Oleh Hamidullloh Ibda
Tulisan ini dimuat
di Koran Jakarta, 10 Desember 2013
Demokrasi yang
sehat menjadi alternatif kemajuan bangsa, begitu pula sebaliknya. Jika demokrasi berjalan sesuai
konstitusi, eskalasi politik
revolusioner serta mengutamakan prinsip keadilan, negara akan lebih baik.
Diakui atau tidak, demokrasi di negeri masih setengah hati.
Bahkan, praktiknya
jauh dari konstitusi negara. Banyak sekali "penyembelihan keadilan"
dan penyumbatan sumbusumbu kemajuan bangsa. Ironisnya, yang berkembang justru
"demokrasi prabayar" berlawanan dengan konstitusi dan Pancasila.
Fenomena ini harus
segera dibenahi dan direvolusi untuk memotong praktik demokrasi prabayar karena
memburamkan pemerintah. John Locke
secara tegas membagi asas terbentuknya negara, pactum unionis, yaitu perjanjian
antar-individu dan pactum subjektionis, perjanjian negara yang dibentuknya.
Abraham Lincoln juga berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (democracy is government
of the people, by the people, for the people). Ada dua asas pokok tentang
demokrasi, yaitu pengakuan partisipasi rakyat di dalam pemerintahan dan
pengakuan martabat manusia.
Hanya, demokrasi
di Indonesia berjalan dengan
praktik money politic,
jual-beli jabatan. Ini menjadi tesis jelas bahwa Indonesia berasaskan
"demokrasi prabayar." Maka, sudah saatnya praktik demikian
dihentikan, dipotong, dan mengembalikannya kepada konstitusi dan Pancasila.
Merusak
Demokrasi di
Indonesia saat ini bersifat prabayar. Artinya, para calon pejabat
"membayar" dan menyogok rakyat dengan uang, sembako, dan barang agar
terpilih, berkuasa dan merampok negara. Akibatnya, demokrasi menjadi sangat
mahal karena sarat dengan money politic, kecurangan dan pemerkosaan hak pilih.
Demokrasi prabayar
juga tidak akan menghasilkan pemimpin yang hebat yang bekerja untuk rakyatnya.
Mereka palsu dan tidak sesuai dengan jalan kebenaran. Demokrasi prabayar
benar-benar merusak Indonesia.
Para calon pejabat
publik, baik di eksekutif maupun legislatif, bisa membeli suara rakyatnya.
Padahal, uang yang mereka gunakan berasal dari tindakan kriminal juga, seperti
korupsi dan merampok. Kalau kemudian rakyat menuntut mereka bekerja untuk
bangsa, mereka berkilah sudah ditunaikan pada waktu kampanye, yaitu saat mereka
membayar 100.000 rupiah untuk tiap suara.
Para calo politik
menebar uang kepada rakyat. Setelah jadi pejabat, mereka korupsi gede-gedean
untuk mengembalikan modal. Pemilu menjadi ajang pemerkosaan demokrasi. Sejak
Indonesia merdeka, telah ada sembilan kali.
Semuanya hampir
menjadi "transaksi uang" bukan "transaksi ide/gagasan" para
calon pemimpin dengan rakyat. Padahal, pemimpin yang dihasilkan dari hasil
jual-beli politik pasti korup dan jahat. Jika jahat, hancurlah negara karena
pemimpinnya merusak, suka merampok bukan membangun negara. Pasal 22 E Ayat 1
UUD 1945 berbunyi, "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil."
Namun,
kenyataannya masih jauh dari syaratsyarat itu. Padahal, pemilu bertujuan
melaksanakan kedaulatan rakyat, perwujudan hak asasi politik rakyat, memilih
wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, melaksanakan pergantian personel pemerintahan secara damai, aman, dan tertib
(secara konstitusional).
Pemilu menjamin
kesinambungan pembangunan nasional. Tujuan itulah yang harus dilaksanakan
pejabat negara. Akibat sistem politik dan demokrasi prabayar, banyak tuntutan
dan kepentingan rakyat terabaikan. Hal itu disebabkan rakyat memilih
pemimpinnya bukan karena kualitas, tapi demi keuntungan jangka pendek yang
didapat saat kampanye.
Pendidikan politik
yang dihembuskan elite tidak cerdas dan tidak baik. Namun, rakyat dididik
menjadi pragmatis karena diberi uang untuk memilih pemimpin.
Praktik seperti
ini tidak hanya pada pemilu legislatif maupun pilpres, namun juga pilkada di
pelosok desa. Di sini pun terjadi transaksi uang untuk memilih salah satu calon
pemimpin. Hal ini memang tak bisa dibendung karena sudah melembaga dan rakyat
maunya pragmatis.
Solusi
Demokrasi prabayar
harus dihentikan secepatnya. Apalagi, pemilu 2014 sudah di depan mata. Karena
pemerintahan yang dihasilkan melalui kekuatan uang pasti jahat, korupsi dan
berbuat serba instan.
Setidaknya, ada beberapa solusi revolusioner
yang harus segera dilaksanakan. Mengubah demokrasi prabayar menjadi "pascabayar".
Rakyat harus memilih pemimpin yang hebat, cerdas, dan jujur. Mereka mau bekerja
habis-habisan untuk bangsa dan rakyat.
Seharusnya, calon
pemimpin bertransaksi gagasan dan tawaran desain kemajuan bangsa, bukan sekadar
jualbeli suara pemilu. Kemudian, gerakan kaum minimalis politik dan referendum
untuk kepemimpinan nasional serta "rekonstitusi." Hal ini memiliki
basis yurisprudensi yang jelas.
Artinya, kudeta
pernah terjadi pada 1945 dan 1966, sedangkan referendum kepemimpinan dan
rekonstitusi pada tahun 1998. KPU harus mempertegas Peraturan KPU Nomor 17
Tahun 2013 tentang Dana Kampanye. Sebab dalam peraturan yang baru
dipublikasikan itu, tak ada ketentuan batasan dana kampanye bagi caleg DPR dan
DPRD.
Apalagi sudah
disinyalemen, Pemilu 2014 nanti banyak tantangan karena diprediksi sangat mahal
dan perputaran uang dana kampanye akan sangat tinggi. Hal ini dapat terlihat
dari kuantitas batasan sumbangan dana kampanye yang diperbesar dalam UU Partai
Politik maupun UU Pemilu Legislatif.
Jika KPU pusat
tegas dan mampu memotong money politic dengan regulasi cerdas, yang bawah akan
meniru. Tak kalah penting, pelaksanaan sistem kontrol pembiayaan kampanye harus
intens. Standardisasinya harus jelas dan detail.
Tak hanya
pembatasan atribut kampanye, namun harus menyangkut semua kekayaan kader parpol
dan caleg yang selama ini belum maksimal. Rezim jahat pelaku demokrasi prabayar
harus diganti dengan pemimpin yang baik.
Dengan demikian,
akar permasalahannya bisa teratasi karena saat ini pelaku politik uang jarang
tersentuh hukum. Gunakan Pemilu 2014 nanti menjadi alternatif nyata untuk
memilih pemimpin adil sesuai harapan rakyat.
Para pejabat harus
punya nasionalisme dan komitmen tinggi sehingga dalam setiap kebijakannya lebih
mengutamakan kepentingan rakyat daripada mengikuti sistem ekonomi liberal yang
menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar. Demokrasi prabayar tak
akan berhenti jika tak ada ketegasan dan tindakan revolusioner pemerintah.
Semua kalangan
harus menolak politik uang. Demokrasi prabayar harus segera diselesasikan
secepatnya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Walau demokrasi bukan segalanya,
tapi segalanya berawal dari sana.
Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas
Negeri Semarang
0 komentar:
Post a Comment