HI.dok.2014 |
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang,
Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah
Pemilu serentak 2019 sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun
putusan tersebut menimbulkan polemik dan “dilema politik”. Pasalnya,
pascaputusan tersebut bermunculan ekspresi politik dari berbagai kalangan.
Mereka menilai putusan MK sangat tidak logis, rawan permainan, ada konspirasi
dan MK dinilai tidak steril dari politik.
Putusan MK yang mengabulkan sebagian uji materi
Undang-Undang Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diajukan Effendi Gazali bersama
Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak sesungguhnya telah disepakati pleno
hakim konstitusi Maret 2013, bahwa pemilu serentak harus dilaksanakan sesuai
ketentuan UUD (Suara Karya, 25/1/2014). Namun, putusan tersebut baru dibacakan
Kamis (23/1). Artinya, putusan soal pemilu serentak “mengendap” selama sekitar
9 bulan.
Apakah MK sengaja berbohong untuk mengulur-ulur waktu pembacaan putusan
hingga 23 Januari 2014? Apalagi putusan uji materi tersebut
sangat berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilu 2014 tanggal 9 April, sehingga
diyakini tidak akan mungkin mengikuti aturan pemilu serentak tersebut.
Keputusan MK itu memang rawan gugatan. Bahkan, bisa dikatakan putusan tersebut
bukan “pemilu serentak” melainkan “putusan serentak” yang dilakukan MK.
Dilema
Polemik pemilu serentak 2019 adalah masalah serius yang harus
dituntaskan. Problem ini ada indikasi “konspirasi politik” di tubuh MK. Masyarakat
awan tentu meminta agar dicarikan jawaban logis atas sebuah “dilema” seperti
ini. Jangan sampai putusan MK ini justru menjadi “api dalam sekam” yang
merugikan MK dan negara.
Apalagi, surat jawaban Mahkamah Konstitusi (MK) ke Aliansi Masyarakat
Sipil untuk Pemilu Serentak tentang penundaan pembacaan putusan tertanggal 30
Mei 2013 adalah sebuah kebohongan publik (Kompas, 26/1/2014). Hal ini karena
uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Januari 2013, ternyata sudah
diputus pada 26 Maret 2013. Jika MK tidak ingin terbebani menjelang
Pemilu 2014, maka penundaan pembacaan putusan tentang pemilu serentak dan
adanya surat bohong tersebut harus diusut tuntas.
Selain itu, kerancuan putusan MK juga terlihat dalam syarat
presidential threshold sebesar 20 persen. Pertannya, bagaimana penentuan syarat
presidential threshold sebesar 20 persen sedangkan pemilu legislatif dan pemilu
presiden dilaksanakan secara bersamaan? Putusan MK yang sifatnya conditional
constitution sangat mengandung unsur politis. Asas kemanfaatan yang selama
ini kerap digunakan MK justru untuk melegalkan putusannya. Jika dianalisis,
putusan MK ini lebih bersifat politis daripada hukum. Padahal, tugas MK tidak
sekadar “supremasi hukum” namun juga menciptakan “supremasi keadilan”.
Dalam UUD 1945 sebenarnya sudah ada ketentuan ambang batas menjadi
presiden dan wakil presiden Indonesia, yakni 50 persen ditambah 1. Namun, yang
terjadi adalah ambang batas pencalonan. Ini merupakan produk permainan politik
yang membingungkan masyarakat. Tidak ada logikanya presidential treshold itu,
kecuali dalam bahasa kasar ini adalah “konspirasi partai besar” untuk
menghalangi peluang capres lain di luar dirinya. Padahal kita tahu, capres di
partai besar bergantung ketua umum dan otoriter.
Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan
jika Pemilu 2014 tetap dilaksanakan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, hasil pemilu itu rawan digugat. Pasalnya,
pelaksanaan Pemilu 2014 yang akan tidak serentak itu “cacat hukum” karena
bertentangan dengan putusan MK. Lalu, adakah jalan keluar untuk menuntaskan
dilema pemilu serentak 2019?
Jalan Keluar
Sebenarnya banyak formula jitu menuntaskan dilema ini. Pertama, MK harus
memberikan pernyataan terbuka kepada publik tentang putusan tersebut. Artinya,
MK harus bisa merasionalisasikan bahwa putusan pemilu serentak 2019 sangat
konstitusional dan tidak ada unsur politis. Karena banyak “ekspresi politik”
mengklaim bahwa putusan MK sangat rentan dengan kepentingan politik.
Kedua, dengan putusan tersebut, MK harus menjamin semua parpol peserta
pemilu semestinya memiliki hak sama untuk mengajukan capres dan cawapres.
Pemilu serentak juga harus disertai penghapusan presidential threshold. Topo
Santoso (2012) menjelaskan bahwa pemilu harus menjamin semua parpol memiliki
hak sama dalam berdemokrasi. Jika tidak, maka sama saja hal itu “mendustai
demokrasi dan konstitusi”.
Ketiga, semua parpol harus menyiapkan rekruitmen kepemimpinan nasional
secara baik. Putusan MK ini juga memberi pesan penting bagi parol untuk
menyiapkan secara serius calon pemimpin nasional. Parpol jangan hanya mengurusi
putusan MK dan pemilu serentak 2019, namun tak kalah penting ada menyiapkan
pemimpin masa depan untuk memajukan Indonesia.
Keempat, menolak atau menerima putusan MK adalah keputusan dan hak
pribadi. Semua tergantung sudut pandang/point of view dalam melihat
putusan MK tersebut. Maka, yang terpenting adalah “mengawal” putusan tersebut
demi terwujudnya asas pemilu yang “luber jurdil”. Menurut Nur Hidayat Sardini
(2012) pengawasan pemilu yang efektif adalah unsur penting menyukseskan pesta
demokrasi. Tanpa pengawasan serius, maka sama saja membiarkan pemilu tanpa
kendali dan kontrol.
Kelima, semua pihak harus bersinergi mengawal dan menyukseskan pemilu
2014. Tanpa adanya sinergi dari pemerintah, KPU, Bawaslu dan parpol, sangat
mustahil pemilu 2014 nanti sukses.
Terlepas dari polemik putusan MK, sebagai manusia demokrasi kita harus
mendukung putusan MK tersebut. Karena putusan MK wajib hukumnya ditaati sebagai
bukti bahwa melakukan “pengkhianatan konstitusi” adalah dosa besar. Sudah
seharusnya kita mendukung MK selama tidak mengkhianati konstitusi. Lalu apakah
Anda tetap menolak/mendukung putusan MK? Anda punya pilihan!
-Dimuat di Koran Barometer, Rabu 5 Maret 2014
0 komentar:
Post a Comment