Oleh
Hamidulloh Ibda
Dimuat di Koran Barometer, 4 Oktober 2013
Indonesia adalah
negara kaya-raya dan sejahtera, namun mengapa sekarang menjadi terpuruk?
Alasannya simpel, karena korupsi tidak dicegah dan koruptor tidak diberi
hukuman tegas. Inila kondisi negara kita saat ini.
Di samping
kejahatan narkoba, terorisme, serta pembunuhan berencana, korupsi sudah masuk
dalam salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Korupsi menjadi kejahatan kemanusiaan, karena koruptor tidak hanya
merampas hak-hak warga negara yang dapat menjadi sengsara, melainkan juga membuat
suatu negara menjadi “kolap”. Oleh karenanya, banyak kalangan menilai bahwa
hukuman tepat bagi seorang koruptor adalah “hukuman mati”. Hukuman tersebut
tentu saja sejalan dengan dampak yang ditimbulkan akibat perilaku korupsi.
Korupsi yang
marak di republik ini karena dipengaruhi dari cara hidup. Cara hidup
konsumerisme adalah indikasi perilaku korup, dan konsumerisme disebabkan oleh
karena hidup yang individualistis. Di sisi lain,
perilaku korupsi tak hanya dapat kita identikan dengan pola hidup mewah dan konsumerisme.
Perilaku
Korupsi
Sebelum
mengetahui seluk-beluk terjadinya perilaku korupsi, adakalanya terlebih dahulu
mendefinisikan makna korupsi itu sendiri secara umum. Korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.
Menurut
perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi.
Pasal-pasal
tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan
sanksi pidana karena korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: kerugian keuangan
negara, Suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan
kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Berbicara
tentang korupsi, sebagian besar baik para pejabat, dalam hal ini penyelenggara
negara, maupun rakyat biasa telah mengenal jenis perbuatan tindak pidana ini.
Bila pencurian biasanya dilakukan rakyat biasa, penggelapan dilakukan oleh para
pegawai ataupun pejabat di sebuah perusahaan swasta. Maka, korupsi dapat
dilakukan oleh pejabat negara (publik) serta para abdi negara yang
melaksanakannya.
Korupsi tentu
tidak dapat kita selaraskan dengan gaya hidup mewah, sebab tanpa harus
menyandang gaya hidup mewah pun seseorang dapat tersandung korupsi. Sebagaimana
dalam perspektif hukum yang tertuang pada UU Tindak Pidana Korupsi, bahwa dapat
dikatakan korupsi apabila adanya Kerugian keuangan negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan
dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Korupsi tidak
harus dengan pola hidup komsumerisme, melainkan juga selalu dikaitkan dengan
sebuah jabatan negara, entah itu di lembaga eksekutif, legislatif ataupun
lembaga-lembaga negara lainnya, yang mana dalam membuat suatu kebijakan dapat
berpotensi korupsi. Seseorang boleh saja tidak mempunyai niat melakukan
korupsi, tetapi kebijakannya yang sistematis tersebut mengakibatkan adanya
kerugian negara. Hal ini tentu saja dapat pula dikatakan telah melakukan
korupsi dan harus mempertanggungjawabkan kebijakannya tersebut.
Pejabat
dan Rakyat
Korupsi sangat
luas cakupannya. Meskipun korupsi identik dengan kerugian negara, tetapi, tetap
saja ada unsur lain yang dapat dikatakan korupsi seperti hal nya antara pejabat
dan rakyat. Apabila pejabat dapat melakukan korupsi akibat penyelewengan
kewenangannya, lain hal nya dengan rakyat. Rakyat justru dapat dijadikan
sebagai objek ataupun pula sebagai pemrakarsa korupsi itu sendiri.
Dalam hal
suap-menyuap antara pejabat dan rakyat misalnya, rakyat yang berkepentingan
melakukan suap-menyuap kepada para pejabat disuatu kawasan untuk dapat
memuluskan jalannya. Kemudian, ada juga seorang pengendara kendaraan bermotor
yang tidak mematuhi rambu-rambu lalu-lintas atau tidak melengkapi surat-surat
berkendaraan, akhirnya harus berurusan dengan pihak kepolisian lalu-lintas.
Karena untuk dapat meringankan hukumannya ataupun juga tidak mau berurusan
lebih lama, seorang pengendara kendaraan bermotor tersebut pun menyuap para
petugas polisi lalu-lintas.
Ada pula hal
yang lebih lumrah dialami hampir sebagian besar rakyat negeri ini yakni, saat
sedang mengurus berbagai surat kependudukan, entah itu KTP, kartu keluarga, dan
surat-menyurat lainnya di kantor Camat atau Lurah. Memang pada dasarnya untuk
mengurus surat-menyurat di kantor pemerintahan adalah gratis alias tanpa bayar,
tetapi untuk dapat mempercepat/mempersingkat pengurusannya, rakyat kita pun
harus merogohkan koceknya dan menyerahkan kepada para staff ataupun pejabat di
kantor Camat dan Lurah tersebut. Tetapi pun bisa pula para staf dan pejabatnya
yang lebih dahulu meminta uang pengurusan surat-menyurat kepada rakyat.
Bisakah
Dicegah?
Beberapa contoh
perilaku yang seringkali terjadi di masyarakat kita tersebut adalah bukti bahwa
korupsi sangat akrab di sekitar kita. Hal ini pula sekaligus memberikan
gambaran bahwa korupsi tak lantas disamakan dengan konsumerisme dan berpola
hidup mewah. Korupsi pun dapat terjadi tanpa harus memandang latar belakang
kehidupan seseorang, entah ia pejabat, rakyat biasa, kaya ataupun miskin, tetap
saja dapat melakukan korupsi.
Memang tidak ada
batasan ataupun ukuran seseorang untuk melakukan tindakan korupsi meskipun ia
bukan dari kalangan pejabat atau penyelenggara negara, tetapi korupsi bukan
tidak mungkin untuk dapat dicegah. Dalam pandangan aliran hukum alam bahwa
hukum selalu dikaitkan dengan moralitas. Oleh karenanya, seseorang dapat
menghindari segala pelanggaran dan kejahatan karena adanya sanksi moral dan
takut terhadap sang Maha Pencipta. Dengan demikian, seseorang dapat terhindar
dari perilaku korupsi apabila ia takut terhadap Tuhan, begitupun sebaliknya
seorang koruptor melakukan perilaku korupsi karena ia tidak takut terhadap
Tuhan. Semoga, kita termasuk orang-orang yang takut terhadap Tuhan.
-Penulis adalah Direktur
Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng, Mahasiswa Program Pascasarjana
Unnes
0 komentar:
Post a Comment