Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Saturday, 21 December 2013

Hentikan Demokrasi Prabayar



Oleh Hamidullloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 10 Desember 2013


Demokrasi yang sehat menjadi alternatif kemajuan bangsa, begitu pula sebaliknya. Jika demokrasi berjalan sesuai konstitusi, eskalasi politik revolusioner serta mengutamakan prinsip keadilan, negara akan lebih baik. Diakui atau tidak, demokrasi di negeri masih setengah hati.
Bahkan, praktiknya jauh dari konstitusi negara. Banyak sekali "penyembelihan keadilan" dan penyumbatan sumbusumbu kemajuan bangsa. Ironisnya, yang berkembang justru "demokrasi prabayar" berlawanan dengan konstitusi dan Pancasila.
Fenomena ini harus segera dibenahi dan direvolusi untuk memotong praktik demokrasi prabayar karena memburamkan pemerintah. John Locke secara tegas membagi asas terbentuknya negara, pactum unionis, yaitu perjanjian antar-individu dan pactum subjektionis, perjanjian negara yang dibentuknya.
Abraham Lincoln juga berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (democracy is government of the people, by the people, for the people). Ada dua asas pokok tentang demokrasi, yaitu pengakuan partisipasi rakyat di dalam pemerintahan dan pengakuan martabat manusia.
Hanya, demokrasi di Indonesia berjalan dengan praktik money politic, jual-beli jabatan. Ini menjadi tesis jelas bahwa Indonesia berasaskan "demokrasi prabayar." Maka, sudah saatnya praktik demikian dihentikan, dipotong, dan mengembalikannya kepada konstitusi dan Pancasila.
Merusak
Demokrasi di Indonesia saat ini bersifat prabayar. Artinya, para calon pejabat "membayar" dan menyogok rakyat dengan uang, sembako, dan barang agar terpilih, berkuasa dan merampok negara. Akibatnya, demokrasi menjadi sangat mahal karena sarat dengan money politic, kecurangan dan pemerkosaan hak pilih.
Demokrasi prabayar juga tidak akan menghasilkan pemimpin yang hebat yang bekerja untuk rakyatnya. Mereka palsu dan tidak sesuai dengan jalan kebenaran. Demokrasi prabayar benar-benar merusak Indonesia.
Para calon pejabat publik, baik di eksekutif maupun legislatif, bisa membeli suara rakyatnya. Padahal, uang yang mereka gunakan berasal dari tindakan kriminal juga, seperti korupsi dan merampok. Kalau kemudian rakyat menuntut mereka bekerja untuk bangsa, mereka berkilah sudah ditunaikan pada waktu kampanye, yaitu saat mereka membayar 100.000 rupiah untuk tiap suara.
Para calo politik menebar uang kepada rakyat. Setelah jadi pejabat, mereka korupsi gede-gedean untuk mengembalikan modal. Pemilu menjadi ajang pemerkosaan demokrasi. Sejak Indonesia merdeka, telah ada sembilan kali.
Semuanya hampir menjadi "transaksi uang" bukan "transaksi ide/gagasan" para calon pemimpin dengan rakyat. Padahal, pemimpin yang dihasilkan dari hasil jual-beli politik pasti korup dan jahat. Jika jahat, hancurlah negara karena pemimpinnya merusak, suka merampok bukan membangun negara. Pasal 22 E Ayat 1 UUD 1945 berbunyi, "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil."
Namun, kenyataannya masih jauh dari syaratsyarat itu. Padahal, pemilu bertujuan melaksanakan kedaulatan rakyat, perwujudan hak asasi politik rakyat, memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, melaksanakan pergantian personel pemerintahan secara damai, aman, dan tertib (secara konstitusional).
Pemilu menjamin kesinambungan pembangunan nasional. Tujuan itulah yang harus dilaksanakan pejabat negara. Akibat sistem politik dan demokrasi prabayar, banyak tuntutan dan kepentingan rakyat terabaikan. Hal itu disebabkan rakyat memilih pemimpinnya bukan karena kualitas, tapi demi keuntungan jangka pendek yang didapat saat kampanye.
Pendidikan politik yang dihembuskan elite tidak cerdas dan tidak baik. Namun, rakyat dididik menjadi pragmatis karena diberi uang untuk memilih pemimpin.
Praktik seperti ini tidak hanya pada pemilu legislatif maupun pilpres, namun juga pilkada di pelosok desa. Di sini pun terjadi transaksi uang untuk memilih salah satu calon pemimpin. Hal ini memang tak bisa dibendung karena sudah melembaga dan rakyat maunya pragmatis.
Solusi
Demokrasi prabayar harus dihentikan secepatnya. Apalagi, pemilu 2014 sudah di depan mata. Karena pemerintahan yang dihasilkan melalui kekuatan uang pasti jahat, korupsi dan berbuat serba instan.
Setidaknya, ada beberapa solusi revolusioner yang harus segera dilaksanakan. Mengubah demokrasi prabayar menjadi "pascabayar". Rakyat harus memilih pemimpin yang hebat, cerdas, dan jujur. Mereka mau bekerja habis-habisan untuk bangsa dan rakyat.
Seharusnya, calon pemimpin bertransaksi gagasan dan tawaran desain kemajuan bangsa, bukan sekadar jualbeli suara pemilu. Kemudian, gerakan kaum minimalis politik dan referendum untuk kepemimpinan nasional serta "rekonstitusi." Hal ini memiliki basis yurisprudensi yang jelas.
Artinya, kudeta pernah terjadi pada 1945 dan 1966, sedangkan referendum kepemimpinan dan rekonstitusi pada tahun 1998. KPU harus mempertegas Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Dana Kampanye. Sebab dalam peraturan yang baru dipublikasikan itu, tak ada ketentuan batasan dana kampanye bagi caleg DPR dan DPRD.
Apalagi sudah disinyalemen, Pemilu 2014 nanti banyak tantangan karena diprediksi sangat mahal dan perputaran uang dana kampanye akan sangat tinggi. Hal ini dapat terlihat dari kuantitas batasan sumbangan dana kampanye yang diperbesar dalam UU Partai Politik maupun UU Pemilu Legislatif.
Jika KPU pusat tegas dan mampu memotong money politic dengan regulasi cerdas, yang bawah akan meniru. Tak kalah penting, pelaksanaan sistem kontrol pembiayaan kampanye harus intens. Standardisasinya harus jelas dan detail.
Tak hanya pembatasan atribut kampanye, namun harus menyangkut semua kekayaan kader parpol dan caleg yang selama ini belum maksimal. Rezim jahat pelaku demokrasi prabayar harus diganti dengan pemimpin yang baik.
Dengan demikian, akar permasalahannya bisa teratasi karena saat ini pelaku politik uang jarang tersentuh hukum. Gunakan Pemilu 2014 nanti menjadi alternatif nyata untuk memilih pemimpin adil sesuai harapan rakyat.
Para pejabat harus punya nasionalisme dan komitmen tinggi sehingga dalam setiap kebijakannya lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada mengikuti sistem ekonomi liberal yang menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar. Demokrasi prabayar tak akan berhenti jika tak ada ketegasan dan tindakan revolusioner pemerintah.
Semua kalangan harus menolak politik uang. Demokrasi prabayar harus segera diselesasikan secepatnya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Walau demokrasi bukan segalanya, tapi segalanya berawal dari sana.
Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Hentikan Demokrasi Prabayar Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda