Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday, 29 June 2013

Politik Dinasti dan Runtuhnya Demokrasi


Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis buku Demokrasi Setengah Hati (Kalam Nusantara; 2013)
Peneliti Senior di Centre for Democracy and Islammic Studies IAIN Walisongo Semarang


Beberapa bulan yang lalu, berbagai kontroversi nampaknya sudah bermunculan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewacanakan istrinya untuk menjadi calon presiden pada pemilu 2014. Padahal, jika SBY melakukan “politik dinasti”, maka hal ini akan melukai semangat reformasi yang antidinasti politik. Selain itu, SBY juga akan dituding khawatir terhadap posisi politiknya setelah tidak berkuasa lagi.


Pencalonan Ani Yudhoyono
Ani Yudhoyono merupakan putri Jenderal Sarwo Edhie Wibowo. Kemudian sejarah mencatat Ani menjadi istri SBY, lalu muncul ide sejumlah orang mencalonkannya sebagai capres. Hal ini membuktikan bahwa SBY mengikuti tradisi keluarga pemimpin politik dinasti, seperti Benazir Bhutto (Perdana Menteri Pakistan ke-12) dan Corry Aquino (Presiden Filipina 1986-1992).
Wacana pencalonan Ani ternyata menarik perhatian publik, meskipun sudah ada Sri Mulyani yang kabarnya juga akan mengikuti pentas pemilu 2014. Ani bukan dari kalangan politikus, namun ia pernah memegang jabatan Wakil Ketua DPP Partai Demokrat.
Terlepas dari itu, marilah kita tunggu apakah Indonesia akan dipimpin perempuan yang muncul karena dinasti, atau tokoh perempuan yang benar-benar karena kualitasnya. Yang jelas politik dinasti bukanlah jalan keluar dari “krisis kepemimpinan” di negeri ini. Pasalnya, politik dinasti akan meruntuhkan “demokrasi” di negeri ini.
Utamakan Demokrasi
Sangat percuma meneriakkan demokrasi jika masih menganut politik dinasti. Pasalnya, demokrasi merupakan sistem yang mengedepankan persamaan hak, baik dihadapan hukum dan politik. Musuh nyata demokrasi adalah “feodalisme” yang dibungkus dengan politik dinasti. Budaya feodalisme akan meruntuhkan demokrasi. Selain itu, jika politik dinasti masih diminati, dipastikan akan terjadi diskriminasi, penindasan, dan akhirnya kelompok minoritas menjadi korban.
Akan tetapi, politik dinasti masih saja dipraktekkan para penguasa di negeri ini. Hal ini dibuktikan dengan wacana SBY yang akan mengusung istrinya Ani. Di sisi lain, alat penopang demokrasi seperti partai politik, institusi Negara, dan media masa bukan lagi menjadi penopang sistem demokrasi, melainkan menjadi alat penopang sistem oligarki. Kenapa demokrasi melarang politik dinasti? Jelas dilarang, karena politik itu milik semua golongan, bukan individu. Haram hukumnya membangun “gerbong” dalam politik. Bila politik dinasti masih dilakukan, maka demokrasi akan runtuh. Kita akan kembali ke masa lampau seperti zaman kerajaan yang mengutamakan feodalisme. Akhirnya, kekuasaan politik akan dijalankan secara turun temurun yang menciptakan keluarga “darah biru”. Akibatnya, tujuan bersama dan kemaslahatan umat akan terbaikan.
Filsuf Italia Gaetano Mosca, dalam karyanya The Rulling Class (1980) menyatakan bahwa “setiap kelas menunjukkan tendensi membangun suatu tradisi turun-temurun.” Bahkan, dalam organisasi demokratis sekalipun, jika sebuah kepemimpinan terpilih, ia akan membuat kekuasaan dinasti agar sulit digantikan.
Jadi, sudah jelas bahwa membangun “dinasti” dalam politik hanya bertujuan melanggengkan kekuasaan golongan. Jangan heran dalam kepemimpinannya akan ditempatkan orang terdekat yang belum tentu berkualitas. Hal ini dilakukan untuk memudahkan setiap pengambilan kebijakan sesuai keinginan individu tertentu. Dengan demikian, prinsip-prinsip transparansi, aspiratif, dan akuntabel dipastikan tak akan pernah terwujud, sehingga demokrasi terancam, kebebasan berpendapat dibungkam, aspirasi rakyat diabaikan dan siapapun yang kritis akan disingkirkan.
Pemilu 2014; Jalan Perbaikan
            Pemilu merupakan salah satu cara memperbaiki negeri ini. Meskipun banyak orang menilai bahwa pemilu merupakan awal kebobrokan bangsa. Jadi, seharusnya pemilu harus selaras dengan perkembangan pentas perpolitikan yang ideal. Konsekuensinya, partai politik dan capres harus menempatkan dirinya menjadi gerakan moral force and political movement.
Keberanian melakukan aktivitas dalam rangka pembelaan kaum tertindas adalah agenda yang harus diprioritaskan. Bahwa masyarakat adil makmur bukan sebuah ”mimpi”, tetapi akan menjadi kenyataan jika demokrasi berjalan baik. Perjuangan itu harus dilakukan melalui gerakan politik seperti demonstrasi, audiensi, advokasi terhadap kebijakan-kebijakan yang kontra produktif dengan semangat pembelaan kaum mustad’afin.
            Untuk mewujudkan itu, upaya perbaikan harus diawali masing-masing calon presiden untuk mewujudkan cita-cita founding fathers. Upaya itu tidaklah dapat lepas dari sosok pemimpin selaku nahkoda. Tanpa mengesampingkan demokrasi sebagai jalan utama.    Keberhasilan pemilu 2012 bukan terletak pada kehebatan dan strategi dalam berpolitik, namun terletak pada pelaksaan demokrasi dan merangkul perbedaan yang ada menjadi sebuah harmonisasi dalam payung bersama. Maka dari itu, jika politik dinasti masih dilestarikan, kecil harapan Indonesia menjadi negara demokrasi yang adil dan makmur.
Dimuat di Koran Barometer, Edisi Sabtu, 22 Juni 2013
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Politik Dinasti dan Runtuhnya Demokrasi Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda