Oleh
Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Pagi Wawasa, 11 Oktober 2013
Memalukan dan memprihatinkan. Hanya dua kata
ini yang tepat diungkapkan untuk menanggapi tragedi tertangkapnya Akil Mochtar,
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Melakukan bagi MK dan dunia hukum Indonesia,
dan memprihatinkan bagi kondisi politik Indonesia serta tak ada lagi rasa takut
untuk melakukan suap ataupun korupsi. Bahkan, ketua MK pun ikut melakukan
kejahatan yang merugikan MK dan dirinya sendiri.
Pengumuman penetapan
status tersangka itu, dilakukan Ketua KPK Abraham Samad bersamaan waktunya
dengan penetapan status tersangka anggota Komisi II DPR RI berasal dari Fraksi
Golkar Chairun Nisa. Akil Mochtardan Chairun Nisa ditetapkan sebagai tersangka
selaku penerima, diduga melanggar pasal 12 huruf c jo pasal 55 ayat 1 ke-1 atau
pasal 6 ayat 2 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 12 huruf c adalah mengenai
hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling
lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. Pasal 6 ayat 2 adalah
menerima pemberian atau janji sebagaimana dari pemberian sesuatu sebagaimana
yang diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dengan ancaman penjara maksimal
15 tahun penjara dan denda Rp750 juta (Kompas, 5/10/2013).
Tragedi tersebut semakin membuat masyarakat
Indonesia marah dan mengutuk keras pemimpin palsu. Padahal, pemimpin apa saja
di negeri harus orisinil, jujur, revolusioner dan bebas korupsi. Kalau terbukti
melakukan korupsi, berarti dia adalah “pemimpin abal-abal”. Begitu pula dengan
tragedi yang menimpa Akil Mochtar Ketua MK. Dengan jelas, Akil adalah fenomena “pemimpin
palsu” yang menduduki jabatan tertinggi di MK. Jika semua pemimpin di negeri
ini seperti Akil, maka kiamat pasti tak akan lama terjadi.
Badai Korupsi
Tertangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, membuat
publik marah besar. Padahal, selama ini, selain Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), MK dianggap lembaga yang bersih dan antikorupsi. Namun, kenyataan
berkata lain, karena dengan ditangkapnya Akil Mochtar dalam kasus dugaan suap membuktikan
bahwa MK juga melakukan korupsi. Banyak yang berpendapat bahwa dengan ditangkapnya
Akil adalah ibarat “badai besar” atau sederhananya disebut “badai konstitusi.”
Tak ada yang tak kaget dengan tertangkapnya
Akil. Begitu KPK mengumumkan hasil operasi tangkap tangan, publik marah dan
menyimpulkan bahwa semakin lama Indonesia dipenuhi koruptor. Bahkan, ketua MK
pun ikut korupsi. Sungguh badai ini bukan sekadar badai, melainkan ini adalah
tanda-tanda kiamat bagi Indonesia. Sangat ironis jika pemimpin di negeri ini
tak memberi contoh baik kepada rakyatnya. Dan Akil memberikan contoh yang tak
pantas ditiru.
Jauh sebelum penangkapan Akil, Ketua Mahkamah
Agung (MA) periode 2009-2012 Harifin Tumpa pernah merasakan kekhawatiran
terhadap nasib hukum dan MK. Kegundahan itu tertulis jelas dalam bukunya. Kini,
ramalannya pun terbukti bahwa Ketua MK tertangkap KPK saat mengadili sengketa
Pilkada. Ramalan itu dia tulis dalam buku biografi “Pemukul Palu dari Delta
Sungai Walanea”. Dalam Bab “Bara Curiga Komisi Yudisial”, pria kelahiran
Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini mengungkap institusi MA saat diserang
oleh berbagai lembaga negara kurun 2006 silam. Yaitu usulan pengocokan ulang
hakim agung yang pernah diusulkan oleh KY.
Mahfud MD, saat itu anggota Komisi III DPR,
menyatakan bahwa kasus pemilihan kepala daerah di Depok dan Lampung bisa jadi
cerminan bahwa betapa tidak konsistennya penegakan hukum di Indonesia. Lantas
Harifin mengutip pernyataan Mahfud MD yaitu seluruh hakim agung yang berjumlah
49 orang harus diseleksi dan diuji kembali, karena masyarakat menilai hampir
semuanya tidak ada yang bersih dan praktik mafia peradilan merajalela. Entah
kebetulan atau tidak, setahun setelah buku itu diluncurkan, KPK menggelandang
Ketua MK Akil Mochtar dengan segepok uang miliaran rupiah. Uang itu diduga kuat
terkait sengketa pilkada.
Terlepas dari ramalan itu, yang jelas
kejahatan Akil harus diadili setegasnya. Bahkan, banyak kalangan berpendapat
bahwa Akil pantas dihukum mati. Mengapa hukuman mati? Karena kejahatan yang
dilakukan Akil sudah melawati batas etika hukum dan keadilan. Apalagi, dia
adalah ketua MK yang seharusnya menjadi contoh baik bagi masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat hukum.
Hukuman Mati
Selama ini hukuman mati untuk koruptor masih
menjadi perdebatan. Namun, dengan tragedi Akil Mochtar sang ketua MK yang
melakukan kejahatan besar, maka sangat logis dan mengharuskan bahwa hukuman
mati untuk koruptor harus segera direalisasikan. Lebih hebat lagi, jika
pemerintah berani menerapkan hukuman mati terhadap Akil sebagai penerima
hukuman mati pertama kali di Indonesia. Kalau pemerintah tak berani, berarti
ketegasan di negeri ini memang “diragukan”.
Sebelumnya, gejala suap di persidangan MK
memang tak terasa. Namun, selentingan bahwa hakim MK bisa dimainkan kerap muncul
di media. Apalagi bila menelaah beberapa
putusan tentang sengketa pilkada yang dinilai janggal. Dalam proses memang
tidak terlalu kelihatan meski kadang ada indikasi aneh dalam beberapa kasus.
Dalam kasus ini, yang sangat marah dengan tertangkap tangannya ketua MK adalah
para mantan penggawa penjaga konstitusi.
Bahkan, dalam sebuah wawancara dengan sebuah
stasiun televisi, mantan Ketua MK, Jimly Asshidqie, tampak sangat kecewa.
Saking kecewanya, Jimly menyarankan kepada KPK agar menuntut Akil seberat
mungkin. Bahkan, bila perlu, tuntutannya adalah hukuman mati. Bagi Jimly, MK
adalah benteng tertinggi dari penegakan hukum. Mahkamah adalah penjaga napas
dan semangat konstitusi. Bila penjaga konstitusi, yang merupakan ruh dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah rusak dan korup, keadilan tinggal
omong kosong. Atas dasar itulah, ia menyarankan Akil dihukum seberat mungkin
(Koran Tempo, 5/10/2013).
Tak jauh berbeda, mantan Ketua MK pengganti
Jimly, Mahfud MD, juga mengaku sangat kecewa. Ia bahkan nyaris tak percaya Akil
yang selama ini ia anggap bersih ternyata berbuat “lancung”. Dengan tertangkap
tangannya Akil, MK bakal mengalami semacam gempa bumi. Lembaga penjaga
konstitusi yang selama ini dipercaya publik begitu transparan, ternoda oleh
nila setitik. Nila itulah yang bakal merusak citra MK secara keseluruhan. Mahfud juga sepakat dengan Jimly bila Akil
dituntut hukuman seberat mungkin.
Atas tanggapan tokoh hukum dan mantan ketua MK
di atas, seharusnya hukuman mati harus segera direalisasikan. Namun, yang
pasti, ditangkapnya Akil hanya kian menyempurnakan pandangan publik bahwa semua
lembaga negara di negeri ini sudah terjangkit virus korupsi. Dengan
kewenangannya yang tak terbatas dan dengan sifat putusannya yang final
mengikat, MK adalah satu-satunya lembaga yang tidak bisa diawasi. Mahkamah juga
satu-satunya lembaga yang memutuskan perkara untuk dirinya sendiri. Ini membuat
MK sebagai satu-satunya lembaga yang paling empuk dan nyaman untuk melakukan
tindak pidana korupsi.
Namun, dengan kondisi yang demikian, sangat
logis, rasional dan urgen jika hukuman mati diberikan kepada Akil. Saat ini
masyarakat membutuhkan tindakan hukum yang revolusioner untuk mengadili Akil.
Maka, alternatif yang paling nyata untuk menegakka hukum dan keadilan adalah
menghukum mati Akil. Apakah pemerintah berani? Kita tunggu saja!
-Penulis adalah Pengikrar Kaum Muda
Antikorupsi, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
0 komentar:
Post a Comment