Oleh Hamidulloh Ibda
Pengikrar Kaum Muda Antikorupsi di HI Study Centre IAIN Walisongo,
Saat ini menulis buku “Demokrasi Setengah Hati”, Peneliti Nusantara Centre Jakarta
Tak hanya di terminal,
halte, dan jalanan, sebenarnya preman juga berkeliaran di dunia politik. Namun,
preman politik lebih “elegan” dan “rapi” dari preman jalanan. Jika namanya tak
preman, kita juga bisa menyebutnya sebagai pemain politik.
Perlu diketahui, tiap kali ada
tayangan tentang demo besar atau keributan di mana pun yang sering menjadi
ajang peristiwa macam itu, terbetik kesan masyarakat di tempat itu mudah
bergerak menentang hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, apa pun
alasannya. Gerakan cepat dan serampangan itu sepertinya dijadikan kebiasaan.
Apakah kecenderungan tersebut
berkaitan dengan karakter masyarakatnya? Pertanyaan itu muncul ketika ada wacana kudeta
terhadap pemerintahan sekarang. Sungguh celaka masyarakat bangsa ini bila
dianggap memiliki karakter atau ciri preman dalam perpolitikan. Mengenai
cara-cara tidak terpuji itu, dalam sejarah perpolitikan kita antara lain
terjadi usaha menghalangi tokoh yang berhak naik ke panggung RI-1 atau
melengserkan dan memaksa turun yang sedang berkuasa sebelum jabatannya resmi
berakhir.
Kita memiliki kisah-kisah
pedih tiga dari lima presiden terdahulu Soekarno, HM Soeharto, dan KH
Abdurrahman Wahid yang penghentian mereka dari jabatan masih saja menjadi bahan
kontroversial sampai sekarang. Habibie pun tidak mendapat kesempatan maju
kembali menjadi presiden dan naiknya Megawati ke panggung RI-1 juga memiliki
kisah tersendiri yang patut direnungkan kaum perempuan Indonesia.
Belum kapok dengan
pengalaman-pengalaman tidak membanggakan itu, ada wacana pelengseran presiden
sebelum pemilihan 2014. Memang kebenarannya belum dipastikan, tetapi siapa yang
tidak prihatin mendengarnya? Walaupun tokoh seperti Jenderal (Purn) Luhut
Binsar Panjaitan menyatakan siap tangkal untuk setiap usaha pemakzulan yang
inkonstitusional, tetap saja situasinya tidak mengenakkan. Lacurnya,
walaupun baru wacana, bangkit bermacam asumsi yang mengganggu pikiran.
Misalnya. pemberitaan
media massa telah kebablasan hingga menghebohkan keadaan. Namun ada yang
meyakini sumber kekisruhan ialah pembiaran terhadap semaraknya premanisme dalam
perpolitikan. Mana yang benar, biar publik yang cerdas yang menentukan.
Mencegah Gugatan
Setiap kali ada gugatan terhadap
pemimpin atau mantan pemimpin, hati publik pastilah menjadi gusar. Pada
umumnya, para pemimpin diharapkan menjadi tokoh hebat yang tidak kenal berbuat
salah. Secara dramatis mereka dibayangkan akan mewujudkan mimpi indah. Atau
paling tidak, bertindak sebagai jajaran pahlawan. Kepada merekalah cita-cita
rakyat digantungkan, aspirasi rakyat ditampung dan diterjemahkan.
Malahan menurut anggapan di abad
pertengahan, mereka mendapat kekuasaan yang turun dari langit, ditakdirkan
menjadi pemimpin. Namun terbukti, bahkan sebelum mantan pun, gugatan sering
diajukan. Masalahnya, usaha pencegahannya sering diabaikan. Dalam lintasan
sejarah dunia, ada saja gugatan yang dilancarkan kepada para mantan pemimpin
yang dianggap bersalah.
Misalnya, rakyat Filipina semula
cinta luar biasa kepada Presiden Ferdinand Marcos (1965-1986) dan istrinya,
Imelda. Setelah Marcos lengser, suatu kali diputuskan mengganti nama
jalan-jalan di Filipina yang memakai nama Marcos dan Imelda. Begitu bencinya
rakyat Filipina saat itu. Mendengar nama mereka pun rakyat tak mau. Bagaimana
prosesnya hingga ke sana? Tidak adakah yang peduli mengingatkan perilaku dan
langkah-langkah Marcos sewaktu memangku jabatannya?
Kasus Korea Selatan. Pada 1993, di
bawah pemerintahan Presiden Kim Young-sam, kampanye antikorupsi dilakukan,
antara lain mengadili dua presiden sebelumnya, Chun Doohwan (1980-1988) dan Roh
Tae-woo (1988-1993). Pada 1996 dua-duanya dinyatakan bersalah karena melakukan
pengkhianatan, pemberontakan, dan korupsi. Chun dijatuhi hukuman mati yang
diubah menjadi hukuman seumur hidup, sedangkan hukuman penjara untuk Roh
dikurangi dari 22,5 tahun menjadi 17 tahun.
Dua-duanya pada akhirnya dibebaskan
Desember 1997 berkat pengampunan presiden saat itu, Kim Dae-jung. Jelas bahwa
sebelumnya tidak ada sistem penangkalan terhadap pemimpin yang kebablasan. Kasus presiden
ke-37 Amerika, Richard Nixon (19691974). Nanti sejarah akan membuktikan bahwa
Richard Nixon tergolong politikus ulung di zamannya. Dia berhasil merukunkan
Amerika dan China, dan jasanya itu dicatat sebagai titik awal melemahnya
persekongkolan komunis sedunia. Namun, Nixon sempat digugat rakyatnya dan
proses pengadilannya disiarkan ke banyak negara.
Menurut ukuran kenegaraan,
kesalahannya sebenarnya tidak seberapa: dia menyuruh memasang alat perekam
suara di kantor pemilihan partai politik saingannya. Cacat kecil itu menodai
seluruh kariernya yang besar. Lingkungan seharusnya ikut bertanggung jawab.
Itulah gambaran sisi lain demokrasi.
Mengawal
Menjelang 2014, kita tentu perlu
jeli memilih para pemimpin masa depan dan perlu mengawal kendaraan yang mereka
pilih, yakni partai-partai politik. Itu menjadi tugas dan kewajiban kita
sebagai warga negara sebab partaipartai politik menjadi sarana penting untuk
menciptakan pemerintahan demokratis. Ada anggapan, demi kestabilan
politik, perlu keseimbangan antara ketidakpedulian dan sikap yang aktif dalam
kehidupan politik. Kestabilan politik dianggap demikian penting hingga sikap
apatis dan nonpartisipasi politik di kalangan warga negara pada taraf tertentu
bisa memberikan efek positif untuk mengimbangi sikap ekstrem.
Akan tetapi, jangan mengartikannya
sebagai sikap pembiaran terhadap langkah-langkah salah. Bersikap kritis secara
terukur berarti membangun. Sebaliknya, menggugat secara berlebihan bisa
merugikan karena kesalahpahaman yang timbul sebagai akibatnya. Lagi-lagi
pendidikan politik memang suatu keniscayaan, bahkan untuk kita yang mungkin
merasa telah memahaminya.
Tulisan ini dimuat di Wawasan, 17 April 2013
0 komentar:
Post a Comment