Oleh
Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Koran Barometer, 7 Agustus 2013
Idul Fitri
selalu datang bersama tibanya 1 Syawal dalam penanggalan hijriah. Setelah satu
bulan umat Islam berpuasa, telah sempurnalah puasa tersebut dengan hadirnya
Idul Fitri. Bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam, ketibaan Idul Fitri
menjadi istimewa. Inilah hari raya ketika sukacita diekspresikan dan nestapa
disembunyikan. Di hari raya ini, tak boleh seorang pun umat muslim kelaparan.
Bagi kaum muslim di Saudi Arabia, Persia, dan beberapa kawasan Timur Tengah,
Idul Fitri berlangsung biasa-biasa saja, berbeda dengan Idul Adha 10 Zulhijjah,
yang disebut sebagai Idul Akbar.
Lepas dari
tradisi umat Islam, Idul Fitri merupakan momen penting seluruh mukmin
bercermin, menempa, dan memperbaiki kualitas diri. Intensif mengevaluasi neraca
keimanan dan ibadah, kemudian memperbaikinya menjadi lebih baik secara
berkelanjutan. Hal itu sesuai dengan hakikat Ramadan sebagai sahrut tharbiyah,
bulan diklat. Ramadan adalah bulan bagi Allah, menuntut hak-Nya atas insan
beriman (mukmin-mukminat). Pemenuhan atas hak-Nya, itu sebagai momentum
eksaminasi agar setiap mukmin beroleh reward tertinggi: maghfirah,
ampunan Allah atas segala noda dosa.
Empat
Dimensi Keimanan
Karenanya,
selama sebulan penuh, umumnya berlangsung 29 hari, para mukminin dan mukminat,
membuktikan empat dimensi komitmen keimanannya. Pertama, membuktikan komitmen proklamasi imani; “Asyhadu
alla ilaaha illallaah, Muhammadan Rasulullah." Deklarasi penegasan
keimanan; hanya Allah saja, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara, Tuhan dengan “T” besar dan tak ada sesuatu yang lain, yang boleh
dituhankan.
Hanya Allah saja
puncak idealistika dan kegandrungan tertinggi manusia yang Maha Absolut,
Distinct, dan Unique. Sekaligus, kesaksian kongkret; Muhammad Shalallaahu
Alaihi Wassalamadalah nabi dan rasul-Nya (the Prophet and the Messanger).
Kedua, komitmen kepatuhan, berupa penegakan
salat sepanjang masa, sehingga tiba akhir hayat sebagai jalan utama manusia
mencapai kualifikasi diri sebagai mukhlisin, insan yang ikhlas, dan terbebas
dari perbuatan fasik dan munkar. Ketiga, komitmen kesetiaan, berupa ibadah puasa di bulan Ramadan. Ibadah
khas bagi para mukminin dan mukminat, memberikan hak Allah, tanpa kompromi.
Sungguh menempatkan Allah sebagai “Sumber dari segala sumber kehidupan,”
sebagai al khaliq, yang pasti pemeliharaan-Nya atas manusia dan seluruh
alam semesta. Di penghujungnya, Allah memberi great reward, kualifikasi
insaniah sebagai muttaqiin, insan yang bertaqwa.
Keempat, komitmen pengabdian, yaitu komitmen
pembebasan manusia oleh sesamanya, dari kemiskinan, kefakiran yang dapat
membawa mereka ke lembah kekafiran, penginkaran atas eksistensi Allah, sebagai
Rabb yang Maha Rahman dan maha Rahim. Untuk itu, para mukminin dan
mukminat berperang melawan “musuh” paling besar, yakni dirinya sendiri, yang
mudah dikendalikan oleh hawa nafsu. Wujudnya; zakat, infaq, shadaqah, untuk
selalu menyadari, di dalam rezeki yang Allah SWT berikan kepada kita, terdapat
hak orang lain. Kelak, selepas beroleh grade muttaqiin pada Idul Fitri,
berlangsung pemungkasan, penyempurnaan ibadah yang dilandasi komitmen
pengorbanan, melalui ibadah pamungkas: haji, serta qurban.
Spirit
Perbaikan
Perjuangan
selama Ramadan semacam itu, akan beroleh apresiasi luar biasa, berupa great
reward; kemaafan dan ampunan Allah SWT. Insan mukmin, yang sungguh menang
atas dirinya sendiri, berhasil menekuk hawa nafsunya, akan naik derajat sebagai
muttaqiin. Great reward itulah yang memungkinkan setiap mukminin
dan mukminat kembali ke keadaan fitri,
suci, seperti ketika dilahirkan. Kullu mauludin yulaadu ‘alal fithr. Jika
Lebaran tiba, sangat penting bagi umat Islam untuk melakukan perbaikan.
Untuk itulah
pula di paruh kedua bulan Ramadan, Allah SWT menurunkan Alqur‘an kepada
Rasulullah Muhammad SAW, sebagai master plan kehidupan, yang tiada
keraguan di dalamnya. Cahaya penunjuk jalan yang membawa manusia bergerak dari
kehidupan gulita dunia ke kehidupan bersimbah cahaya di akhirat kelak. Bila satu
Ramadan disebut garis mula going to zero, maka satu Syawal dipahami
sebagai sebagai garis mula starting from zero, berangkat dari nol bagi
perjuangan panjang selama 335 hari ke depan. Ditandai dengan penguatan kualitas
sabar (consistency dan optimism), taqwa (capacity
dan professionality), dan syukur (integrity dan competency).
Mengukuh silaturahim
dalam harmoni hubungan Ilahi dan insani adalah substansi
Lebaran.
Semoga Allah menerima ibadah dan puasa kita, dalam keyakinan dan kebaikan kita
sepanjang masa, seraya diberi kesempatan berjumpa lagi dengan Ramadan tahun depan.
Taqabalallaahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, qullu aamin
wa antum bil khayr. Mudah-mudahan momentum Lebaran tahun ini menjadi modal
memperbaiki diri, masyarakat, dan bangsa.
0 komentar:
Post a Comment