Oleh
Hamidulloh Ibda
Direktur
Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah,
Mahasiswa Pendidikan Dasar konsentrasi Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Unnes
Dimuat KoranWawasan, 17 September 2013
Mari
belajar bahasa dengan baik dan benar! Demikian ungkapan yang tepat untuk
menanggapi fenomena Hendrianto bin Hermanto alias Vicky Prasetyo (VP) naik daun
lantaran bahasa anehnya. Budayawan Goenawan Mohamad membuat istilah ”Vickinisasi”
dan memandangnya sebagai puncak gunung es dari gejala kemalasan berbahasa, baik
menelaah maupun menerjemahkan kata asing.
Dengan
gaya bahasa “intelektual” pada saat jumpa pers pernikahannya dengan pedangdut
Zaskia Gotik, Vicky mampu menyedot perhatian publik dan meramaikan media massa.
Vicky yang juga bekas tunangan pedangdut Zaskia Gotik ini marak di sosial media
dengan berbagai tanggapan, ada yang positif dan negatif. Namun, sebagai manusia
Indonesia yang beriman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kita harus
menyikapinya dengan bijaksana dan mengambil hikmahnya.
Bahasa Vicky berefek pada semua kalangan,
mereka ikut-ikutan menggunakan bahasa “sok intelektual” tersebut. Padahal,
bahasa yang dilontarkan Vicky adalah gaya berbahasa “gado-gado”, karena
mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Selain itu, bahasa itu
tidak dipergunakan dengan kaidah baku, sehingga terkesan “sok pintar”. Pada
saat yang sama, ia tidak mengerti dengan apa yang dia omongkan. Inilah kejanggalan
pada diri Vicky.
Ironisnya, gaya bahasa Vicky banyak ditiru di
Twitter dalam konteks candaan. Melalui akun @marischkaprue, bloger wisata
Marischka Prudence pun berkicau, ”Statusisasi perut lapar jam segini itu pasti
karna konspirasi kemakmuran indomie deh..”. ”Saya
senang cara bicara Vicky dicemooh ramai-ramai. Supaya orang tak lagi omong asal
bunyi dan menulis tanpa berpikir,” ujarnya melalui akun @gm_gm. Penyair
Sitok Srengenge melalui akun @1srengenge juga menulis, ”Akhirnya
saya sempat lihat wawancara Vicky. Hehe bahasanya tak jauh beda dg banyak
pejabat yg sok intelek tp amburadul.” (Kompas, 13/9/2013).
Namun, menurut sutradara Iman Brotoseno
menyebut gaya bahasa seperti Vicky sudah lama diterapkan di dunia politik.
Misalnya, ada “reinstall” Indonesia” atau “restorasi Indonesia.” Sebelum
mengolok-olok gaya bahasa Vicky, ada baiknya kita berkaca bahwa gaya berbahasa
seperti itu kerap dijumpai dalam diri pejabat publik kita. Barangkali merekalah
pengikut sindrom ”vickinisasi” itu. Lalu, bahasa Vicky itu apakah atau benar?
Sisi Positif dan Negatif
Sebenarnya, ada sisi positif dan negatif dari
bahasa Vicky. Mengapa? Dalam hal ini ada beberapa kata tidak tepat dan asal
“ngomong” tanpa memperhatikan kaidah berbahasa yang baik dan benar. Padahal,
menurut penulis, berbahasa Indonesia dengan baik, benar, dan santun adalah
kewajiban setiap warga negara. Baik berupa bahasa lisan, tulisan, dan
sebagainya. Tidak pandang dia seorang akademisi, politisi, artis, ataupun
manusia biasa, harus tunduk dan patuh pada kaidah berbahasa Indonesia yang baik
dan benar.
Dalam kaca mata linguistik, bahasa itu
merupakan produk budaya, hasil kesepakatan, dan kebiasaan masyarakat di suatu
daerah tertentu. Namun, bukan berarti kita harus menggunakan bahasa yang “ndakik-ndakik”
agar kelihatan “keren” dan “intelek”. Tak ada masalah jika bahasa yang
digunakan itu baik, benar, memahamkan dan mencerahkan pembaca/pendengar. Tapi
jika menyesatkan, maka cara berbahasa seperti itu harus dihentikan. Lalu,
bagaimana dengan bahasa yang digunakan Vicky?
Bahasa yang digunakan Vicky memang keren,
gaul, dan terkesan intelek. Di antara bahasa itu meliputi “twenty nine my
age, kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, harmonisisasi, kudeta,
mempertakut, mempersuram, statusisasi, labil ekonomi,” dan sebagainya.
Menyikapi
Ada beberapa analisis bahasa Vicky. Pertama,
sekilas, bahasa Vicky di atas memang keren dan intelek. Namun, hemat penulis,
bahasa tersebut tidak tepat penggunaannya. Mengapa? Karena tidak cocok jika
bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa Inggris. Seperti contoh, kata “twenty
nine my age” terkesan memaksakan menggunakan bahasa Inggris, padahal
sebenarnya salah kaprah. Ketika Vicky ingin menyebutkan usia, seharusnya dia
cukup mengucapkan “I am twenty nine” atau “I am twenty nine years
old”.
Kedua, bahasa Vikcy sangat berlebihan dan
terkesan dipaksakan. Mengapa? Karena bahasanya tidak sesuai konteks dan acara
pada saat dia ngomong. Padahal, pada saat itu dia bukan pembicara seminar atau
mengisi kuliah, hanya diwawancari wartawan/reporter. Bahkan, pembicara seminar
nasional ataupun dosen di Indonesia jarang dan tak seformal bahasa Vicky. Jadi,
sangat berlebihan jika Vicky menggunakan bahasa-bahasa di atas.
Ketiga, ada beberapa kata yang imbuhannya
salah. Seperti statusisasi, kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, dan
harmonisisasi. Ini merupakan kesalahan fatal bahasa yang digunakan Vicky. Jika
hal ini salah dan ditiru masyarakat, maka akan menjadi ancaman bagi eksisten
bahasa Indonesia.
Selain itu, ada sisi positif yang ditelurkan
dari bahasa Vicky. Pertama, dengan lahirnya bahasa Vicky, masyarakat bisa lebih
tahu dan mencari tahu bahasa-bahasa yang jarang terdengar di telinga. Dengan
seperti itu, maka spirit belajar bahasa naik tinggi dan melahirkan spirit
berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Kedua, lahirnya kehati-hatian bagi masyarakat,
khususnya bagi artis, figur, dan tokoh masyarakat. Pasalnya, cara berbahasa
menjadi indikator pandai dan bodohnya seseorang. Mengapa? Belum tentu dengan
berbahasa intelek manusia dikatakan pandai. Jadi, semua orang harus tahu dengan
siapa lawan bicara, serta menggunakan bahasa yang baik benar.
Ketiga, fenomena bahasa Vicky menjadi hikmah
bagi semua kalangan, baik bagi ahli bahasa, dosen bahasa, serta pengamat bahasa
untuk selalu menjaga khazanah bahasa Indonesia agar tidak rusak dengan
gelombang globalisasi seperti saat ini. Lalu, apakah anda tetap akan
melestarikan bahasa Vicky? Anda punya pilihan.
0 komentar:
Post a Comment