Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday, 4 March 2014

Dekonstruksi Label Halal MUI




Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Senior Centre for Democracy and Islamic Studies (CDIS),
Pegiat Filologi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
               

Rebutan merupakan budaya biasa di negeri ini. Jangankan kursi presiden, DPR, gubernur atau rektor, ada cewek cantik di kampus saja menjadi rebutan para mahasiswa. Itulah yang terjadi saat ini pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama (Kemenag) yang “merebutkan” pelabelan sertifikat halal.

Kewenangan MUI sebagai satu-satunya organisasi menerbit sertifikat halal terancam. Lewat Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH), pemerintah ingin mendapat kewenangan penuh dalam pengaturan dan pemberian sertifikasi halal sebagaimana diusulkan dalam RUU. Ini berarti memangkas “hak monopoli” MUI (Kompas.com, 28/2/2014). Polemik ini menarik, apalagi MUI berisi sekumpulan ulama yang sudah 25 tahun menjadi pemegang hak pelabelan halal.

Kita tidak bisa menyalahkan Kemenag, MUI dan pemerintah. Artinya, sebelum kita menentukan siapa yang boleh memberi fatwa halal, sebelumnya harus harus kita “dekonstruksi” epistemologi fatwa hukum halal dan siapa yang berhak mengeluarkan fatwa. Karena dalam hukum, hakikatnya yang boleh memberikan fatwa hanyalah Allah Swt. Ada pun beberapa hukum kontemporer adalah “hasil ijitihad” para ulama dan intelektual muslim untuk menguak hal baru.

Hukum “Menghukumi”
Dalam rumus internal Islam, sesuai kajian Usul Fikih dalam buku buku Ushul Fikih, yang diterjemahkan Drs. H. Nasrun Haroen, MA (1987) disebutkan bahwa “alhukmu yadhurru ma’a illatihi, wujudan au-adaman.” Artinya, hukum itu beredar (mengikuti) sesuai illat (sesuatu yang menyebabkan perkara itu terjadi). Dalam hal ini, semua hukum tentang Islam yang bisa diikuti masyarakat Islam bisa dikeluarkan ulama fikih. Namun, dalam praktiknya, di Indonesia sangat “blunder” karena tak lama ini diperebutkan MUI dan Kemenag/pemerintah seiring munculnya RUU JPH. Lalu, siapa yang berhak memberikan hukum, fatwa atau label halal?

Menurut Cak Nun (2013) fikih itu ibarat makanan hasil olahan dapur Usul Fikih. Maka yang menentukan sedap tidaknya masakan adalah “caranya memasak.” Metode masak hukum Imam Syafi’i dijelaskan dalam kitab Ar-risalah, hasil masakannya dibeberkan dalam kitab Al-umm. Jika mempunyai dasar ilmu masak, maka tak mustahil Anda bisa kreatif menghasilkan beberapa jenis masakan. Bahkan, Anda berpotensi bisa menemukan masakan baru. Namun, jika kita cuma bisa hanya menikmati masakan, maka sampai kapan pun kita akan jadi “tukang cicip dan makan” saja.

Sebenarnya, yang patut dikuasai lebih dulu bagi masyarakat, santri, kiai adalah ilmu Usul Fikih daripada Fikih. Yang penting bukan tahu menyebutkan ini masakan Jawa, Tegal, ini rica-rica, itu gule kepala ikan, nasi gandul, rawon dan sebagainya. Tetapi bisakah kita menguasai dasar metode memasaknya, sehingga kita bisa menilai bahwa jika rasanya begini berarti kurang ini, seharusnya caranya begini.

Seperti kasus masakan “fatwa rokok haram.” Namun, ratusan ulama diundang di MUI hanya untuk menyepakati bahwa masakan “fatwa rokok haram” itu enak. Mereka diundang bukan untuk memasak hukum, tetapi untuk “menyepakati” dan “menikmati” tentunya. Inilah kerancauan fatwa yang dikeluarkan MUI. Mereka hanya bisa “mencicipi dan makan”, namun tak bisa mengolah hukum dan memperindah hukum secara dasar dan radikal.

Misalnya lagi, nasi itu halal atau haram? Kebanyakan dari kita pasti menjawab “halal”. Padahal, semua itu “tergantung, bagaimana nasi digunakan, untuk siapa nasi digunakan.” Namun pertanyaannya kemudian, “bagaimana jika nasi untuk pengidap diabetes? Halal apa haram?” tentu kita menjawab “haram”.

Maka hakikatnya, halal-haram itu tidak pada benda, materi, tetapi pada manusia yang “mengkhilafainya”. Bagaimana cara mengkhalifai materi itu: benar atau salah, manfaat atau madarat. Pisau bisa menjadi benda haram, jika ia untuk membunuh sesama, tanpa alasan yang benar. Sebaliknya ia menjadi halal jika digunakan “mengiris bawang untuk dijadikan bumbu memasak.”

Contoh lain, jika di Australia, Amerika mayoritas agamanya Nasrani, asumsi dasarnya, makanan orang di sana haram, maka dibutuhkan “label halal” agar orang Indonesia bisa memilih makanan yang halal untuk dimakan. Jika di Indonesia, mayoritas masyarakatnya Islam. Maka asumsi dasarnya rata-rata makanan di negeri ini “halal”. Maka yang dibutuhkan sebenarnya adalah “label haram” pada setiap makanan yang haram.

