Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis Buku Demokrasi Setengah Hati (Kalam Nusantara: 2013),
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Politik di era digital seperti ini memang serba bungkus tanpa
substansi. Maka tak heran jika muncul banyaknya calon legislatif (caleg) “abal-abal”
di setiap parpol. Padahal, caleg menjadi “tolok ukur” dan simbol perkaderan bagi
parpol. Jika caleg suatu parpol berkualitas, cerdas dan kompeten, maka hal itu
menunjukkan kualitas perkaderan parpol, begitu pula sebaliknya.
Caleg baik akan selalu menyeru pada kebaikan, dan hanya mereka yang
mampu menjadi wakil rakyat amanah dan tidak korup. Jika pemilu 2014 nanti
dimenangkan para caleg abal-abal, maka rusaklah bangsa ini. Karena posisi
politik ibarat pedang yang bisa digunakan untuk kebaikan, namun juga bisa
membunuh diri sendiri dan orang lain.
Munculnya politisi dan caleg musiman menjadi simbol buruknya sistem
perekrutan, perkaderan parpol dan demokrasi kita. Mereka sudah menjadikan
politik dan parpol sebagai bisnis dan tujuan, bukan sebagai alat untuk mengabdi
pada bangsa. Padahal, parpol harus diisi orang baik, dan caleg haruslah orang yang
memiliki “ruh berjuang”, bukan sekadar pemilik modal yang berorientasi pada
recehan dan kekuasaan belaka.
Paradigma teori politik Barat menyatakan bahwa parameter negara
demokratis salah satunya diukur dari perkaderan parpolnya. Jika parpolnya diisi
orang jahat, calegnya tidak berkualitas, maka negara tersebut belum layak dan
memenuhi standardisasi negara demokratis. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Sudahkah menjadi negara demokrasi? Ataukah demokrasi yang berjalan masih
setengah hati?
Kelemahan Demokrasi
Di alam demokrasi seperti ini, semua masyarakat memiliki hak politik
sama. Artinya, tidak ada perbedaan dan sekat yang membatasi manusia untuk
berpolitik dan menjadi caleg. Tidak pandang dia orang baik atau jahat, miskin
atau kaya, bahkan orang gila juga bisa berpolitik. Inilah salah satu kelemahan
demokrasi. Pasalnya, jika demikian yang terjadi, banyak orang jahat berpotensi
mengisi posisi dan jabatan strategis di lembaga pemerintahan, baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Jika posisi strategis diisi politisi jahat, maka
rusaklah negeri ini.
Banyak kritikus demokrasi modern menjelaskan demokrasi bukanlah sistem jitu.
Apalagi, parpol-parpol dihuni para penjahat yang kualitasnya rendah,
intelektualnya biasa-biasa saja, sehingga produk kebijakan yang dilahirkan juga
tidak revolusioner dan mampu mengeluarkan Indonesia dari berbagai macam
komplikasi di berbagai hal.
Apalagi Indonesia adalah negara sangat besar dan ironis jika warga
negara yang memiliki hak pilih didominasi mereka yang jahat. Pasalnya,
sesungguhnya mereka tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai siapa saja yang
dinominasikan menjadi calon pejabat oleh partai-partai dalam pemilu. Tidak
sedikit juga yang memilih calon-calon tertentu berdasarkan sentimen atau emosi
tertentu, baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek.
Cacat bawaan demokrasi juga terlihat pada pemimpin-pemimpin yang
memiliki penyakit “mual” (mutu amat lemah). Mereka lahir dari parpol yang
kurang selektif dalam melakukan perekrutan caleg maupun capres-cawapres. Ini
tidak bisa dipungkiri, karena saat ini siapa saja yang memiliki modal banyak,
mereka bisa menjadi politisi dan caleg.
Kealfaan Parpol
Hakikatnya, parpol menjadi penentu baik dan buruknya demokrasi, karena
parpol menjadi elemen utama dalam melahirkan caleg-caleg berkualitas. Meskipun
demokrasi membuka kebebasan untuk berpolitik, namun bukan berarti parpol
asal-asalan merekrut caleg tanpa pertimbangan bibit, bebet dan bobot.
Parpol sebenarnya bukan sekadar organisasi politik, namun juga
berfungsi sebagai organisasi perkaderan. Parpol sebagai organisasi kader
diharapkan mampu menjadi “alat perjuangan” untuk mentransformasikan gagasan dan
aksi terhadap rumusan visi misi sesuai ideologi parpol masing-masing.
Parpol harus menjadi platform yang jelas dalam menyusun agenda
dengan mendekatkan diri kepada realitas masyarakat dan secara konsisten
membangun proses dialetika secara objektif dalam pencapaian tujuaannya.
Artinya, jangan sampai prinsip demokrasi disalahartikan dengan merekrut caleg
abal-abal tanpa melakukan “reboisasi politik” dan menyiapkan calon pemimpin.
Parpol tidak boleh materialistis dan mengutamakan caleg bermodal,
berlatarbelakang artis maupun model. Jangan sampai politisi baik dan
berkualitas tidak diberi kesempatan parpol untuk menjadi caleg maupun capres
hanya karena kekurangan modal uang. Hal ini menjadi dosa besar parpol, karena
menjelang Pemilu 2014, banyak parpol melalukan perekrutan akbar dari kalangan
artis, model, pengusaha untuk dijadikan caleg.
Perbaikan Perekrutan
Caleg abal-abal harus dicegah kemunculannya. Hal itu bisa dilakukan
parpol, dengan dibantu KPU dan Bawaslu untuk memutus embrio caleg abal-abal.
Salah satu alternatifnya parpol harus melakukan perbaikan perekrutan kader.
Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary, AS
Hornby menyatakan “Cadre is a small group
of People who are specially chosen and trained for a particular
purpose”. Artinya, kader adalah sekelompok orang yang terorganisasi secara
terus-menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok lebih besar.
Dalam hal ini parpol harus memilih kader yang akan didesain menjadi
caleg. Jauh-jauh hari, bahkan perlu bertahun-tahun parpol mengader politisi
untuk menjadi caleg berkualitas dan baik moralnya. Jika hal ini dilakukan, maka
tidak mungkin ada “caleg dadakan”. Karena caleg musiman adalah caleg abal-abal
dan melukai hakikat demokrasi.
Che Guevara (1962) juga menyatakan bahwa kader adalah seorang yang
memiliki disiplin ideologis dan administratif, yang mengetahui dan mempraktikkan
sentralisme demokrasi. Kader seperti inilah yang harus dicalegkan, karena
menurut Che Guevara, hanya kader sejati yang mampu melakukan revolusi.
Parpol wajib hukumnya merekrut politisi cersdas, baik, bahkan terbaik
dan revolusioner. Dengan demikian, caleg yang dipentaskan dalam pemilu adalah
caleg pilihan dan bermutu, sehingga ke depan rakyat akan mendapatkan
pejabat-pejabat politik yang baik. Akan tetapi, jika blueprint seperti
ini tidak dijalankan, bisa saja yang terpilih kemudian adalah caleg buruk di
antara yang terburuk, atau bahkan yang terburuk. Maukah kita memiliki wakil
rakyat buruk? Tentu tidak.
Politisi yang diperlukan saat ini ialah mereka yang memiliki daya tahan
terkuat untuk mengisi struktur-struktur yang korup. Mereka harus menjadi ibarat
emas yang berada di dalam comberan yang kotor tetapi tidak turut menjadi kotor.
Dalam sistem yang korup sekalipun, politisi baik harus tetap bertahan.
Indonesia sangat membutuhkan caleg-caleg baik yang siap menjadi mercusuar
perubahan bagi masyarakat.
Selain itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga berperan strategis
mencegah munculnya caleg abal-abal. Pasalnya, undang-undang telah mengatur
persyaratan bagi setiap warga negara yang ingin menjadi caleg baik di DPR, DPD,
maupun DPRD. Persyaratan itu diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) dan Dewan Perakilan Rakyat Daerah (DPRD).
KPU harus menambahkan syarat khusus yang mampu menunjukkan integritas
caleg, bukan sekadar syarat administratif yang terkesan formalistik simbolis.
Dengan demikian, caleg abal-abal akan terputus embrionya.
-Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Senin 24 Februari 2014.
0 komentar:
Post a Comment