Oleh
Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Barometer, 21 Oktober 2013
Ada banyak hikmah atas perayaan Idul Adha. Jika tidak ada perubahan, maka percuma umat Islam
merayakan Idul Adha. Setiap tahun sekali, umat Islam di dunia memperingati Hari
Raya Kurban, Lebaran Haji atau dikenal akrab sebagai Idul Adha. Di dunia Arab,
Hari Raya Kurban dirayakan dengan penuh gegap-gempita, melebihi Hari Raya Idul
Fitri. Umat Islam pun menyambutnya dengan haru-biru. Kenapa demikian? Hari Raya
Kurban dirayakan bersamaan dengan ibadah haji, rukun Islam kelima.
Puncaknya, peringatan hari raya ini ditandai dengan penyembelihan
unta, domba, kambing, dan sapi, yang dagingnya dibagikan kepada kalangan fakir
miskin. Setiap muslim yang mampu diwajibkan mengeluarkan sebagian hartanya
untuk berbagi rezeki kepada orang lain yang tidak mampu. Setelah melaksanakan salat Idul Adha, umat Islam secara bersamaan
melaksanakan aktivitas kurban. Peristiwa ini membuktikan sebuah pemandangan
yang nyata perihal hakikat Islam sebagai agama yang tidak hanya semata-mata
menekankan tentang ritualitas (ibadah mahdlah), melainkan juga
menitikberatkan pentingnya ranah relasi sosial (mu’amalah).
Perayaan kurban bukan hanya dalam rangka menyerahkan diri kepada
Tuhan, tetapi juga yang jauh lebih penting dari itu, yaitu membumikan
nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan senyata-nyata. Karena itu, dalam sebuah hadis Nabi yang
diriwayatkan Abu Hurairah: “Siapa yang
memiliki kelapangan rezeki tapi ia tidak berkurban maka janganlah mendekati
musala kami” (HR Iman Ahmad dan Ibnu Majah). Di
dalam Alquran, Allah SWT berfirman: “Hendaklah
kamu melaksanakan salat dan sembelihlah hewan kurban” (QS Al-Kautsar: 2).
Setiap muslim sejatinya tidak hanya menjadikan agama sebagai
peristiwa ritual belaka, melainkan juga sebagai perhelatan yang bernuansa
sosial sehingga mampu menumbuhkan kepedulian sosial. Menurut Peter L Berger,
setiap agama harus melahirkan voluntarisme, yaitu kesukarelaan untuk melayani
sesama manusia. Agama tidak pada tempatnya jika hanya menumbuhkan sikap fanatis
dan fundamentalistis, karena setiap agama pada hakikatnya merupakan instrumen
untuk memupuk kesadaran pentingnya saling berbagi di antara sesama makhluk
manusia.
Korupsi?
Bahkan, sebuah fakta yang sangat kontradiktif dipertontonkan. Ketika
festival keagamaan makin marak dan hiruk-pikuk di berbagai tempat, korupsi dan
intoleransi juga makin masif. Realitasnya dapat disimpulkan, tidak ada relasi
antara perayaan keagamaan yang mengharu-biru dengan perilaku sosial-politik
kewargaan.
Saban hari kita disajikan dengan informasi yang menohok hati nurani,
betapa korupsi tidak kunjung sirna dalam praktik politik para elite. Alih-alih
ingin memberantas korupsi, justru rezim yang berkuasa cenderung ingin
menutup-nutupi kasus korupsi yang menimpa mereka. Kasus Wisma Atlet, Hambalang,
simulator SIM, korupsi daging sapi,
dan tragedi ketua Mahkamah Konstitusi merupakan betapa
korupsi sudah menjadi masalah serius. Korupsi dimulai oleh pemangku kekuasaan
dengan total penyimpangan anggaran yang sangat fantastik.
Pada saat yang sama, khutbah keagamaan terlihat abai terhadap
fenomena tersebut. Kita jarang sekali mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan
yang secara lantang mengkritik maraknya korupsi. Secara implisit terlihat
adanya sikap permisif dari kalangan agamawan terhadap budaya korupsi yang sudah
menggerogoti nilai-nilai luhur dalam berbangsa dan bernegara.
Semua itu terjadi, karena ritual dan perayaan keagamaan kehilangan
nilai profetik dan makna transformatifnya. Belum lagi ketidakmampun dalam
melakukan kontekstualisasi nilai-nilai keagamaan dalam ranah sosial-politik
sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Akibatnya, peristiwa keagamaan ibarat
buih yang ditelan ombak dari masa ke masa.
Menyembelih Korupsi
Di sinilah momentum Idul Adha menjadi relevan dan signifikan.
Perayaan kurban harus menjadi alarm mengingatkan umat agar memberantas korupsi.
Korupsi harus “dipotong” laiknya hewan kurban. Inti dari agama pada hakikatnya
adalah “melayani orang lain”, bukan “merugikan orang lain” atau “mencederai
orang lain”. Karena itu, lewat esensi ajaran agama (kurban), umat Islam harus
memberantas korupsi kapan saja dan di mana saja.
Prinsip “memberantas korupsi” sejatinya tak hanya menjadi khutbah
belaka, melainkan harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata. Seperti disebutkan
dalam ajaran Islam, bahwa mencegah kemunkaran adalah wajib hukumnya. Apalagi,
kejahatan korupsi saat ini sudah merajalela dan melebihi batas. Perintah salat
Idul Adha sejalan lurus dengan perintah menyembelih hewan kurban, termasuk
menyembelih penyakit korupsi.
Dengan demikian, peringatan Idul Adha 1434 H sejatinya dapat
memberikan nilai tambah bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat,
khususnya dalam rangka menyambungkan antara nilai-nilai keislaman yang
adiluhung dengan realitas sosial-politik.
Kita berharap agar perayaan keagamaan tidak hanya dijadikan
seremonial belaka, melainkan sebagai momentum untuk memecahkan persoalan yang
mahapelik, seperti korupsi yang telah menggerogoti uang negara. Kuncinya adalah memaknai hari raya
kurban untuk “menyembelih penyakit korupsi”. Spirit memberantas harus menjadi
prinsip kuat di dalam setiap sanubari para elite politik sekaligus elite agama
kita. Jika tidak disembelih, korupsi pasti merajalela. Itu pasti.
-Penulis adalah Direktur Eksekutif
Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
0 komentar:
Post a Comment