Oleh
Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Barometer Semarang, 25 Oktober 2013
Korupsi
di negeri ini memang sudah keterlaluan. Nampaknya, hanya hukuman mati yang
tepat untuk membuat jera koruptor. Selama ini, sudah digencarkan wacana hukuman
mati koruptor. Bahkan, desakan pemberlakuan hukuman mati terhadap para
koruptor, sebagaimana rekomendasi politik Nahdlatul Ulama (NU) dan sejumlah
lembaga swadaya masyarakat (LSM) pegiat antikorupsi, terus bergulir dan mendapat
dukungan dari berbagai kalangan. Bahkan,
Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Gerakan Pemuda Anti Korupsi (GEPAK), dan
sejumlah lembaga pegiat antikorupsi lainnya akan bergerak mendesak pemerintah
dan DPR untuk segera melakukan revisi UU antikorupsi. Semua
elemen perlu menggerakkan berbagai elemen untuk mendesak DPR dan pemerintah agar
segera merealisasikan hukum tersebut.
Gerakan
pemberantasan korupsi di Indonesia masih “setengah hati” dan tak berjalan
maksimal, karena penegakan hukum dipermainkan pihak-pihak yang berkepentingan,
termasuk di dalamnya oknum kepolisian, kejaksaan, pengacara, hingga pelaku
korupsi. Akibatnya, penegakan hukum yang dilakukan KPK menjadi “tumpul” dan
tak berjalan maksimal. Pemberantasan korupsi di Indonesia tersandera mafia
hukum dan makelar kasus (markus). Hasilnya, korupsi bukan menurun, tapi justru semakin
merajalela. Jika ingin bangkit, tak ada jalan lain bagi Indonesia, kecuali
memberikan sanksi hukuman mati bagi koruptor sebagaimana dilakukan di negara China.
Efek Jera
Hukuman
mati menjadi penting dan krusial untuk segera direalisasikan. Sanksi itu perlu
diberlakukan untuk memberikan “efek jera” bagi mereka yang berniat melakukan
korupsi. Sehingga, pembangunan dapat berjalan sesuai harapan, rakyat merasakan
keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Selama
ini, DPR dan Pemerintah selalu beralasan bahwa pemberlakuan hukuman mati merupakan
pelanggaran HAM dan bertentangan dengan agama. Namun, beberapa waktu yang lalu, NU
sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia sudah memberikan dukungan. Jadi,
pemberlakuan hukuman mati bagi para koruptor akan lebih mudah dan harus segera
dilakukan. Seharusnya, ini menjadi sinyal positif bagi pemerintah, dan penegak
hukum terutama KPK, untuk segera merealisasikan hukuman mati.
Di
sisi lain, berbagai elemen juga perlu bergerak untuk mendukung hukuman mati
untuk koruptor. Mereka harus bergerak dan mendesak DPR dan Presiden untuk
segera mengubah UU Tindak Pidana Korupsi agar memasukkan hukuman mati dan
pemiskinan bagi koruptor. Kenapa demikian? karena hanya hukuman mati yang bisa
menjadikan efek jera bagi koruptor. Itu pasti.
Tak
kalah penting, para pemuda di berbagai daerah bersama dengan ormas, mahasiswa,
pelajar, partai politik, LSM, komunitas antikorupsi, dan para tokoh masyarakat,
harus dihimbau dan diajak untuk memberikan dukungan hukuman mati bagi para
koruptor. Wacana hukuman mati yang ditelurkan NU seharusnya menjadi “api kebangkitan”
untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Saatnya Merealisasikan
Sebenarnya,
hukuman mati tak bertentangan dengan semangat HAM yang diberikan konstitusi
kepada warga negara, mulai Pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945 pasca
amendemen. Bahkan, Pasal 28J menegaskan hak asasi seseorang digunakan dengan
harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya
ketertiban umum dan keadilan sosial. Dasar itu perlu diteruskan dalam semangat
pemberantasan korupsi dengan penerapan hukum mati kepada koruptor. Pidana mati
itu pun tak bertentangan dengan semangat UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang
juga menyatakan pembatasan hak asasi seseorang dengan adanya hak orang lain
demi ketertiban umum.
Kendati hingga
akhir 2009 telah ada 129 negara di dunia yang menghapus ancaman hukuman mati
dalam semua peraturan perundangan, di Mahkamah Internasional tercatat masih ada
lebih dari 68 negara di dunia yang mempertahankan ancaman hukum mati dalam
berbagai peraturan perundangan, yakni Indonesia, Malaysia, dan kawasan Asia
lainnya.
PBB juga pernah
mengeluarkan Resolusi No 1984/50, 25 Mei 1984 (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the
Death Penalty) yang masih memberikan pilihan hukum pada negara anggota PBB
dalam memberikan sanksi pidana, termasuk sanksi hukuman mati. Namun, itu harus
memenuhi kriteria penerapan hukuman mati, yakni dalam kasus yang dianggap luar
biasa bagi suatu negara, dilakukan dengan selektif, dan berdasarkan pada fakta
dan bukti yang tak terbantahkan.
Untuk Indonesia,
beberapa pasal dalam KUHP masih menerapkan ancaman hukuman mati. Lihat Pasal
104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 123, 124, 140 ayat (3), dan Pasal 340. Belum
lagi beberapa pasal dalam undangundang terkait lainnya, seperti Pasal 36, 37,
41, 42, dan Pasal 42 ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan
Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, dan 16 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Terorisme. Karena itu, sesungguhnya penerapan segera hukuman mati untuk
koruptor “sangat konstitusional.” Selain dimaksudkan untuk membuat efek jera
pada pelaku, hal itu diharapkan memberikan efek psikologis efektif bagi
pencegahan korupsi yang telanjur sistemis di negeri ini.
Pada intinya, hukuman
mati tak bertentangan konstitusi dan tradisi hukum internasional, bahkan dapat
dijadikan landasan moral bagi eksperimentasi penerapan hukum mati untuk kasus
korupsi sebagai shock therapy dan ultimum remedium pada koruptor. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Karena hanya
hukuman mati yang bisa memberikan efek jera bagi koruptor. Jika pemerintah
masih menimbang, ragu, dan banyak alasan untuk tidak merealisasikan hukuman
mati, penulis yakin korupsi akan merajalela di negeri ini. Itu pasti.
-Penulis
adalah Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa
Tengah,
Mahasiwa Program Pascasarjan Universitas Negeri Semarang
0 komentar:
Post a Comment