Oleh
Hamidulloh Ibda
Tulisan ini
dimuat di Koran Pagi Wawasan, 2 Desember 2013
Demontrasi yang dilakukan ribuan dokter di
beberapa tempat di Indonesia tak lama ini sangat sesat, merugikan, dan
menunjukkan kedangkalan berpikir mereka. Mengapa demikian? Karena aksi
demonstrasi menunjukkan “kekerdilan berpikir” dan “kesempitan nalar” para
dokter. Apalagi, mereka adalah orang yang menjadi tumpuan kesehatan bagi
masyarakat. Jika mereka berperilaku seperti preman, maka sama saja mereka
preman. Padahal, semua dokter adalah orang yang terdidik, terhormat,
bermartabat, dan menjadi anutan masyarakat.
Demonstrasi yang digawangi Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) ini didasarkan solidaritas atas “gelombang hukum” yang mendera beberapa
dokter yang dijatuhi vonis oleh Mahkamah Agung (MA). Memang tak bisa dibendung,
bahwa demonstrasi saat ini rawan akan kepentingan politik dan misi tersembunyi
sebagian kalangan. Karena itu, dokter di Indonesia seharusnya berpikir sehat
dan luas, karena tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan demonstrasi.
Salah satu kewajiban dokter adalah menciptakan
“kesehatan berpikir” dan berlogika arif, karena mereka adalah acuan masyarakat
dalam hal kesehatan dan kemanusiaan. Jika logika berpikir mereka sesat, maka
sama saja seperti “sakit jiwa”. Ironisnya, banyak demonstran hanya ikut-ikutan
dan tidak tahu misi demonstrasi, apakah untuk “supremasi hukum” atau “supremasi
keadilan” ataukan asal-asalan dan menunjukkan “eksistensi dokter”.
Demo ini memang sesat. Mengapa? Banyak dokter
tidak tahu tujuan dan signifikansinya. Apalagi, pemandangan “aneh” terlihat di
beberapa tempat aksi, banyak dokter melakukan foto-foto dan bergaya layaknya
artis. Hal ini dilakukan sesama dokter
ataupun para asistennya. Peralatan mengambil gambar juga beragam, mulai dari
kamera poket, kamera digital, hingga gadget mahal (Koran Tempo, 27/11).
Bahkan, Sekjend Center of Information and Communication
Studies (CICS) Hidayat Nahwi Rasul menilai demo dokter mencederai sumpah dokter untuk mengabdi pada
kemanusiaan. Lebih jauh, aksi ini mencederai sisi kemanusiaan.
Inilah yang seharusnya dipikir dan dipertimbangkan para dokter di Indonesia.
Mengurai Masalah
Banyak keluhan, cibiran, dan keresahan
masyarakat akibat demo dokter. Di berbagai tempat, aksi mogok pada dokter sangat
menghambat pelayanan kepada pasien. Aksi itu dipicu vonis MA yang menghukum
dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani beserta dua koleganya. Mereka divonis 10 bulan
penjara dalam sidang kasasi di MA. Kasus dokter Ayu dan kawan-kawan berawal
dari meninggalnya pasien yang mereka tangani di Rumah Sakit RD Kandou Malalayang,
Manado, Sulawesi Utara, pada 10
April 2010 (Kompas, 29/11).
Beberapa dokter menilai vonis itu adalah
bentuk “kriminalisasi” terhadap profesi dokter, dan karena itu muncullah aksi
mogok dan demo akbar di berbagai tempat. Isu kriminalisasi dilontarkan
seolah-olah sebagai pembenaran atas aksi mogok yang dilakukan ribuan dokter.
Istilah “kriminalisasi” itu menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat, apakah
dokter adalah profesi yang tak boleh tersentuh hukum? Ini sangat tidak logis,
mencederai profesi dokter, kemanusiaan dan menghina “akal sehat.”
Banyak pro kontra terhadap aksi tidak sehat
para dokter. Namun, seharusnya masalah ini disikapi bijaksana dan dewasa,
karena dokter bukanlah preman yang bisanya hanya marah-marah dan demonstrasi. Sebagai
masyarakat hukum, para dokter seharunya “menghormati” vonis MA yang sudah
dipertimbangkan dan tidak asal-asalan, karena setiap keputusan yang dikeluarkan
MA tidak “ngawur”, asal keluar dan “abal-abal”.
Insan dokter seharusnya juga berbenah dengan
akal sehat mereka. Artinya, dalam penanganan pasien, mereka harus berupaya
sebaik mungkin dan tak membunuh pasien. Meskipun mereka bukan Tuhan, bukan dewa
dan malaikat, tetapi harus melakukan upaya maksimal dan sebaik mungkin sesuai
standar profesi dokter dan jangan sampai melakukan demonstrasi apalagi tindak
pidana. Karena, sudah menjadi kewajiban dokter untuk menolong pasien dan
menyelamatkan nyawa manusia.
Dalam membela profesi, tindakan dokter tak
perlu membabi buta. Haram hukumnya jika dokter melakukan tindakan kriminal,
karena hal itu sangat melanggar hukum dan kode etik profesi dokter.
Keprihatinan dokter tak harus diekspresikan dengan demontrasi keterlaluan dan
merugikan rakyat, terutama para pasien dan orang sakit. Pada prinsipnya, yang
dilakukan dokter harus pro rakyat dan demi kesehatan, kemanusiaan, demi
kepentingan pasien dan tidak ada kepentingan lain. Bukankah diplomasi,
audiensi, dan bersikap arif itu lebih profesional dan tidak mencederai akal
sehat?
Diplomasi
Ada banyak hal untuk menyelesaikan
polemik vonis yang ditelurkan MA. Pertama, dokter perlu melakukan tindakan
arif, hal itu bisa dilakukan dengan diplomasi, diskusi, audiensi, karena dokter
adalah profesi mulia. Apalagi ada sinyal terang bahwa vonis MA bisa ditinjau
kembali. Jangan sampai profesi ini tercoreng karena “tindakan konslet” yang
mereka lakukan. Yang terpenting, putusan MA atas dokter Ayu harus dihormati.
Aksi mogok dokter juga terkesan berlebihan karena ribuan pasien dikesampingkan
hak-haknya untuk memperoleh pelayanan lantaran dokter tidak bertugas. Pasien
yang dirugikan bisa saja melancarkan gugatan balik atas aksi mogok itu.
Kedua, dokter harus memahami
prinsip equality
before the law atau semua pihak sama di hadapan hukum. Artinya,
semua pihak dari masyarakat, dosen, dokter, advokat hingga presiden kedudukan
sama di hadapan hukum dan bisa menghadapi proses pidana. Jika semua dokter
memahami ini, maka tidak mungkin ada aksi akbar yang sangat merugikan.
Apalagi, persoalan hukum dugaan malapraktek
yang dilakukan dr Ayu merupakan masalah instrumental. Dengan adanya demo,
justru dikorbankan adalah yang substansial, yaitu pengabdian dan pelayanan
kepada masyarakat.
Ketiga, para dokter harus kembali
memahami dan menaati SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tentang Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Di Pasal 8 dijelaskan bahwa “Dalam melakukan
pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan
memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial,
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya. Jika
semua dokter paham ini, tidak mungkin lahir demonstrasi sesat.
Keempat, pemerintah, Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran maupun IDI harus menghukum tegas para provokator dan
kalangan yang menjadi “otak” demonstrasi. Karena profesi dokter sanagt mulia
dan dihormati masyarakat. Jika mereka melakukan demo, hal itu merendahkan
profesi elegan tersebut. Demonstrasi justru membuktikan pendeknya berpikir dan
emosi sesaat.
Kaum dokter sebaiknya introspeksi pula bahwa
masih terjadi ratusan malapraktik sepanjang 2013, dan banyak kasus yang tidak
terungkap di media massa sehingga tidak diketahui
publik. Solidaritas yang membabi-buta tidak akan membawa kebaikan bagi profesi
luhur itu. Masih banyak cara-cara elegan untuk menyelesaikan sengketa. IDI juga
bisa meminta bantuan pemerintah/Kementerian Kesehatan, atau meminta dukungan politik kepada parlemen untuk
mempertanyakan atau meninjau kembali keputusan MA tersebut. Apalagi, para
dokter adalah kelompok yang terdidik sehingga bisa menyelesaikan persoalan
tersebut dengan cara-cara yang lebih elegan dan terhormat. Jika bisa dilakukan
dengan cara elegan, mengapa harus demo?
-Penulis adalah Peneliti Politik dan Demokrasi
di Nusantara Centre, Mahasiswa Aktif Program Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang
0 komentar:
Post a Comment