Oleh: Hamidulloh Ibda
Intelektual Muda NU, Peneliti senior Centre for Democracy and Islamic Studies (CDIS) Semarang
Apa hukumnya politik uang? Yang waras pasti mengharamkannya dan yang gila pasti menghalalkannya. Di lubuk hati manusia menyimpan sejuta impian bahwa selama ini politik uang hanya dikritik, tanpa dicari formula untuk mengharamkannya. Padahal, tugas intelektual Islam adalah berani “mengatakan haram” pada politik uang.
Tahun 2012, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pernah mewacanakan fatwa haram money politic atau politik uang. Namun, sampai sekarang impian tersebut belum ditindaklanjuti dengan formula tegas. Padahal, hal itu perlu mendapat dukungan, terutama dari pemerintah. Pasalnya, selama ini Indonesia menjadi lahan subur politisi busuk untuk melakukan kejahatan politik uang kepada masyarakat. Padahal, menyogok, menyuap, dan memberi uang kepada masyarakat dalam pemilihan umum sangat dilarang Negara.
Orang waras pasti mengharamkan politik uang. Tapi, hampir semua orang Indonesia saat ini “mengamini” politik uang. Ini sangat melukai akal sehat dan hati nurani manusia. James Kerr Pollock (1932) pernah menyatakan bahwa relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Bahkan, sampai kiamat pun suatu negera tidak akan maju jika politik uang masih tumbuh subur. Karena itu, politik uang harus dihentikan secepatnya. Jika tidak, alam demokrasi di negeri ini semakin semrawut.
Wacana PBNU menjadi menarik dan harus didukung pemerintah dan semua kalangan termasuk partai politik. Apalagi, saat ini praktik politik uang semakin merajalela dan terang-terangan. Padahal, nilai materi/uang yang diberikan kepada masyarakat sangat sedikit, yaitu berkisar antara Rp. 20.000-Rp.100.000. Permasalahannya bukan pada uangnya, tapi budaya menyogok akan tumbuh subur dan meracuni sendi-sendi kehidupan manusia.
Kedok politik uang
Fenomena politik uang yang terjadi di masyarakat sangat beragam, dari pemberian kaos gratis, uang, bahan sembako, pengobatan gratis, dan sebagainya. Fakta di lapangan, banyak money politic yang dibungkus dan berkedok amal, sedekah, ataupun zakat. Maka dari itu, rencana PBNU mengeluarkan fatwa haram praktik politik uang dengan kedok dan modus apa pun harus ditindaklanjuti agar tidak usang.
Pemanfaatan sedekah atau zakat di dalam kepentingan politik memang sering terjadi di Indonesia. Mengingat, negeri ini penduduknya adalah mayoritas beragama Islam. Saat ini, cara apa saja memang dilakukan demi kepentingan politik. Mereka melakukan sedekah atau zakat dijadikan alat untuk merebut hati umat muslim, guna mendapatkan dukungan untuk pemilukada, pemilu, ataupun pemilihan presiden.
Dewasa ini, money politic menjadi kebiasaan yang membudaya di masyarakat. Bahkan, pelaksanaan politik uang terjadi jauh-jauh hari sebelum pemilu berlangsung, dari “serangan fajar” hingga “serangan dhuha.” Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Apalagi, saat ini belum ada tindakan tegas kepada pelaku politik uang. Maka, mendukung fatwa haram politik uang merupakan keniscayaan.
Kontroversi
Meskipun terjadi kontroversi bagi sejumlah kalangan elit politik, namun hakikatnya wacana PBNU tersebut menjadi “sinyal positif” untuk memberantas kejahatan politik di negeri ini. Pasalnya, jika politik uang diharamkan di negeri ini, secara otomatis momentum pemilu akan bersih dari politik uang, dan alam demokrasi kita juga bersih dari virus-virus kotor.
Rencana PBNU tersebut disambut gegap gempita sejumlah elit parpol, baik dari kalangan parpol agama atau parpol nasionalis. Belakangan ini, memang marak sejumlah elit yang memanfaatkan aktivitas amal, sedekah, zakat. Padahal, di balik semua itu ada kepentingan tersembunyi, baik kepentingan meningkatkan popularitas hingga kepentingan dukungan. Aktivitas tersebut memang semakin meningkat belakangan ini. Pasalnya, tahun 2014 merupakan momentum pelaksanaan pemilukada di banyak daerah. Ditambah lagi, 2014 adalah pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden.
Karena itu, semua kalangan dan masyarakat harus mendukung PBNU yang mewacanakan fatwa haram politik uang. Jika tidak, maka praktik politik uang di negeri pasti merajalela dan meruntuhkan demokrasi bangsa ini.
Mengharamkan
Dalam buku Ushul Fikih, yang diterjemahkan Drs. H. Nasrun Haroen, MA (1987) disebutkan bahwa “alhukmu yadhurru ma’a illatihi, wujudan au-adaman.” Artinya, hukum itu beredar (mengikuti) sesuai illat (sesuatu yang menyebabkan perkara itu terjadi). Dalam hal ini, politik uang menjadi haram karena memang melanggar hukum, norma agama, dan Undang-undang Dasar 1945.
Fatwa haram politik uang harus segera direalisasikan. Namun, ada pertanyaan besar. Apakah, fatwa ini akan berlaku efektif? Mengingat fatwa adalah imbauan kepada masyarakat dan tidak memiliki sifat memaksa. Bagaimana caranya, masyarakat menolak sedekah dari elit politik yang ingin membangun masjid, contohnya. Padahal, tentu saja di balik itu ada kepentingan.
Selain mempertanyakan efektivitas, pembahasan fatwa ini juga haruslah komprehensif, jelas, dan tegas. Jangan sampai, dengan keluarnya fatwa ini menimbulkan polemik baru di masyarakat, karena tidak ada batasan ketegasan mana sedekah yang money politic dan mana yang bukan.
Terlepas dari itu, hakikat fatwa ini bertujuan baik, karena “mengharamkan” politik uang dalam kehidupan politik. Maka, perlu adanya sinergi dan dukungan pemerintah, Kemenag, MUI, dan masyarakat. Jika politik uang tidak diharamkan, maka kejahatan ini pasti merajalela. Jika tidak diharamkan, berarti sama saja pemerintah “mendukung dan menghalalkan” politik uang. Maukah Anda disebut gila karena menghalalkan politik uang?
(Dimuat di Koran Barometer, 23 Januari 2014).
0 komentar:
Post a Comment