Oleh Hamidulloh Ibda
Dimuat di Suara Karya, Rabu, 14 Agustus 2013
Pemilu 2014 sudah dekat, dan masalah
kepemimpinan nasional juga semakin gencar diwacanakan. Beriringan dengan itu,
wacana tentang perlu tampilnya kaum muda untuk memimpin Republik digelontorkan,
bahkan kerap berubah menjadi desakan. Bahwa tampilnya "kaum muda",
mewakili zeitgeist (jiwa zaman), baru telah memiliki titik urgensi untuk
memimpin Republik ini. Mengingat dunia baru-zaman baru dengan kompleksitas baru
niscaya membutuhkan pengalaman baru dan harapan baru dengan terobosan-terobosan
baru.
Wacana tentang perlu tampilnya kaum muda
ini juga dilatarbelakangi oleh situasi politik di seputar pemilihan umum
(pemilu) di era modern yang senantiasa berlangsung dalam jiwa zaman baru, yang
di dalamnya selalu ada aneka perubahan radikal dan transformasi besar yang
mempengaruhi iklim politik.
Pertanyaannya adalah kenapa kaum muda
diharapkan tampil memimpin RI? Karena, kalau pun kepemimpinan Republik
pasca-2014 akan kembali ditampilkan kaum tua, apalagi seperti yang sudah muncul
ke permukaan, Megawati, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie, jelas
kemampuan mereka tidak akan berbeda dengan kondisi sekarang.
Arah perjalanan bangsa ini pun sudah bisa
ditebak mau dibawa ke mana. Perubahan bangsa yang diharapkan pun dapat diyakini
tidak dapat berjalan semestinya dan secara signifikan sesuai dengan harapan
publik. Lalu, apakah dengan demikian kaum tua rela membiarkan kursi kekuasaan
itu direbut dan digenggam oleh kaum muda? Dari perspektif itu, tentu saja
kekuasaan itu tidak akan diizinkan oleh kaum tua untuk diperebutkan dan
digenggam kaum muda.
Jika kaum muda ingin mendapatkan kursi
kekuasaan sebagai pemimpin Republik, itu harus diperjuangkannya, bukan
mengharapkan bisa diperoleh begitu saja apalagi sebagai hadiah. Ingat, sejarah
kekuasaan juga mengisahkan bahwa kekuasaan itu hadir karena diperebutkan, baik
secara halus lewat pemilu yang demokratis, maupun lewat revolusi yang
berdarah-darah.
Dalam situasi politik bangsa yang berjalan
normal seperti sekarang ini, kita tentu tidak membutuhkan jalan revolusi untuk
menemukan hadirnya seorang pemimpin yang dapat menggerakkan roda pergerakan
bangsa. Lagi pula, perebutan kekuasaan lewat jalan kekerasan atau revolusi,
bukan zamannya lagi. Karena, jalan tersebut cermin bebalisme, barbarianisme dan
kepicikan alias irasionalitas. Yang dibutuhkan adalah rekayasa politik
demokratik yang memungkinkan dapat tampilnya pemimpin dari kalangan kaum muda.
Misalnya, parpol harus membuka peluang
bagi tampilnya kaum muda untuk memimpin Republik. Parpol harus menciptakan
regenerasi kepemimpinan kebangsaan yang baik. Mengapa parpol? Karena regulasi
konstitusi UUD 1945 Pasal 6A Ayat 2, "Pasangan calon presiden dan wakil
presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum". Hingga kini belum ada
amendemen atau judicial review di Mahkamah Konstitusi agar calon independen
dapat bertarung di jalan perebutan kekuasaan pemimpin Republik.
Dengan membuka peluang itu, rakyat diberi
kesempatan memilih pemimpin dari kaum nama pun, bukannya dipaksa atau diarahkan
hanya untuk memilih kaum tua. Pemberian kesempatan kepada kaum muda untuk
tampil memimpin Republik oleh parpol tidak lain sebagai bentuk kaderisasi
kepemimpinan yang dilakukan parpol. Ingat, sulit tampilnya kaum muda di pentas
kepemimpinan nasional karena kegagalan parpol dalam melakukan kaderisasi.
Kegagalan parpol itu karena tradisi
kepartaian di Indonesia masih dominan dengan tradisi feodal, oligarkis, dan
transaksional. Tradisi tersebut memang lekat dengan kuatnya politik figur dan
minimnya upaya mentransformasikan politik figur.
Peluang Kaum Muda
Karena kekuasaan itu harus
"diperjuangkan" alias "diperebutkan" maka kaum muda harus
berjuang untuk mendapatkannya. Karena perebutan kekuasaan itu ibarat menghadapi
tembok tebal, usaha pertama adalah merobohkan tembol tebal itu. Kalau lewat
parpol, kaum muda harus berjuang agar kebiasaan mendahulukan ketua umum menjadi
capres yang umumnya dari kaum tua harus dihilangkan. Kaum muda harus membangun
citra politik dalam parpol agar mereka dapat mengajukan dirinya untuk menjadi
capres. Kedua, jika halangannya di dalam konstitusi, perjuangan kaum muda
adalah mendesak agar segera diamendemen konstitusi agar calon independen dapat
diberikan kesempatan untuk bertarung.
Karena itu, kaum muda pun bebas
mencalonkan diri lewat jalur independen. Sayang bahwa ini tidak mungkin
dilakukan sekarang ini, alias pintu sudah tertutup bagi calon independen
mengingat pemilu 2014 sudah tidak lama lagi. Jika itu tidak diperjuangkan, kita
akan kembali menghadapi masalah yang sama setiap kali ketika mewacanakan
tentang perlu tampilnya kaum muda untuk memimpin Republik.
Untuk menggapai harapan itu, wacana
tentang perlu tampilnya kaum muda ini perlu terus-menerus digelontorkan, dan
ditambah sejumlah langkah progresif yang dibangun kaum muda sendiri, dengan
dukungan agenda-agenda yang visioner demi menarik simpatik publik untuk ikut
berjuang menempatkan kaum muda di garis terdepan kepemimpinan Republik.
Tentu saja peran pers menjadi sangat
penting dibutuhkan untuk mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin dari kaum muda.
Karena zaman baru dengan zeitgeist yang terus berubah cepat, kita sangat
membutuhkan pemimpin yang lebih terbuka, lentur, dinamis, adaptif, lincah, dan
kreatif, yang memang lebih menjadi sifat dasar dan jiwa kaum muda. Saatnya kaum
muda memimpin. Yang merasa tua dan tak mampu memimpin, silahkan mundur!
Penulis adalah direktur eksekutif Forum
Muda Cendekia (Formaci)
Jateng, mahasiswa program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Jateng, mahasiswa program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
0 komentar:
Post a Comment