Oleh
Hamidulloh Ibda
Peneliti Senior
di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 31 Juli 2013
Malam lailatul
qadar sudah ramai dibicarakan orang. Dan sebenarnya, lailatul qadar memberikan spirit perubahan bagi manusia. Banyak
umat Islam membayangkan lailatul qadar sebagai malam penuh keajaiban. Bahkan,
banyak yang memistikkannya sebagai “malam keramat.” Ada yang terlalu
mendramatisir malam lailatul qadar sebagai inti Ramadan. Mereka terpaku
perhatiannya hanya di sekitar waktu penantian lailatul qadar. Sebelum dan
sesudah lailatul qadar diyakini turun semangat amaliah Ramadan mereka
berkurang.
Tak sedikit para
penceramah juga mendramatisir lailatul qadar sebagai malam penuh kenangan. Apa
saja diminta pasti dikabulkan Tuhan. Sehingga, ada jamaah yang membuat list
panjang untuk didoakan di dalam malam itu. Mereka membayangkan malam itu akan
segera mengubah nasib secara sim salabim.
Terlepas dari
itu, yang paling penting bukanlah “mensakralkan” lailatul qadar, namun umat
Islam harus meyakini, mengamalkan, dan meningkatkan ketakwaannya, bukan justru
hanya di momen tersebut. Malam itu memang menjadi “misteri”, bahkan tak seorang
yang bisa mendeteksi secara detail. Karena itu, sejak
dini “pencerahan” tentang lailatul qadar, baik dari segi jatuhnya,
makna, dan hikmahnya.
Menemukan
Dalam
sejarahnya, Nabi Muhammad SAW tak pernah menerangkan malam itu secara jelas dan
detail, karena lailatul qadar merupakan peristiwa mistis, yang di situ setiap
orang mengalami pembedaan jelas antara yang benar dan salah, sehingga dia akan
mengalami transfromasi spiritual. Selain itu, supaya ibadah seseorang tak hanya
“dikultuskan” pada satu waktu saja.
Menurut beberapa
pendapat ulama, malam lailatul qadar terjadi pada “1 malam ganjil” pada 10
malam terakhir di bulan Ramadan (malam ke 21, 23, 25, 27, atau 29). Pendapat
yang paling kuat, terjadinya lailatul qadar itu pada 10 malam terakhir bulan
Ramadan. Aisyah R.A berkata; “Rasulullah ber’itikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadan, dan beliau bersabda, Carilah malam qadar pada malam
ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan” (HR Bukhari dan HR Muslim).
Nurcholish
Madjid dalam bukunya dialog Ramadan bersama Cak Nur (2000) mengatakan bahwa
momen lailatul qadar seharusnya bukan sekadar ditemukan dan dirayakan. Kenapa
demikian? karena banyak budaya ritual lailatul qadar yang “kosong” dari esensi
lantaran hanya menjadi ritual tahunan seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, dan
sebagainya. Maka, sudah saatnya umat Islam mendapat suntikan pencerahan tentang
makna dan esensi lailatul qadar.
Ada beberapa
dalil agama yang dapat digunakan untuk menalar datangnya lailatul qadar.
Pertama, lailatul qadar terdapat pada 10 hari terakhir Ramadan, khususnya pada
malam-malam ganjil. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam
Bukhori, dan Muslim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda “Carilah di sepuluh
hari terakhir, jika tak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.”
Kedua, ketika
datang lailatul qadar, malaikat turun memenuhi bumi sehingga suasana damai
menyelimuti bumi. Selain itu pada malam hari tidak ada angin bertiup, dan tidak
ada daun bergoyang. Ciri-ciri ini dikemukakan oleh beberapa ahli tafsir modern
dari surrah Al-Qadr ayat 5. “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar.”
Ketiga, yang
paling dekat mendapatkan lailatul qadar adalah muslimin yang menghidupkan 10
malam terakhir Ramadan, dengan pergi ke Masjid untuk beri'tikaf. Melakukan
perenungan atau introspeksi pada diri sendiri. Kalau kita berhasil introspeksi,
kita mendapat momentum yang akan mengubah hidup kita.
Momentum
Perubahan
Seharusnya kita
bersyukur karena masih disayang Allah. Sebagai bukti, Allah telah memberikan
umur kepada kita, yang akhirnya kita bisa berjumpa dengan bulan yang penuh
rahmat ini. Meskipun kehadiran lailatul qadar masih menjadi “misteri”, namun
momentum ini merupakan wahana yang tepat untuk melakukan perubahan, baik secara
jasmani dan rohani.
Jika kita
menilik keadaan moral bangsa ini sangat memprihatinkan. Banyak pemuda sekolah
yang melakukan kekerasan, minum-minuman keras, narkoba, dan sebagainya. Banyak
ayah mencabuli anaknya sendiri. Tak mau kalah, para pejabat di negeri ini juga
melakukan kejahatan di luar batas, seperti korupsi, penggarongan uang Negara,
dan sebagainya. Jika di bulan Ramadan dan lailatul qadar tidak bisa mengunduh
“ruhnya”, maka percuma mereka melakukan ibadahn.
Kenapa demikian?
sesungguhnya, lailatul
qadar diturunkan pada malam yang penuh barokah, rahmat dan ampunan,
tidaklah seorang hamba yang taat senantiasa di malam itu memohon pada Allah,
kecuali akan dikabulkan. Betapa ruginya seorang hamba bila melewatkan malam
tersebut.
Lailatul qadar
itu lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat
turun ke bumi dengan izin Allah untuk menebar rahmat. Segala amal baik yang
dilakukan pada malam itu dilipatgandakan pahalanya sehingga seakan-akan seorang
hamba beramal selama 1000 bulan. Rasulullah, tidak memberi tahu kepastian
terjadinya malam lailatul
qadar, agar umat Islam senatiasa menghidupkan amalan sunah dan
semangat beribadah selama bulan Ramadan.
Kunci utama
untuk mendapatkan lailatul
qadar adalah melawan hawa nafsu (setan), menghindari segala macam
bentuk kemaksiatan, serta meperbanyak ibadah terutama shalat malam (qiyamul
lail). Termasuk kewajiban kita
untuk menjaga dan meperingatkan keluarga kita dari hal hal yang merusak
moralitas Islam dan bangsa seperti menonton tayangan-tayangan televisi yang
tidak mendidik dan merusak moral/mental umat Islam Indonesia, khususnya pada
anak-anak kita.
Karena itu,
sudah sepatutnya seluruh umat Islam berbenah diri. Dengan cara menambah iman
dan takwa kepada Allah SWT. Semoga di bulan Ramadan kali ini, kita semua bisa
menjumpai lailatu qadar dan mendapatkan ruh, hikmah, dan pahalanya.
0 komentar:
Post a Comment