Oleh
Hamidulloh Ibda
Direktur
Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng,
Peneliti
Senior Centre for Democracy and Islamic Studies
IAIN Walisongo Semarang
Pada awalnya, tradisi
halal bi halal dilakukan dengan tujuan “bermaafan” antara umat Islam setiap
momen Idul Fitri. Banyak di antara lembaga, institusi, dan birokrasi yang
menggelar tradisi ini. Selain praktis karena tak usah berkunjung ke rumah
saudara satu-persatu, kegiatan ini juga menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan
biaya. Karena itu, setiap momentum Idul Fitri, sering digelar halal bi halal
untuk mempererat tali silaturrahmi dan persaudaraan.
Entah sejak
kapan tradisi ini mulai dilakukan. Namun, yang jelas tradisi ini kemudian
ditiru organisasi-organisasi Islam hingga para pejabat, dengan istilah halal bi
halal. Selanjutnya, instansi-instansi pemerintah atau swasta juga menggelar
tradisi serupa,yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk
agama. Sampai hari ini, tradisi ini berfungsi sebagai media pertemuan dari
segenap warga masyarakat.
Adanya acara
saling memaafkan itu diharapkan hubungan antara atasan dan bawahan atau antara
kepala daerah dan masyarakat menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan. Halal
bi halal dipercaya memiliki efek positif bagi kerukunan dan keakraban
masyarakat, maka tradisi ini perlu dilestarikan dan dikembangkan. Apalagi,
akhir-akhir ini di negeri kita sering terjadi konflik sosial yang disebabkan
pertentangan kepentingan, dari fitnah, penyebaran isu SARA, dan sebagainya.
Karena itu, tradisi ini sangat cocok dilakukan sebagai sarana memupuk
perdamaian.
Makna
Halal bi Halal
Halal bi halal merupakan
istilah yang tersusun dari tiga kata berbahasa Arab, halal, bi, halal. Kata halal diartikan dalam bahasa Indonesia berarti
“boleh”. Jadi, halal bi halal secara harfiah berarti “boleh dengan boleh” atau
“ridho dengan ridho”. Istilah halal bi halal tak dikenal dalam khazanah Bahasa Arab,
bahkan tak diajarkan Rasulullah SAW dan para sahabat.
Istilah dan
tradisi halal bi halal menurut ensiklopedi Islam adalah asli dari Indonesia
yang tidak diketahui siapa pencetusnya. Data ensiklopedi Islam memperkirakan,
tradisi ini mulai dilakukan dalam bentuk upacara sekitar akhir tahun 1940-an
dan mulai berkembang luas setelah 1950. Kegiatan ini sebenarnya tak berbeda
dengan silaturahmi biasa. Yang membedakan, dalam halal bi halal ada kewajiban
saling bermaafan dan bersalaman sebagai wujud memupuk tali silaturrahmi dan
perdamaian.
Pada dasarnya,
halal bi halal diselenggarakan sebagai kegiatan silaturahmi. Tentu saja banyak
manfaat dan pahala yang akan diperoleh. Bahkan,
RasulullahSAW menyatakan, dengan bersilaturahmi, maka manusia akan dimurahkan
jalan rezeki dan dipanjangkan umurnya. Maka, tidak ada salahnya jika umat Islam
mengabadikan tradisi ini. Hampir sebagian besar ormas Islam seperti NU dan
Muhammadiyah mendukung tradisi halal bi halal. Bahkan dalam praktiknya,
biasanya penyelenggara halal bi halal berasal dari kalangan atas, kepala
daerah, petinggi parpol hingga instansi dan ormas Islam.
Mempererat
Tali Silaturrahmi
Kebiasaan halal bi
halal yang dilakukan pasca-Lebaran merupakan momen yang sangat baik untuk
meningkatkan atau mempererat tali silaturrahmi umat muslim dan nonmuslim, karena
selama ini banyak umat nonmuslim mengikuti halal bi halal. Hal ini disebabkan
keterbatasan manusia untuk mengunjungi setiap orang.
Kebiasaan yang
dilakukan dalam satu tahun sekali ini mengandung banyak makna bagi masyarakat
Indonesia. Suasana haru bercampur suka tergambar dari setiap wajah umat muslim
Indonesia saat mengikuti kegiatan halal bi halal. Bagaimana tidak, orang-orang
yang sulit atau jarang ditemui dapat dijumpai di tempat itu. Selain itu, dapat
mengenal orang-orang baru saat pelaksanaan halal bi halal dilakukan. Maka dari
itu, sudah menjadi keharusan umat Islam untuk melestarikan tradisi ini. Membenci
halal bi halal, berarti ia juga membenci silaturrahmi, persaudaraan, dan
perdamaian, karena tujuan tradisi ini adalah untuk menciptakan perdamaian.
Halal bi halal
mampu mengumpulkan banyak orang dalam satu tempat. Dengan begitu, silaturrahmi
dapat berjalan efektif dan mampu menghemat waktu, pikiran, dan biaya. Semangat
baru akan sangat terasa saat pelaksanaan halal bi halal, dan itu diharapkan
dapat berdampak dalam kehidupan sosial masyarakat. Jadi, hal-hal negatif dapat
dihilangkan dari kehidupan.
Halal bi halal
berarti bertemunya dua insan dalam keadaan saling merelakan untuk saling
memaafkan terhadap berbagai kekhilafan dan kesalahan lahir dan batin yang
pernah diperbuat satu sama lain. Jadi, bukan termasuk halal bihalal ketika ada
di antara kaum muslim yang secara lisan mengaku telah saling memaafkan, tapi di
hatinya masih terdapat “karang benci” dan kedengkian yang mengganjal.
Yang terpenting,
umat Islam harus melestarikan tradisi ini sebagai wujud kepeduliaan sosial dan
untuk mempererat tali silaturrahmi. Maka dari itu, melestarikan tradisi ini
merupakan keniscayaan bagi umat Islam yang cinta perdamaian. Akhirnya, selamat hari raya Idul Fitri, mohon
maaf lahir batin.
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, edisi Selasa 13 Agustus 2013
<
0 komentar:
Post a Comment