Oleh
Hamidulloh Ibda
Peneliti
Senior Centre for Democracy and Islamic Studies (CDIS),
Pegiat
Filologi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Rebutan
merupakan budaya biasa di negeri ini. Jangankan kursi presiden, DPR, gubernur
atau rektor, ada cewek cantik di kampus saja menjadi rebutan para mahasiswa.
Itulah yang terjadi saat ini pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian
Agama (Kemenag) yang “merebutkan” pelabelan sertifikat halal.
Kewenangan
MUI sebagai satu-satunya organisasi menerbit sertifikat halal terancam. Lewat
Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH), pemerintah ingin
mendapat kewenangan penuh dalam pengaturan dan pemberian sertifikasi halal
sebagaimana diusulkan dalam RUU. Ini berarti memangkas “hak monopoli” MUI
(Kompas.com, 28/2/2014). Polemik ini menarik, apalagi MUI berisi sekumpulan
ulama yang sudah 25 tahun menjadi pemegang hak pelabelan halal.
Kita
tidak bisa menyalahkan Kemenag, MUI dan pemerintah. Artinya, sebelum kita
menentukan siapa yang boleh memberi fatwa halal, sebelumnya harus harus kita
“dekonstruksi” epistemologi fatwa hukum halal dan siapa yang berhak
mengeluarkan fatwa. Karena dalam hukum, hakikatnya yang boleh memberikan fatwa
hanyalah Allah Swt. Ada pun beberapa hukum kontemporer adalah “hasil ijitihad”
para ulama dan intelektual muslim untuk menguak hal baru.
Hukum
“Menghukumi”
Dalam rumus internal Islam, sesuai kajian Usul Fikih dalam buku buku Ushul Fikih, yang diterjemahkan Drs. H. Nasrun Haroen, MA
(1987) disebutkan bahwa “alhukmu yadhurru
ma’a illatihi, wujudan au-adaman.” Artinya, hukum itu beredar (mengikuti) sesuai illat (sesuatu yang
menyebabkan perkara itu terjadi). Dalam hal ini, semua hukum tentang Islam yang
bisa diikuti masyarakat Islam bisa dikeluarkan ulama fikih. Namun, dalam
praktiknya, di Indonesia sangat “blunder” karena tak lama ini
diperebutkan MUI dan Kemenag/pemerintah seiring munculnya RUU JPH. Lalu, siapa
yang berhak memberikan hukum, fatwa atau label halal?
Menurut
Cak Nun (2013) fikih itu ibarat makanan hasil olahan dapur Usul Fikih. Maka
yang menentukan sedap tidaknya masakan adalah “caranya memasak.” Metode masak
hukum Imam Syafi’i dijelaskan dalam kitab Ar-risalah, hasil
masakannya dibeberkan dalam kitab Al-umm. Jika mempunyai
dasar ilmu masak, maka tak mustahil Anda bisa kreatif menghasilkan beberapa
jenis masakan. Bahkan, Anda berpotensi bisa menemukan masakan baru. Namun, jika
kita cuma bisa hanya menikmati masakan, maka sampai kapan pun kita akan jadi “tukang
cicip dan makan” saja.
Sebenarnya,
yang patut dikuasai lebih dulu bagi masyarakat, santri, kiai adalah ilmu Usul
Fikih daripada Fikih. Yang penting bukan tahu menyebutkan ini masakan Jawa,
Tegal, ini rica-rica, itu gule kepala ikan, nasi gandul, rawon dan sebagainya.
Tetapi bisakah kita menguasai dasar metode memasaknya, sehingga kita bisa
menilai bahwa jika rasanya begini berarti kurang ini, seharusnya caranya
begini.
Seperti
kasus masakan “fatwa rokok haram.” Namun, ratusan ulama diundang di MUI hanya
untuk menyepakati bahwa masakan “fatwa rokok haram” itu enak. Mereka diundang
bukan untuk memasak hukum, tetapi untuk “menyepakati” dan “menikmati” tentunya.
Inilah kerancauan fatwa yang dikeluarkan MUI. Mereka hanya bisa “mencicipi dan
makan”, namun tak bisa mengolah hukum dan memperindah hukum secara dasar dan
radikal.
Misalnya
lagi, nasi itu halal atau haram? Kebanyakan dari kita pasti menjawab “halal”.
Padahal, semua itu “tergantung, bagaimana nasi digunakan, untuk siapa nasi
digunakan.” Namun pertanyaannya kemudian, “bagaimana jika nasi untuk pengidap
diabetes? Halal apa haram?” tentu kita menjawab “haram”.
Maka
hakikatnya, halal-haram itu tidak pada benda, materi, tetapi pada manusia yang
“mengkhilafainya”. Bagaimana cara mengkhalifai materi itu: benar atau salah, manfaat
atau madarat. Pisau bisa menjadi benda haram, jika ia untuk membunuh sesama,
tanpa alasan yang benar. Sebaliknya ia menjadi halal jika digunakan “mengiris
bawang untuk dijadikan bumbu memasak.”
Contoh
lain, jika di Australia, Amerika mayoritas agamanya Nasrani, asumsi dasarnya,
makanan orang di sana haram, maka dibutuhkan “label halal” agar orang Indonesia
bisa memilih makanan yang halal untuk dimakan. Jika di Indonesia, mayoritas
masyarakatnya Islam. Maka asumsi dasarnya rata-rata makanan di negeri ini
“halal”. Maka yang dibutuhkan sebenarnya adalah “label haram” pada setiap
makanan yang haram.
Selain
itu, misalnya, di Singapura, Eropa dan negeri lain, mayoritas di sana adalah
memiliki mobil, pemilik motor hanya 10 %. Maka, di sana yang wajib dinyalakan
adalah “lampu motor” agar tidak terjadi kecelakaan. Berbeda dengan di
Indonesia, mayoritas masyarakatnya memiliki motor, maka seharusnya yang harus
dinyalakan adalah “lampu mobil”. Inilah kekeliruan di Indonesia yang harus
dibenahi, salah satunya kewenangan pemberian fatwa yang saat ini menjadi
polemik pemerintah/Kemenag dan MUI.
Dekonstruksi
Fatwa
Sebelum
kita mendekonstruksi fatwa, kita harus melihat kepentingan politik dan
komplikasi antara MUI dan Kemenag. Dalam kamus kehidupan, iri merupakan
penyakit hati yang sangat berbahaya. Artinya, dalam hal ini jika
Kemenag/pemerintah iri dengan MUI, Kemenag bisa saja membuat “fatwa tandingan”,
jika jahat justru bisa “menjelek-jelekan” MUI. Bahkan, Kemenag bisa saja
“mendepak MUI dari tahta pemberi fatwa”. Maka harus ada formula cerdas agar
tidak terjadi “keroyokan” kewenangan dalam memberi fatwa.
Pertama,
keberadaan MUI harus jelas. Apakah sebagai ormas seperti NU, Muhammadiyah, LDII
atau apa? Karena selama ini, banyak produk fatwa dari MUI yang rancu dan bahkan
bertentangan dengan ormas Islam. Bahkan, sampai tulisan ini ditulis justru
“bertengkar” dengan Kemenag yang seharusnya lembaga tersebut bersinergi.
Kedua,
harus ada batasan-batasan hukum di negeri ini. Pasalnya, dalam hukum Islam, antara
bid’ah dan tidak bid’ah di negeri masih rancu. Karena sebenarnya, letak bid’ah
hanya pada ibadah mahdah seperti syahadat, salat, zakat, puasa dan haji.
Sedangkan di luar itu, bukanlah bid’ah. Ini harus dipahami, agar produk fatwa
dari MUI jelas batasannya.
Kedua,
menurut Gus Mus (2005), MUI harus membuat definisi dulu tentang hal yang masih
rancu, kemudian baru menghukuminya. Apabila kelak ada yang protes, akan dijawab
bahwa yang dihukumi tersebut sudah mereka definisikan. Bukan menurut definisi
yang umum. Ini jelas bukan penetapan hukum berdasarkan tashawwur,
melainkan menghukumi sesuatu yang direka sendiri. Menurut istilah fikhnya hiilah,
akal-akalan. Maka, MUI harus memperhatikan hal itu agar tidak menjadi
kontroversial.
Ketiga,
seharunya MUI, pemerintah/Kemenag, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menciptakan “kehangatan budaya” dengan
melakukan sinergi, bukan justru “rebutan” siapa yang berhak memberi fatwa. Hal
ini justru menunjukkan “kekerdilan berpikir” dan kesempitan berbudaya. Maka,
sudah seharusnya mereka bersinergi dan berembuk dengan kemesraan budaya agar
menemukan titik temu dan kebersamaan.
Keempat,
seharusnya jika memang MUI “masih sah” memberikan fatwa dan memberikan label
halal, seharusnya diganti menjadi “label haram”. Mengapa? Karena mayoritas
masyarakat Indonesia beragama Islam yang asumsi dasarnya kebanyakan makanannya
adalah halal, maka labelnya seharusnya “label haram”, bukan justru “label
halal”. Inilah kekeliruan MUI yang paling dasar.
Meskipun
ini ilmu sederhana, namun MUI tidak tahu bahkan tidak mau tahu.
Hal
ini juga senada dengan pendapat Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc, beliau
menjelaskan, di negara Islam, pemberian label haram terhadap produk yang tidak
boleh dikonsumsi umat Islam, akan menjadi lebih simpel dan mudah. Pasalnya, jumlah
produk haram tentunya jauh lebih sedikit
dibanding produk halal (Kompas.com, 27/2/2014).
Kelima,
Gus Mus secara tegas juga mendorong MUI agar jelas “kelaminnya.” Artinya,
apakah ia ormas seperti NU, Muhammadiyah, FPI, atau organisasi pemikiran semacam
ICMI, JIL, atau semacam LSM, atau instansi tersendiri sebagai kepanjangan dari Kemenag
atau apa? Jika MUI merupakan lembaga
pemerintah yang didanai pemerintah, bukankah ia sebagaimana pemerintah yang
seharusnya mengayomi semua warga negara? Lagi pula, apakah MUI hanya wadah
musyawarah, ataukah lembaga fatwa?
Sebagai
negara yang mayoritas penduduknya Islam, masyarakat Indonesia juga memegang
teguh “fatwa organisasinya”. Misalnya, warga NU taat pada “fatwa NU”,
masyarakat Muhammadiyah taat pada “fatwa Muhammadiyah” dan sebagainya. Lalu,
untuk siapa dan bagaimana fatwa MUI? Pasalnya, MUI bukanlah lembaga pemerintah,
karena lembaga keagamaan pemerintah dipegang Kemenag.
Jika
lembaga fatwa, apakah fatwa MUI mengikat dan mengikat siapa? Jika tidak jelas,
dikhawatirkan justru produk-produknya hanya akan digunakan oleh “mereka yang
tidak jelas” dan hanya menambah beban keruwetan masyarakat yang sudah pening
oleh komplikasi sosial dan kenegaraan saat ini.
-Dimuat
di Koran Pagi Wawasan, Rabu 5 Maret 2014
0 komentar:
Post a Comment