengembangan bakat minat yang terbagi
menjadi tiga kelompok: UKM olahraga, kesenian, dan unit khusus (Pers Mahasiswa,
Pramuka, Resimen Mahasiswa, Koperasi Mahasiswa), dan sebagainya.
Sebagai wujud implementasi Tri Dharma
Perguruan Tinggi, maka mahasiswa diwajibkan mengikuti minimal satu UKM di kampus, baik di
tingkat fakultas maupun universitas. Namun, fakta di lapangan masih banyak
mahasiswa yang tidak ikut satu pun UKM kampus. Jadi, hal
itu menunjukkan minimnya minat mahasiswa berorganisasi.
Organisasi Ekstra
Kampus
Organisasi ektra merupakan
organisasi mahasiswa di luar kampus
yang bersifat independen. Seperti Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan sebagainya.
Selain itu, di kampus juga ada
organisasi mahasiswa daerah seperti; Lingkar Studi Mahasiswa (LISUMA) Pati, Keluarga
Mahasiswa Kudus Semarang (KMKS), Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS), Ikatan
Mahasiswa Demak (IMADE), Ikatan Mahasiswa Semarang (IKANMAS), Ikatan Mahasiswa
Kendal (IMAKEN), dan sebagainya.
Meskipun dilarang bergerak bebas di
kampus, namun organisasi ekstra selalu mewarnai
kegiatan di dalam maupun luar kampus. Di media sering kita melihat puluhan kader
ekstra berdemontrasi, mengadakan penyuluhan, bakti
sosial, dan sebagainya. Hal itu merupakan
eksistensi organisasi ekstra.
Manfaat Berorganisasi
Sebenarnya, banyak sekali manfaat
yang bisa diunduh dalam organisasi. Bagi aktvisi, mereka mampu mengeluarkan
ide- ide baru sebagai suatu inspirasi bagi mahasiswa lain. Ini juga termasuk
nilai positif dari aktivis mahasiswa yang bisa juga menjadi mahasiswa yang
kritis dalam menanggapi suatu masalah yang sedang marak terjadi. Dengan banyak
kegiatan, mereka bisa memperoleh berbagai wawasan dan pengalaman.
Mereka juga berasumsi bahwa kelak
ketika memasuki dunia kerja itu pasti banyak suatu company yang
membutuhkan seseorang yang mempunyai jiwa keorganisasian dan juga pengalaman
meghadapi suatu pilihan dengan berpikir logis dan sistematis. Dengan keyakinan
tersebut mereka berusaha mengembangkan diri di bidang akademik dan
kemahasiswaan. Tentu kita akan kagum melihat para aktivis yang bisa membagi
otaknya untuk mencapai suatu harapan yang cemerlang. Para dosen pun patut
mengacungkan jempol ketika ada salah satu aktivis mampu menyabet gelar juara
dalam ajang- ajang perlombaan tingkat mahasiswa misalnya mahasiswa memenangkan
karya tulis ilmiah remaja.
Bisa dilihat kan bagaimana mereka
mengaplikasikan apa yang didapatkan selama mengikuti pembelajaran dan apa yang
diperoleh dari kegiatan kemahasiswaanya. Untuk tugas-tugas perkuliahan, mereka
menggunakan waktu senggangnya untuk bertanggung jawab mengerjakan tugas
tersebut. Justru mereka bisa secara mendiskusikan denagn rekannya mengenai
kesulitan dalam materi yang diberikan oleh dosen-dosennya.
Gerakan
Intelektual
Dunia
organisasi memang kompleks permasalahannya. Namun, sebagai wadah intelektualitas gerakan, maka sudah seharusnya, mahasiswa
sebagai oknum intelektual membangun kajian-kajian yang cergas sebagai landasan
gerakan, bukan semata bereaksi karena emosi, justru pencerdasan yang
terinternalisasilah dasar guna membangun militansi yang tulus secara emosional. Setelah mampu tampil beda, dan telah terdiferensiasi dari kerumunan pasar,
adalah sebuah keniscayaan untuk mengintegralkan diri dengan marketing mix yang
menarik, hingga kemurnian dan intelektualitas sebagai basis gerakan akan
terjual dan menjadi komoditi dengan daya akselerasi yang tinggi di dalam pasar
nilai dan budaya mahasiswa.
Marketing mix dalam bisnis identik
dengan 4 P (produk, place, promotion, dan price), intisarinya
adalah tentang alur hingga sebuah komoditi hadir di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks pergerakan mahasiswa, segenap public sphere milik mahasiswa
harus dijadikan tempat untuk mulai membangun alur gerakan, sejalan dengan
semangat ”untuk semua” yang telah dijabarkan sebelumnya. Transfer ilmu serta
nilai harus terus berjalan secara kontinu tidak hanya melalui berpuluh halaman
kajian para aktivis, namun juga melalui media yang lebih luas daya jangkaunya,
mulai dari jejaring dunia maya seperti facebook, twitter dan blog hingga seminar
publik, panggung pentas kesenian, lomba-lomba riset, hingga pertandingan
olahraga.
Dan akhirnya, terkait dengan elemen nilai (value), inilah elemen
yang berperan sebagai ruh dan jiwa dari sebuah komoditi. Meski tak kasat
mata,namun elemen ini berperan penting agar sebuah komoditi dapat hidup tumbuh
dan berkembang. Branding, service dan process, inilah dasar dari
strategi marketisasi pada elemen nilai. Bila kita bingkai konsep ini dengan
keberlangsungan pergerakan mahasiswa, maka hal ini terkait dengan isu yang
diangkat sebagai brand, bagaimana pengangkatan isu gerakan dapat kongruen
dengan pelayanan (service) pada rakyat.
Telah berlalu saat-saat di mana kebebasan berpendapat dikebiri oleh rezim
otoritarian, hari ini gerakan civil society bebas untuk mengekspresikan
dirinya, penguasa pun dipilih dengan relatif demokratis, isu perjuangan pun
harus bertransformasi dari isu sipol (sipil, politik) ke isu ekosob (ekonomi,
sosial, budaya) agar sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang mendambakan akses
terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, harga pangan yang murah, serta
lapangan pekerjaan yang luas dengan remunerasi yang baik.
Dan akhirnya, Roma tidak dibangun dalam semalam, pergerakan mahasiswa pun
harus terus berproses secara kontinu bukan layaknya koboi yang baru beraksi
ketika ada masalah yang timbul, pola gerakan yang reaktif dan hanya mengangkat
isu yang seksi tanpa mengkorelasikannya dengan keadaan nyata masyarakat harus
ditinggalkan.
Melalui rangkaian strategi di atas, dibarengi dengan komitmen tinggi para
pelakunya, maka pergerakan mahasiswa akan kembali menemukan dirinya lagi secara
utuh, kembali bersinar dan disegani, serta pada akhirnya mampu
mewujudkanperubahan demi persada yang sejahtera untuk semua.
Minimnya
Minat
Mahalnya biaya pendidikan, menuntut mahasiswa menyelesaikan
studi tepat waktu. Sehingga, segala energi dikerahkan untuk segera lulus. Jadi,
study oriented menjadi prioritas mahasiswa sekarang.
Namun, apakah cukup dengan ijazah dan IP
tinggi untuk menjalani kehidupan setelah wisuda? ternyata tidak. Dunia kerja tidak
menuntut modal itu saja, ada hal yang
lebih penting, yaitu soft skill. Kemampuan ini terkait dengan keterampilan
berkomunikasi (bahasa), bekerja satu tim, serta kemampuan dalam hal
kepemimpinan, manajemen, dan
organisasi. Jadi, berorganisasi sangatlah penting untuk menunjang hal tersebut.
Dengan alasan mengganggu kuliah, membuat
mahasiswa malas untuk
berorganisasi. Memang ada mahasiswa lalai kuliah karena sibuk berorganisasi. Namun,
masih banyak aktivis organisasi yang lulus tepat waktu dengan IP memuaskan.
Jadi, hal ini hanya masalah manajemen waktu.
Diakui atau
tidak, mahasiswa sekarang lebih aktif pacaran daripada berorganisasi, lebih sering
ke kantin daripada ikut diskusi di forum organisasi. Hal tersebut menjadikan
mereka gagap terhadap problematika umat, karena mereka tidak pernah mendapat
ilmu di organisasi yang mengajarkan untuk bermasyarakat.
Minimnya motivasi dosen, juga membuat mahasiswa “apatis” terhadap organisasi. Sehingga, mahasiswa lebih fokus diperkuliahan saja. Padahal, ilmu dari perkuliahan hanya 25%, sedangkan
yang 75% adalah dari luar kuliah. Artinya, mahasiswa harus mandiri mencari ilmu
tersebut di luar kuliah termasuk
di organisasi.
Berpijak dari fenomena
di atas, sangat sulit bagi organisasi bertahan di era globalisasi seperti ini. Untuk itu, aktivis organisasi harus mengemas kegiatan untuk merangsang mahasiswa ikut organisasi. Jadi, sudah saatnya
aktivis berlomba-lomba untuk mempromosikan kegiatannya dengan hal baru.
Organisasi merupakan jendela
kecil untuk mengenal dunia yang lebih luas. Dengan berorganisasi mahasiswa bisa menambah khazanah intelektual dan
mendapat relasi. Di sisi
lain, organisasi juga berfungsi sebagai kampus kedua (second university) setelah PT.
Khalifah Ali bin Abi
Thalib pernah berkata; “Kejahatan kecil yang terorganisir, akan mengalahkan
kebaikan besar yang tidak terorganisasi”.
Jadi, aktif di perkuliahan dan organisasi adalah keniscayaan.
Tulisan ini dimuat di
Majalah Tuntas, edisi April-Mei 2013.
0 komentar:
Post a Comment