Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis buku
Demokrasi Setengah Hati (Kalam Nusantara; 2013)
Peneliti Senior di Centre for Democracy and Islammic Studies IAIN Walisongo
Semarang
Beberapa
bulan yang lalu, berbagai kontroversi nampaknya sudah
bermunculan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewacanakan istrinya untuk
menjadi calon presiden pada pemilu 2014. Padahal, jika SBY melakukan “politik
dinasti”, maka hal ini akan melukai semangat reformasi yang antidinasti politik.
Selain itu, SBY juga akan dituding khawatir terhadap posisi politiknya setelah
tidak berkuasa lagi.
Pencalonan
Ani Yudhoyono
Ani Yudhoyono merupakan
putri Jenderal Sarwo Edhie Wibowo. Kemudian sejarah mencatat Ani menjadi istri
SBY, lalu muncul ide sejumlah orang mencalonkannya sebagai capres. Hal ini
membuktikan bahwa SBY mengikuti tradisi keluarga pemimpin politik dinasti,
seperti Benazir Bhutto (Perdana Menteri Pakistan ke-12) dan Corry
Aquino (Presiden Filipina 1986-1992).
Wacana pencalonan Ani ternyata
menarik perhatian publik, meskipun sudah ada Sri Mulyani yang kabarnya juga akan
mengikuti pentas pemilu 2014. Ani bukan dari kalangan politikus, namun ia pernah
memegang jabatan Wakil Ketua DPP Partai Demokrat.
Terlepas dari
itu, marilah kita tunggu apakah Indonesia akan dipimpin perempuan yang muncul
karena dinasti, atau tokoh perempuan yang benar-benar karena kualitasnya. Yang
jelas politik dinasti bukanlah jalan keluar dari “krisis kepemimpinan” di
negeri ini. Pasalnya, politik dinasti akan meruntuhkan “demokrasi” di negeri
ini.
Utamakan
Demokrasi
Sangat percuma
meneriakkan demokrasi jika masih menganut politik dinasti. Pasalnya, demokrasi merupakan sistem yang mengedepankan persamaan
hak, baik dihadapan hukum dan politik. Musuh nyata demokrasi adalah “feodalisme”
yang dibungkus dengan politik dinasti. Budaya feodalisme akan meruntuhkan
demokrasi. Selain itu, jika politik dinasti masih diminati, dipastikan akan
terjadi diskriminasi, penindasan, dan akhirnya kelompok minoritas menjadi
korban.
Akan tetapi,
politik dinasti masih saja dipraktekkan para penguasa di negeri ini. Hal ini
dibuktikan dengan wacana SBY yang akan mengusung istrinya Ani. Di sisi lain, alat
penopang demokrasi seperti partai politik, institusi Negara, dan media masa
bukan lagi menjadi penopang sistem demokrasi, melainkan menjadi alat penopang
sistem oligarki. Kenapa demokrasi melarang politik dinasti? Jelas dilarang,
karena politik itu milik semua golongan, bukan individu. Haram hukumnya membangun
“gerbong” dalam politik. Bila politik dinasti masih dilakukan, maka demokrasi
akan runtuh. Kita akan kembali ke masa lampau seperti zaman kerajaan yang mengutamakan
feodalisme. Akhirnya, kekuasaan politik akan dijalankan secara turun temurun
yang menciptakan keluarga “darah biru”. Akibatnya, tujuan bersama dan
kemaslahatan umat akan terbaikan.
Filsuf Italia
Gaetano Mosca, dalam karyanya The Rulling Class (1980) menyatakan
bahwa “setiap kelas menunjukkan tendensi membangun suatu tradisi turun-temurun.”
Bahkan, dalam organisasi demokratis sekalipun, jika sebuah kepemimpinan
terpilih, ia akan membuat kekuasaan dinasti agar sulit digantikan.
Jadi, sudah
jelas bahwa membangun “dinasti” dalam politik hanya bertujuan melanggengkan
kekuasaan golongan. Jangan heran dalam kepemimpinannya akan ditempatkan orang
terdekat yang belum tentu berkualitas. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
setiap pengambilan kebijakan sesuai keinginan individu tertentu. Dengan
demikian, prinsip-prinsip transparansi, aspiratif, dan akuntabel dipastikan tak
akan pernah terwujud, sehingga demokrasi terancam, kebebasan berpendapat
dibungkam, aspirasi rakyat diabaikan dan siapapun yang kritis akan disingkirkan.
Pemilu 2014; Jalan Perbaikan
Pemilu merupakan salah satu cara memperbaiki
negeri ini. Meskipun banyak orang menilai bahwa pemilu merupakan awal
kebobrokan bangsa. Jadi, seharusnya pemilu harus selaras dengan perkembangan
pentas perpolitikan yang ideal. Konsekuensinya, partai politik dan capres harus
menempatkan dirinya menjadi gerakan moral
force and political movement.
Keberanian melakukan aktivitas dalam rangka pembelaan kaum tertindas adalah
agenda yang harus diprioritaskan.
Bahwa masyarakat adil makmur bukan sebuah ”mimpi”, tetapi akan menjadi kenyataan jika demokrasi berjalan baik.
Perjuangan itu harus dilakukan melalui gerakan politik seperti demonstrasi,
audiensi, advokasi terhadap kebijakan-kebijakan yang kontra produktif dengan
semangat pembelaan kaum mustad’afin.
Untuk mewujudkan itu, upaya
perbaikan harus diawali masing-masing calon presiden untuk mewujudkan cita-cita
founding fathers. Upaya itu tidaklah
dapat lepas dari sosok pemimpin selaku nahkoda. Tanpa mengesampingkan demokrasi
sebagai jalan utama. Keberhasilan
pemilu 2012 bukan terletak pada kehebatan dan strategi dalam berpolitik, namun
terletak pada pelaksaan demokrasi dan merangkul perbedaan yang ada menjadi
sebuah harmonisasi dalam payung bersama. Maka dari itu, jika politik dinasti
masih dilestarikan, kecil harapan Indonesia menjadi negara demokrasi yang adil
dan makmur.
Dimuat di Koran Barometer, Edisi Sabtu, 22 Juni 2013
0 komentar:
Post a Comment