Selain itu, misalnya, di Singapura, Eropa dan negeri lain, mayoritas di sana adalah memiliki mobil, pemilik motor hanya 10 %. Maka, di sana yang wajib dinyalakan adalah “lampu motor” agar tidak terjadi kecelakaan. Berbeda dengan di Indonesia, mayoritas masyarakatnya memiliki motor, maka seharusnya yang harus dinyalakan adalah “lampu mobil”. Inilah kekeliruan di Indonesia yang harus dibenahi, salah satunya kewenangan pemberian fatwa yang saat ini menjadi polemik pemerintah/Kemenag dan MUI.

Dekonstruksi Fatwa
Sebelum kita mendekonstruksi fatwa, kita harus melihat kepentingan politik dan komplikasi antara MUI dan Kemenag. Dalam kamus kehidupan, iri merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya. Artinya, dalam hal ini jika Kemenag/pemerintah iri dengan MUI, Kemenag bisa saja membuat “fatwa tandingan”, jika jahat justru bisa “menjelek-jelekan” MUI. Bahkan, Kemenag bisa saja “mendepak MUI dari tahta pemberi fatwa”. Maka harus ada formula cerdas agar tidak terjadi “keroyokan” kewenangan dalam memberi fatwa.

Pertama, keberadaan MUI harus jelas. Apakah sebagai ormas seperti NU, Muhammadiyah, LDII atau apa? Karena selama ini, banyak produk fatwa dari MUI yang rancu dan bahkan bertentangan dengan ormas Islam. Bahkan, sampai tulisan ini ditulis justru “bertengkar” dengan Kemenag yang seharusnya lembaga tersebut bersinergi.

Kedua, harus ada batasan-batasan hukum di negeri ini. Pasalnya, dalam hukum Islam, antara bid’ah dan tidak bid’ah di negeri masih rancu. Karena sebenarnya, letak bid’ah hanya pada ibadah mahdah seperti syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan di luar itu, bukanlah bid’ah. Ini harus dipahami, agar produk fatwa dari MUI jelas batasannya.

Kedua, menurut Gus Mus (2005), MUI harus membuat definisi dulu tentang hal yang masih rancu, kemudian baru menghukuminya. Apabila kelak ada yang protes, akan dijawab bahwa yang dihukumi tersebut sudah mereka definisikan. Bukan menurut definisi yang umum. Ini jelas bukan penetapan hukum berdasarkan tashawwur, melainkan menghukumi sesuatu yang direka sendiri. Menurut istilah fikhnya hiilah, akal-akalan. Maka, MUI harus memperhatikan hal itu agar tidak menjadi kontroversial.

Ketiga, seharunya MUI, pemerintah/Kemenag, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menciptakan “kehangatan budaya” dengan melakukan sinergi, bukan justru “rebutan” siapa yang berhak memberi fatwa. Hal ini justru menunjukkan “kekerdilan berpikir” dan kesempitan berbudaya. Maka, sudah seharusnya mereka bersinergi dan berembuk dengan kemesraan budaya agar menemukan titik temu dan kebersamaan.

Keempat, seharusnya jika memang MUI “masih sah” memberikan fatwa dan memberikan label halal, seharusnya diganti menjadi “label haram”. Mengapa? Karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam yang asumsi dasarnya kebanyakan makanannya adalah halal, maka labelnya seharusnya “label haram”, bukan justru “label halal”. Inilah kekeliruan MUI yang paling dasar.
Meskipun ini ilmu sederhana, namun MUI tidak tahu bahkan tidak mau tahu.

Hal ini juga senada dengan pendapat Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc, beliau menjelaskan, di negara Islam, pemberian label haram terhadap produk yang tidak boleh dikonsumsi umat Islam, akan menjadi lebih simpel dan mudah. Pasalnya, jumlah produk  haram tentunya jauh lebih sedikit dibanding produk halal (Kompas.com, 27/2/2014).

Kelima, Gus Mus secara tegas juga mendorong MUI agar jelas “kelaminnya.” Artinya, apakah ia ormas seperti NU, Muhammadiyah, FPI, atau organisasi pemikiran semacam ICMI, JIL, atau semacam LSM, atau instansi tersendiri sebagai kepanjangan dari Kemenag atau apa?  Jika MUI merupakan lembaga pemerintah yang didanai pemerintah, bukankah ia sebagaimana pemerintah yang seharusnya mengayomi semua warga negara? Lagi pula, apakah MUI hanya wadah musyawarah, ataukah lembaga fatwa?

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Islam, masyarakat Indonesia juga memegang teguh “fatwa organisasinya”. Misalnya, warga NU taat pada “fatwa NU”, masyarakat Muhammadiyah taat pada “fatwa Muhammadiyah” dan sebagainya. Lalu, untuk siapa dan bagaimana fatwa MUI? Pasalnya, MUI bukanlah lembaga pemerintah, karena lembaga keagamaan pemerintah dipegang Kemenag.

Jika lembaga fatwa, apakah fatwa MUI mengikat dan mengikat siapa? Jika tidak jelas, dikhawatirkan justru produk-produknya hanya akan digunakan oleh “mereka yang tidak jelas” dan hanya menambah beban keruwetan masyarakat yang sudah pening oleh komplikasi sosial dan kenegaraan saat ini.

-Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 5 Maret 2014
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Dekonstruksi Label Halal MUI Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda