Oleh
Hamidulloh Ibda
Dimuat di
Koran Barometer, 14 Desember 2013
Jumlah pengangguran
kaum terdidik semakin memprihatinkan. Padahal, kaum intelektual “haram” dan
“dilarang” menjadi pengangguran. Jika insan terdidik tidak bekerja, bagaimana
nasib masyarakat yang pendidikannya rendah? Ini sangat ironis dan harus segera
dicari solusinya.
Pengangguran
terdidik adalah mereka yang mempunyai kualifikasi lulusan perguruan tinggi,
baik sekolah tinggi, akademi, institut, sampai universitas tetapi belum
memiliki pekerjaan layak. Secara keilmuan, mereka mapan, tetapi jika belum
bekerja, maka sama saja hal itu “omong kosong”.
Mengapa?
Karena diakui atau tidak, puncak dari mencari ilmu di Indonesia adalah untuk
mendapatkan pekerjaan layak dan mapan. Orang kuliah S1, S2, dan S3 tidak lain
adalah untuk mencari kemakmuran hidup.
Berdasarkan
data Kementerian Tenaga Kerja, jumlah pengangguran sarjana hingga Februari 2013
mencapai 360 ribu orang atau 5,04 persen dari total pengangguran yang 7,17 juta
orang (Koran Jakarta, 14/11/2013).
Data ini
belum mencakup jumlah sarjana di pedesaan yang tidak terdata oleh pemerintah.
Pasalnya, saat ini banyak sarjana memilih pulang kampung karena di kota tidak
mendapatkan pekerjaan layak.
Akhirnya,
mereka memperburuk citra almameternya, karena itu lahirlah anggapan bahwa “kuliah
itu tidak penting, karena ujung-ujungnya jadi pengangguran”. Paradigma ini
sangat logis, karena terbukti banyak pengangguran terdidik yang dicetak
kampus-kampus ternama seperti Universitas Indonesia (UI), Univeristas Gajah
Mada (UGM), dan sebagainya.
Berharap PNS
Sebenarnya,
langkah pemerintah mengurangi pengangguran sudah maksimal. Seperti contoh
dengan adanya penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang digelar tak
lama ini. Akan tetapi, seharusnya pemuda harus berdikari dan tidak mengutamakan
menjadi PNS. Terbukti, menjadi PNS sangat sulit, penuh kecurangan, dan tidak
bisa mengurangi jumlah pengangguran intelektual di Indonesia.
Secara
serentak di seluruh Indonesia, pada Minggu (3/11) lalu, sebanyak 1.612.854
peserta mengikuti Tes Kompetensi Dasar (TKD) CPNS dari semua formasi. Sebanyak
648.982 peserta di antaranya merupakan tenaga honorer kategori II (Kompas,
4/11/2013).
Ini
membuktikan bahwa banyak pemuda “menggantungkan” nasibnya pada CPNS, padahal
menjadi PNS bukanlah udara segar menjamin kemakmuran hidup. Karena kenyataanya,
banyak PNS miskin dan belum mampu memenuhi kehidupan layak bagi keluarga
mereka.
Di republik
berkembang seperti ini, pemuda seharusnya berpikir luas dan kreatif untuk
menciptakan lapangan pekerjaan. Mengapa demikian? Karena mental kaum
intelektual saat ini masih bermental “pelamar”, bukan “pencipta”. Padahal,
intelektual harus kreatif, pencipta, revolusioner, pengabdi, dan mewujudkan
Indonesia makmur adalah tugas utama mereka.
Apa guna
jumlah sarjana menjamur jika hanya menjadi beban negara. Selain menjadi masalah
sosial, hal itu juga memperburuk citra perguruan tinggi. Karena semakin
banyaknya jumlah pengangguran berijazah sarjana, semakin kental pandangan
masyarakat bahwa kampus adalah pencetak pengangguran terdidik. Maka, perlu
dicari solusi jitu untuk menjawab problem pelik tersebut.
Solusi
Selama ini,
banyak gagasan pendidikan entreprenuer didentumkan di kampus dan sekolah.
Selain itu, peningkatan dan pengembangan keterampilan lunak (soft skill)
melalui mata pelajaran juga terlaksana di berbagai lembaga pendidikan.
Akan tetapi,
kenyataanya hal itu belum mampu mengurangi jumlah pengangguran terpelajar.
Bahkan, tak heran jika banyak sekolah menangah atas (SMA) dilebur menjadi
sekolah menangah kejuruan (SMK). Hal itu terjadi karena efek globalisasi yang
mengharuskan sekolah mencetak lulusan siap kerja.
Jika
berbicara solusi, maka kita dihadapkan dengan solusi jangka pendek dan panjang.
Untuk jangka pendek, pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan di berbagai
bidang, tidak sekadar membuka pendaftaran CPNS.
Melihat data
pengangguran terdidik yang memprihatinkan, urgensi pembukaan lapangan pekerjaan
oleh pemerintah adalah 100 %. Selain itu, semua pengangguran terdidik harus
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Artinya, selama ini banyak potensi
pemuda tidak digali dan dikembangkan sehingga pemikirannya stagnan.
Untuk jangka
panjang, ada beberapa hal yang bisa mengurangi jumlah pengangguran terdidik.
Pertama, pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan dan perguruan
tinggi harus merevolusi kurikulum.
Artinya,
semua kurikulum dan materi pendidikan harus sesuai kondisi zaman. Karena,
selama ini banyak sekali materi kurikulum tidak sesuai kebutuhan. Kampus juga
harus membuat konsep pendidikan kerja agar kompetensi lulusan sesuai kebutuhan
lapangan kerja dan siap bekerja.
Kedua,
kampus harus tegas dan mampu menutup fakultas/jurusan yang tidak sesuai konteks
global. Artinya, selama ini banyak kampus membuka fakultas yang lulusannya
tidak laku kerja seperti jurusan sastra Inggris, Arab, dan sebagainya, serta
fakultas yang lulusannya terlalu banyak seperti jurusan kependidikan, hukum,
bahasa dan jurusan lain yang sudah banyak alumninya. Maka, kampus harus membuka
fakultas (jurusan) yang sesuai lapangan kerja saja.
Ketiga,
perguruan tinggi harus peduli terhadap lulusannya. Artinya, selama ini kampus
terkesan “lepas tangan” dan tidak peduli terhadap alumnusnya. Padahal, lulusan
membawa nama almameter kampus di masyarakat.
Peran kampus
sebenarnya tidak sekadar mendidik dan meluluskan mahasiswa, tetapi juga
bertugas mengusahakan, mencarikan, dan menyalurkan lulusannya untuk mendapat
pekerjaan layak. Karena itu, kampus harus giat bekerja sama dengan perusahaan,
lembaga usaha, baik di dalam maupun luar negeri.
Keempat,
peningkatan pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja dengan dibekali karakter
dan etos juang dan etos kerja secara mapan. Mengapa saat ini banyak SMA
berkonversi menjadi SMK? Karena lapangan kerja membutuhkan ilmuan teknis,
cekatan, fokus di bidangnya, serta berketrampilan dan siap pakai.
Kelima,
kampus harus mewajibkan semua mahasiswanya berwirausaha. Tidak peduli
fakultasnya apa, yang penting ada aturan tegas dari kampus mewajibkan
mahasiswanya bekerja dan memiliki penghasilan sendiri tanpa mengandalkan uang
dari keluarga. Jadi, paradigma “ilmuan pekerja” harus ditanamkan ketika
mahasiswa, karena hakikatnya bekerja tidak perlu menunggu lulus kuliah atau
mendapat ijazah. (*)
Hamidulloh
Ibda,
Direktur
Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah dan Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang (Unnes)
0 komentar:
Post a Comment