Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Tuesday, 4 March 2014

Dilema Pemilu Serentak 2019



HI.dok.2014
Oleh Hamiudulloh Ibda
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah

Pemilu serentak 2019 sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun putusan tersebut menimbulkan polemik dan “dilema politik”. Pasalnya, pascaputusan tersebut bermunculan ekspresi politik dari berbagai kalangan. Mereka menilai putusan MK sangat tidak logis, rawan permainan, ada konspirasi dan MK dinilai tidak steril dari politik.

Putusan MK  yang  mengabulkan  sebagian uji materi Undang-Undang Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diajukan Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak sesungguhnya telah disepakati pleno hakim konstitusi Maret 2013, bahwa pemilu serentak harus dilaksanakan sesuai ketentuan UUD (Suara Karya, 25/1/2014). Namun, putusan tersebut baru dibacakan Kamis (23/1). Artinya, putusan soal pemilu serentak “mengendap” selama sekitar 9 bulan.

Apakah MK sengaja berbohong untuk mengulur-ulur waktu pembacaan putusan hingga 23 Januari 2014? Apalagi putusan uji materi tersebut sangat berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilu 2014 tanggal 9 April, sehingga diyakini tidak akan mungkin mengikuti aturan pemilu serentak tersebut. Keputusan MK itu memang rawan gugatan. Bahkan, bisa dikatakan putusan tersebut bukan “pemilu serentak” melainkan “putusan serentak” yang dilakukan MK.

Dilema
Polemik pemilu serentak 2019 adalah masalah serius yang harus dituntaskan. Problem ini ada indikasi “konspirasi politik” di tubuh MK. Masyarakat awan tentu meminta agar dicarikan jawaban logis atas sebuah “dilema” seperti ini. Jangan sampai putusan MK ini justru menjadi “api dalam sekam” yang merugikan MK dan negara.

Apalagi, surat jawaban Mahkamah Konstitusi (MK) ke Aliansi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak tentang penundaan pembacaan putusan tertanggal 30 Mei 2013 adalah sebuah kebohongan publik (Kompas, 26/1/2014). Hal ini karena uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Januari 2013, ternyata sudah diputus pada 26 Maret 2013. Jika MK tidak ingin terbebani menjelang Pemilu 2014, maka penundaan pembacaan putusan tentang pemilu serentak dan adanya surat bohong tersebut harus diusut tuntas.

Selain itu, kerancuan putusan MK juga terlihat dalam syarat presidential threshold sebesar 20 persen. Pertannya, bagaimana penentuan syarat presidential threshold sebesar 20 persen sedangkan pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan secara bersamaan? Putusan MK yang sifatnya conditional constitution sangat mengandung unsur politis. Asas kemanfaatan yang selama ini kerap digunakan MK justru untuk melegalkan putusannya. Jika dianalisis, putusan MK ini lebih bersifat politis daripada hukum. Padahal, tugas MK tidak sekadar “supremasi hukum” namun juga menciptakan “supremasi keadilan”.

Dalam UUD 1945 sebenarnya sudah ada ketentuan ambang batas menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia, yakni 50 persen ditambah 1. Namun, yang terjadi adalah ambang batas pencalonan. Ini merupakan produk permainan politik yang membingungkan masyarakat. Tidak ada logikanya presidential treshold itu, kecuali dalam bahasa kasar ini adalah “konspirasi partai besar” untuk menghalangi peluang capres lain di luar dirinya. Padahal kita tahu, capres di partai besar bergantung ketua umum dan otoriter.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan jika Pemilu 2014 tetap dilaksanakan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, hasil pemilu itu rawan digugat. Pasalnya, pelaksanaan Pemilu 2014 yang akan tidak serentak itu “cacat hukum” karena bertentangan dengan putusan MK. Lalu, adakah jalan keluar untuk menuntaskan dilema pemilu serentak 2019?

Jalan Keluar
Sebenarnya banyak formula jitu menuntaskan dilema ini. Pertama, MK harus memberikan pernyataan terbuka kepada publik tentang putusan tersebut. Artinya, MK harus bisa merasionalisasikan bahwa putusan pemilu serentak 2019 sangat konstitusional dan tidak ada unsur politis. Karena banyak “ekspresi politik” mengklaim bahwa putusan MK sangat rentan dengan kepentingan politik.

Kedua, dengan putusan tersebut, MK harus menjamin semua parpol peserta pemilu semestinya memiliki hak sama untuk mengajukan capres dan cawapres. Pemilu serentak juga harus disertai penghapusan presidential threshold. Topo Santoso (2012) menjelaskan bahwa pemilu harus menjamin semua parpol memiliki hak sama dalam berdemokrasi. Jika tidak, maka sama saja hal itu “mendustai demokrasi dan konstitusi”.

Ketiga, semua parpol harus menyiapkan rekruitmen kepemimpinan nasional secara baik. Putusan MK ini juga memberi pesan penting bagi parol untuk menyiapkan secara serius calon pemimpin nasional. Parpol jangan hanya mengurusi putusan MK dan pemilu serentak 2019, namun tak kalah penting ada menyiapkan pemimpin masa depan untuk memajukan Indonesia.

Keempat, menolak atau menerima putusan MK adalah keputusan dan hak pribadi. Semua tergantung sudut pandang/point of view dalam melihat putusan MK tersebut. Maka, yang terpenting adalah “mengawal” putusan tersebut demi terwujudnya asas pemilu yang “luber jurdil”. Menurut Nur Hidayat Sardini (2012) pengawasan pemilu yang efektif adalah unsur penting menyukseskan pesta demokrasi. Tanpa pengawasan serius, maka sama saja membiarkan pemilu tanpa kendali dan kontrol.

Kelima, semua pihak harus bersinergi mengawal dan menyukseskan pemilu 2014. Tanpa adanya sinergi dari pemerintah, KPU, Bawaslu dan parpol, sangat mustahil pemilu 2014 nanti sukses.

Terlepas dari polemik putusan MK, sebagai manusia demokrasi kita harus mendukung putusan MK tersebut. Karena putusan MK wajib hukumnya ditaati sebagai bukti bahwa melakukan “pengkhianatan konstitusi” adalah dosa besar. Sudah seharusnya kita mendukung MK selama tidak mengkhianati konstitusi. Lalu apakah Anda tetap menolak/mendukung putusan MK? Anda punya pilihan!

-Dimuat di Koran Barometer, Rabu 5 Maret 2014
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Dilema Pemilu Serentak 2019 Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda