Oleh Hamidulloh Ibda
Imlek dan hujan. Dua kata ini simpel namun sebenarnya ada
mitologi tinggi yang harus ditelisik dan dibongkar. Karena selama ini, setiap
perayaan imlek hampir diselimuti dengan hujan dan angin kencang. Entah ini
hanya sekadar “kebetulan” atau memang sudah menjadi takdir Tuhan.
Bagi Saya, hujan pada imlek bukan sekadar mitologi,
melainkan harus menjadi “kewaspadaan alam” bagi semua manusia. Karena tak lama
ini Indonesia diguncangkan berbagai bencana, seperti banjir bandang dan tanah
longsor.
Menurut Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Supriyo,
menyatakan bahwa Jumat, 31 Januari 2014 akan turun hujan. Supriyo menjelaskan,
BMKG memperkirakan hujan akan mengguyur sebagian besar wilayah Jabodetabek,
Jumat, 31 Januari 2014. Namun kecepatan anginnya berkisar antara 5-15 knots
atau 9-27 kilometer per jam. Dengan kecepatan angin seperti itu, awan hujan
terdorong ke daerah lain.
Supriyo menjelaskan kisaran kecepatan angin terletak pada
skala 2-4. Angin berskala 2 merupakan angin agak kencang. Ini ditandai di laut
berupa ombak-ombak kecil. Adapun angin berskala 4 ditunjukkan dengan tanda di
laut berupa ombak kecil yang panjang dan memiliki banyak buih putih. Meski
begitu tetap saja, Jakarta dan sekitarnya berpotensi hujan. Potensinya
hampir merata di semua wilayah (Tempo.co, 31/1/2014). Namun ternyata perkiraan
BMKG benar, karena terjadi hujan meskipun tidak sehari penuh.
Mitos Hujan?
Selain daerah Jabotabek, cuaca aneh juga terjadi Jawa
Tengah khususnya di Semarang. Sejak pagi sampai 04.49 WIB tidak ada hujan.
Namun ternyata pada pukul 04.49 WIB akhirnya turun hujan sampai malam hari.
Kejadian ini sangat membuat penulis termotivasi untuk menelisik psikologi alam
lebih dalam lagi. Apakah imlek selalu berbarengan dengan musim hujan sehingga
pasti hujan, ataukah memang ini sudah takdir Tuhan. Entahlah.
Menurut beberapa pengamat cuaca dan kosmologi, perayaan
imlek di Indonesia memang selalu bersama musim hujan. Maka BMKG memprediksikan
akhir Januari 2014 hingga bulan Februari masih rawan hujan dan angin kencang.
Ini ada benarnya jika kita mempelajari ilmu “pranata
mangsa” dan “katuranggan”. Artinya, perayaan imlek selalu berbarengan dengan
musim hujan. Maka jika turun hujan, hal itu bukan mitos, memang sudah “desain
Tuhan” yang menjadikan imlek dan hujan selalu bersama bagaikan dua keping mata
uang.
Dalam bahasa Indonesia (2013), imlek diartikan sebagai penanggalan Cina berdasarkan peredaran bulan. Sedangkan
paradigma imlek secara luas diartikan sebagai hari besar bagi mereka
beragama Buddha Mahayana, Khong Hu Cu dan Tao. Dalam acara keagamaan ini, para
umat tersebut mengucapkan syukur kepada Tuhan atas datangnya berkah musim semi
yang terjadi di belahan bumi utara, hal ini kemudian diwujudkan juga dengan
lahirnya tahun baru.
Imlek merupakan perayaan yang dilakukan berdasarkan
tradisi. Perayaan ini bukan merupakan hari besar sebuah agama. Orang yang bukan
beragama Konghucu namun masih keturunan Tionghoa masih ikut merayakan.
Sedangkan hubungannya dengan mitos hujan hanya kepercayaan saja. Lalu, apakah
Anda tetap mempercayai hujan dalam imlek sebagai hal ilmiah, mitos atau sudah
rekayasa Tuhan?
Dalam kajian filologi, orang
tua zaman dulu memercayai hujan pada hari imlek diartikan sebagai “tanda
kemakmuran”. Jika imlek hujan, maka hal itu pertanda kemakmuran, begitu pula
sebaliknya. Namun, fakta di Jumat 31 Januari 2014 masih terjadi hujan di mana
saja, terutama di Indonesia. Artinya, dengan datangnya hujan tahun ini pada
perayaan imlek, berarti menunjukkan bahwa Tuhan masih sayang dengan manusia
Indonesia meskipun di beberapa tempat diterpa bencana.
Menurut ahli feng
shui Xiang Yi, hujan memang sering kali dipercaya membawa
keberkahan. Namun rekayasa hujan tidak akan mengubah garis peruntungan
seseorang. Rekayasa hujan hanya untuk mengalihkan hujan, bukan lantas bisa mencipatakan
atau menghilangkan hujan. Menurutnya, meskipun direkayasa, tetap saja akan ada
hujan yang turun. Terbukti di tahun 2014 ini terjadi hujan meskipun di sebagian
tempat hanya setengah hari.
Mengenai peruntungan seseorang, menurut Xiang Yi, tidak
bisa diukur dari hujan yang turun di hari Imlek. Setiap orang telah memiliki
garis peruntungannya masing-masing sesuai tanggal lahir. Maka yang terpenting
setiap manusia Indonesia harus menebar kedamaian dan berbuat baik agar disukai
Tuhan.
Masa Depan Imlek
Dalam kajian Islam, rahmat itu selalu diberikan kepada
semua manusia. Seperti rezeki, hujan dan sebagainya. Namun berbeda dengan
“barakah,” karena barakah hanya didapat umat yang bertakwa kepada Tuhan dengan
sepenuh hati. Lalu, bagaimana dengan hujan pada imlek?
Turunnya hujan pada imlek membuktikan bahwa Tuhan memberi
rahmat pada semua manusia dan alam. Hal ini harus menjadi motivasi manusia
untuk selalu menjalankan perintah Tuhan dan selalu menebar benih cinta dan
kasih sayang agar Indonesia jauh dari bencana.
Koordinator Jaringan Intelektual TAO Indonesia, Shidarta
Adhimula, pernah menyatakan bahwa bagi masyarakat Tionghoa, kemudahan dalam
mendapatkan rezeki selama setahun ke depan bisa dilihat dari hujan tidaknya
malam pergantian tahun baru Imlek nanti. Jika hujan, berarti pertanda
kemakmuran dan kesejahteraan. Sebaliknya, jika rumah mereka sepanjang malam
nanti tak tersentuh air hujan berarti rezeki selama setahun ke depan akan sulit
mereka raih.
Hal ini berhubungan dengan nenek moyang masyarakat
Tionghoa yang agraris. Bagi masyarakat
Indonesia pada umumnya, hujan itu juga berkah. Karena hujan tanaman padi dan
berbagai jenis komoditas pertanian bisa tumbuh subur, hutan tersirami, dan kita
memiliki cadangan air yang cukup. Hujan membawa iklim yang sejuk dan siklus
kehidupan manusia akan makin sempurna (Koran Jakarta, 30/1/2014).
Lalu, bagaimana dengan kondisi banjir yang selalu ini
terjadi akibat hujan? Apakah hal itu rahmat, barakah atau kemakmuran?
Inilah tugas orang beragama, baik Islam, Kristen, Budha,
Khonghucu, untuk selalu merubah rahmat tuhan menjadi barakah. Merubah hutan
rimbanya Tuhan menjadi taman indah, salah satunya hujan harus diijtihadi
menjadi kemakmuran. Pasalnya belakangan ini hujan dimaknai manusia sebagai
“azab” karena menjadikan banjir bandang di semua tempat.
Ya, sudah saatnya tokoh agama melakukan revolusi spiritual
untuk melakukan “lobi takdir” kepada Tuhan agar hujan menjadi simbol
kemakmuran, bukan tanda kiamat kecil. Apa artinya hujan jika justru menjadi
azab Tuhan? Anda sendiri yang tahu jawabannya. Intinya, hujan tidak hujan
adalah kehendak Tuhan, yang terpenting saat ini manusia harus berbenah di semua
hal. Selamat Imlek, Gong Xi Fa Cai.
-Tulisan ini dimuat di Koran Barometer, 6 Februari 2014
0 komentar:
Post a Comment