Oleh: Hamidulloh Ibda
Peneliti senior pada Centre for Democracy and Islamic Studies (CDIS) Semarang, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Terorisme atas nama apapun harus dihentikan, karena hukumnya “haram” dan merugikan umat manusia. Semua agama di negeri ini melarang umatnya melakukan kejahatan, ngebom, membunuh dan meneror, justru agama mengajarkan kasih sayang, cinta dan kedamaian. Maka dari itu, deradikalisasi, memutus mata rantai terorisme dan solusi radikal harus segera dilakukan untuk menghentikan bahaya laten tersebut.
Munculnya aksi teror di Ciputat, Jakarta, tak lama ini sangat mengagetkan publik. Tragedi ini diduga ada hubungannya dengan Pemilu 2014 nanti. Maka dari itu, masyarakat harus tetap tenang dan tak boleh terjebak pada tragedi tersebut. Pemerintah dan Tim Densus 88 Antiteror Polri harus segera menyelesaikan sampai tuntas ke akarnya.
Selama ini terorisme sering dikaitkan dengan agama, terutama Islam. Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan terorisme, begitu pula dengan agama lain. Islam datang untuk menciptakan kegembiraan dan kedamaian bagi semua manusia. Bahkan tidak hanya pada manusia, namun kegembiraan dan rahmat harus diberikan pada hewan, tumbuhan dan semua alam. Jika ada orang Islam melakukan aksi teror, nampaknya mereka “pura-pura” beragama.
Orang beragama itu kewajibannya adalah semua tutur katanya, tindakan dan keputusannya menjamin keselamatan semua orang di lingkup wilayahnya, baik seagama maupun berbeda agama. Jika tidak demikian, maka hakikatnya mereka tidak beragama. Karena tugas orang beragama adalah menciptakan kegembiraan, menghembuskan keamanan bagi nyawa, harta dan martabat semua manusia.
Jika ada terorisme atas nama agama, maka sebenarnya hal itu “sesat”, karena terorisme bukanlah jihad. Terorisme atas nama agama selama ini adalah bukti kesesatan dan kekerdilan berpikir dalam memahami agama. Sebagai manusia cerdas, kita tidak boleh terperosok stigma negatif tersebut.
Terorisme bukan Jihad
Teror secara bahasa diartikan sebagai usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan untuk mencapai tujuan tertentu, terutama tujuan politik. Nassir Abbas (2005) menjelaskan terorisme merupakan perilaku radikal dan merugikan, dari menghancurkan fasilitas umum, membunuh dan sebagainya.
Hendropriyono (2009) membagi beberapa penyebab terorisme. Pertama, realitas teologi, yaitu melakukan kekerasan atas dasar perintah Tuhan. Kedua, realitas historis, artinya melakukan kejahatan karena meneruskan sejarah. Ketiga, realitas ideologi, meliputi mengebom, membunuh dan merusak dengan visi mendirikan negara baru. Keempat, permainan logika dengan pemutarbalikan makna teror sebagai jihad.
Lalu, apakah terorisme itu jihad? Jelas tidak. KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menjelaskan bahwa tipologi orang beragama itu seperti orang sekolah yang bertingkat-tingkat, yaitu PAUD, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Menurut Gus Mus, jika ada orang beragama tapi meneror, maka dia masih berada pada level bawah seperti anak-anak. Karena beragama itu harus sampai ke “ruh” tidak hanya pada “daging” saja. Beragama itu harus menghembuskan kedamaian, bukan kekerasan dan terorisme.
Kekerasan atas nama agama adalah bukti tingkat pemahaman agama sangat rendah. Pemeluk agama tidak boleh menyalahkan pemeluk agama lain ketika apa yang dilakukan tidak sama. Namun realitas sekarang sangat berbeda, karena banyak ormas-ormas atas nama agama yang merusak, mengebom bahkan membunuh manusia. Ini sangat ironis dan harus dicari formula dan solusi cerdas. Karena semua pemeluk agama sama-sama bertujuan menuju “Tuhan” meskipun jalan yang digunakan berbeda.
Sejak dini, toleransi agama harus dibumikan kembali. Karena banyak agama-agama saat ini justru menjadi “api dalam sekam”. Agama yang seharunya menjadi sumber perdamaian, namun sekarang menjadi akar kekerasan. Ini merupakan bukti bahwa manusia masih parsial dalam memahami agama. Karena api tidak bisa dipadamkan dengan api. Jika ada pemeluk agama lain keras lalu dibalas dengan kekerasan, maka hal itu akan menjadi masalah baru, begitu pula dengan terorisme.
Meluruskan Makna Jihad
Islam menganjurkan pemeluknya melakukan jihad/ijtihad. Jika tidak ada ijtihad, dunia sepi dan peradaban berhenti, namun jihadnya harus pas dan cerdas. Sikap dan etos jihad sangat diperlukan untuk mewujudkan perubahan bagi manusia. Manusia dianjurkan menjadi “mujtahid” dan “mujahid”. Jika jihadnya dalam hal intelektual namanya “ijtihad” dan orangnya “mujtahid”. Artinya, manusia dianjurkan untuk menguak hal-hal baru dan revolusioner dalam hal intelektual, seperti menemukan teori baru, wacana pencerahan, konsep cerdas dan gagasan revolusioner untuk perubahan dunia.
Sedangkan jihad di wilayah spiritual namanya “mujahadah” dan pelakunya “mujahid”. Pemeluk agama dianjurkan menemukan formula baru dalam hal spiritual dan sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan. Orang beragama harus mampu membuat hutan rimbanya Tuhan menjadi taman indah untuk dinikmati manusia. Inilah makna jihad sebenarnya yang memberi solusi atas komplikasi sosial, bukan sebaliknya. Manusia harus memaknai jihad sebagai jalan pengembaraan intelektual dan spiritual untuk menuju pada Tuhan.
Jadi, sudah jelas bahwa terorisme, perang dan merusak bukanlah jihad. Meskipun dulu Nabi Muhammad sering berperang, namun bukan berarti suka perang. Pada hakikatnya beliau “terpaksa perang” demi melindungi kaum miskin, janda kelaparan yang tertindas. Inilah yang harus dipahami secara radikal, karena banyak teroris mengebom atas dasar meniru nabi yang dulu sering perang. Di zaman demokrasi seperti ini “sangat lucu” jika masih ada orang meneror yang mengatasnamakan jihad atau agama.
Deradikalisasi
Pemerintah dan Tim Densus 88 Antiteror Polri harus serius menumpas terorisme. Jika teroris sering melakukan tindakan irasional dengan mengebom, maka pemerintah harus membuat regulasi rasional berbasis sistem keadilan ekonomi, sosial, kekuasaan dan politik.
Terorisme merupakan patologi sosial atas dasar kebebasan berekspresi. Maka, pemerintah harus membuat kebijakan jitu yang mampu memenuhi dan menjawab kekebasan berekspresi bagi masyarakat. Jangan sampai kebebasan berekspresi salah arah dan merugikan manusia.
Semua kalangan, mulai dari presiden, pemeluk agama dan rakyat bawah harus memiliki jiwa resistan terhadap nilai-nilai universalisme yang tunduk terhadap UUD 1945 dan Pancasila. Artinya, segala tindakan manusia Indonesia harus berdasarkan nasioalisme, kebersamaan dan perdamaian. Penegak hukum dan masyarakat juga harus waspada setiap waktu, karena datangnya teror tak diundang dan tak bisa diduga.
Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT), tokoh agama dan masyarakat harus bersinergi melakukan deradikalisasi, khususnya untuk pemuda yang rentan terdoktrin pihak jahat dan media massa. Selaku koordinator pemberantasan dan penanggulangan terorisme, BNPT harus rajin blusukan ke desa-desa rawan teror untuk melakukan deradikalisasi dan pencegahan dini. Karena teroris senior yang sudah tertangkap, biasanya meninggalkan warisan ideologis terhadap keluarga dan temannya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga perlu membuat blue print pendidikan antiterorisme. Setidaknya, sekolah, kampus dan semua lembaga pendidikan harus menanamkan jiwa damai dan toleran terhadap pelajar. Jika tidak ada peran pendidikan, maka tunas teroris akan tumbuh kembali.
(Dimuat di Koran Wawasan, 8 Januari 2014).
0 komentar:
Post a Comment