Oleh
Hamidulloh Ibda
Gurita korupsi semakin
kuat melilit negeri ini. Segala upaya yang telah dilakukan dapat dikatakan
gagal menahan dan memberantas laju korupsi. Sampai sejauh ini, praktik korupsi
seperti tidak ada matinya. Hasil jajak pendapat di beberapa media massa menjadi
pembenaran empiris betapa perilaku korupsi semakin masif dan tak terkendali.
Di tengah gurita
tersebut, pertanyaan mendasar yang muncul: mengapa praktik korupsi makin
memburuk melilit negeri ini? Adakah ini semua bukti kegagalan agenda
pemberantasan korupsi? Dari segala perspektif, pertanyaan yang dikemukakan amat
masuk akal. Apalagi, sebagai bagian dari upaya mewujudkan amanat reformasi,
telah begitu banyak produk hukum dihadirkan untuk segera keluar dari kanker
korupsi.
Sekiranya dikaitkan
dengan pergeseran pemaknaan tindak pidana korupsi dari kejahatan biasa menjadi
kejahatan luar biasa, pertanyaan tersebut berubah menjadi gugatan yang amat
serius. Karena itu, wajar bila muncul pertanyaan baru: apa yang salah dengan
agenda pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan?
Membina Korupsi
Maraknya praktik
korupsi tidak cukup hanya dijelaskan dari satu sudut pandang saja, misalnya
pada batas-batas tertentu kehidupan politik lebih banyak menunjukkan diri
sebagai “panglima” dalam penegakan hukum. Karena itu, karut-marut dunia politik
memberi imbas atas munculnya lorong gelap dalam pemberantasan korupsi, misalnya
mereka yang terindikasi korupsi berupaya mencari perlindungan ke partai
politik. Begitu mendapatkan tempat di partai politik, penegakan hukum terancam mengalami
mati suri.
Secara ideal, bila
para penegak hukum mampu membuktikan independensinya, “strategi” bergabung ke
partai politik tidak akan memberikan banyak pengaruh. Dalam kenyataannya,
jangankan untuk membuktikan independensi tersebut, institusi penegak hukum acap
kali hadir sebagai pembina mereka yang terkait kasus korupsi. Pembinaan yang
dimaksudkan di sini lebih pada upaya memanfaatkan mereka yang tersangkut kasus
korupsi untuk kepentingan di luar penegakan hukum.
Terkait dengan hal
itu, tumbuh suburnya praktik korupsi lebih banyak disebabkan oleh hukum dan
penegak hukum yang amat ramah bagi pelaku korupsi. Keramahan tersebut, di
antaranya, dipicu oleh substansi hukum yang longgar atau multiinterpretasi. Dalam
praktik, substansi hukum yang demikian memberi ruang luas bagi penegak hukum
untuk “menggorengnya” sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sulit dibantah
bahwa kondisi demikian itu menjadi salah satu faktor yang memberikan kontribusi
besar terhadap kegagalan menghentikan gurita korupsi.
Banyak pengalaman
menunjukkan bahwa substansi hukum yang longgar tersebut bertaut dengan komitmen
sebagian penegak yang tidak memihak pada agenda pemberantasan korupsi. Karena
itu, tidak perlu heran bila upaya memberantas korupsi potensial menimbulkan
praktik korupsi baru.
Setidaknya potensi
korupsi tersebut dapat dilacak pada tahap awal penegakan hukum, seperti
penyelidikan dan penyidikan. Dalam tahap ini terdapat banyak ruang yang memberi
kesempatan kepada penegak hukum untuk bernegosiasi, mulai dari peningkatan dari
tahap penyelidikan ke penyidikan, kemungkinan untuk tidak ditahan, hingga
penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Bahkan, bila masuk pada
proses persidangan, tidak jarang ada upaya “menggoreng” dakwaan agar vonis
menjadi lebih ringan.
Membinasakan
Perilaku menyimpang
berupa “pembinaan” korupsi yang dilakukan sebagian penegak hukum tersebut jelas
menimbulkan luka mendalam bagi para pencari keadilan. Apalagi, banyak putusan
hakim justru gagal memulihkan rasa keadilan masyarakat yang telah
tercabik-cabik oleh perilaku para koruptor. Bahkan, pada pelaksanaan putusan
hakim, sejumlah kasus membuktikan bahwa masa tahanan dan rumah tahanan
memberikan segala macam kemudahan bagi para koruptor.
Selain tersedianya
kesempatan mendapatkan grasi, para koruptor amat mudah mendapatkan pengurangan
hukuman be- rupa pemberian remisi. Dengan fasilitas itu, rumah tahanan tidak
memberi makna apa-apa dan gagal menghadirkan rasa takut. Padahal, penjatuhan
hukuman ditujukan untuk memberikan pesan bahwa melakukan korupsi akan
mendapatkan hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana lain.
Oleh karena itu,
selama tidak dilakukan perubahan mendasar terhadap cara pandang atas penjatuhan
hukuman, penegakan hukum hampir dapat dipastikan gagal membinasakan meruyaknya
praktik korupsi. Selain perubahan cara pandang, membinasakan korupsi hanya
mungkin dicapai jika semua upaya dilakukan secara komprehensif. Beranjak dari
hal itu, pemikiran memiskinkan pelaku korupsi masih jauh dari cukup untuk
menahan dan menghentikan laju korupsi.
Sebagai sebuah
gagasan, langkah pemiskinan koruptor jelas akan memberikan denyut yang berbeda
dalam memberantas korupsi. Namun, karena upaya memiskinkan pelaku korupsi bukan
pekerjaan sederhana dan mudah, akan jauh lebih baik sekiranya gagasan tersebut
diikuti dengan langkah lain.
Di antara langkah
mendesak yang segera harus dilakukan adalah menutup segala celah yang memberi
peluang kepada penegak hukum memanfaatkan (baca: “membina”) mereka yang
tersangkut kasus korupsi. Selain itu, harus ada keberanian menghapus segala
macam kemudahan dalam proses penegakan hukum bagi yang tersangkut kasus
korupsi, misalnya menghapus pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.
Sebagai instrumen hukum, remisi dan pembebasan
bersyarat hanya tepat diberlakukan pada tindak pidana biasa. Jika fasilitas
tersebut tidak dihapus, langkah penegakan hukum dalam memberantas korupsi akan
kehilangan karakternya sebagai sebuah proses penegakan hukum yang luar biasa. Di
tengah praktik korupsi yang semakin mengancam keberlanjutan masa depan negeri
ini, praktik korupsi dengan sungguh-sungguh harus dibinasakan. Tanpa langkah
itu, sulit mencegah sebagian penegak hukum “membina” hubungan dengan para “pencoleng”
uang rakyat.
-Tulisan ini dimuat di
Koran Barometer, 8 Oktober 2013
0 komentar:
Post a Comment