HI.dok.2014 |
Tidak hanya
akademisi, guru, dosen, namun petani yang tidak sekolah pun tahu bahwa “plagiat” hukumnya “haram”. Inilah
yang harus dipahami masyarakat. Artinya, jangankan doktor/dosen, seorang siswa/mahasiswa S1 pun haram
hukumnya melakukan plagiasi, baik berupa artikel, makalah dan skripsi.
Kasus
plagiasi yang dilakukan Anggito Abimanyu, akademikus dari Universitas Gadjah
Mada (UGM) dan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian
Agama ini ramai di jagad akademik. Tuduhan menjiplak tulisan orang lain itu
terkait opini berjudul “Gagasan Asuransi Bencana” yang ditulis Anggito di Harian
Kompas, Senin, 10 Februari lalu. Anggito dinilai menjiplak karya Hatbonar
Sinaga berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang dimuat di Kompas, 21 Juli
2006 (Kompas, 17/2/2014).
Meskipun Anggito menyangkal tulisannya tidak plagiat dan mengundurkan
diri dari UGM, namun senat akademik UGM, media massa dan masyarakat menyesalkan
plagiarisme tersebut. Pasalnya, tindakan Anggito mencoreng integritas UGM dan
dunia pendidikan. Tragedi ini membuat masyarakat tahu bahwa tidak semua dosen
dan akademisi itu jujur dan baik.
Kejahatan Intelektual
Prof Dr Kasidi Hadiprayitno, MHum (2013) menyatakan bahwa dunia pendidikan tidak sekadar butuh orang pintar. Namun juga membutuhkan orang baik yang mampu mengamalkan filosofi ilmu pengetahuan menjadi penerang kondisi bangsa yang saat ini sedang terpuruk. Akademisi dan dosen tidak sekadar dituntut cerdas intelektual, namun mereka juga harus cerdas moral, yaitu memiliki kejujuran tinggi dalam segala hal.
Prof Dr Kasidi Hadiprayitno, MHum (2013) menyatakan bahwa dunia pendidikan tidak sekadar butuh orang pintar. Namun juga membutuhkan orang baik yang mampu mengamalkan filosofi ilmu pengetahuan menjadi penerang kondisi bangsa yang saat ini sedang terpuruk. Akademisi dan dosen tidak sekadar dituntut cerdas intelektual, namun mereka juga harus cerdas moral, yaitu memiliki kejujuran tinggi dalam segala hal.
Kasus plagiasi tidak hanya terjadi kali ini saja. Di Indonesia, banyak sekali kasus kejehatan intelektual
terjadi. Bahkan, Tempo.co melansir ada 8 kasus plagiasi yang menghebohkan
Indonesia. Mulai dari Chairil Anwar (1949), Yahya Muhaimin (1992), Amir Santoso
(1979), I Made Kartawan (Desember 2008), Ade Juhana (Januari 2010), Anak Agung
Banyu Perwita (Februari 2010), Heri Ahmad Sukria (Juli 2010), Siti Fadilah
Supari (2004) dan tambah satu lagi Anggito Abimanyu (Tempo.co, 18/2/2014).
Ini sangat ironis dan melukai esensi pendidikan yang hakikatnya
menjungjung tinggi nilai moral dan kejujuran. Namun pada kenyataannya,
akademisi sekarang tidak memiliki “dialektika moral”. Artinya, mereka rata-rata
hanya mengejar polularitas namun tidak mengutamakan “kejujuran”. Padahal
kejujuran intelektual adalah kunci menjadi intelektual sejati. Kejujuran harus
diutamakan untuk menjadi akademisi profetik. Jika ada akademisi terbukti
melakukan plagiat, tampaknya mereka “pura-pura” menjadi akademisi.
Saat ini banyak akademisi tidak mempunyai kemurnian jiwa, mereka malu
jika “terlihat bodoh” di hadapan publik. Maka tidak heran jika mereka melakukan
penjiplakan karya orang lain agar terlihat lebih “keren”.
Plagiarisme yang dilakukan Anggito Abimanyu merupakan dosa besar dalam
jagat akademik. Plagiator adalah orang yang mengkhianati hakikat nilai dan
kenyataan. Selain karena mengejar gengsi dan faktor kekerdilan berpikir,
akademisi yang melakukan plagiat juga dipicu jiwa malas, mental penjiplak dan tidak menghargai karya,
pemikiran dan jerih payah orang lain. Banyak orang mulia dan abadi karena
tulisannya. Namun tak sedikit orang yang celaka, kerdil dan mati karena
tulisannya.
Hukum Haram
Kejujuran merupakan harga mati dalam pendidikan. Akademisi plagiator adalah mereka yang secara jelas melanggar kode etik dan spirit Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pasalnya, plagiat sama saja dengan pencuri dan korupsi. Padahal dalam kamus pendidikan, kejahatan intelektual seperti plagiasi sangat diharamkan dan harus dijauhi.
Mengapa haram? Karena penjiplakan karya orang lain sama saja mencuri
kekayaan intelektual orang lain. Padahal akademisi adalah kiblat masyarakat
dalam hal ilmu pengetahuan. Mereka merupakan kunci maju dan tidaknya
pendidikan. Jika mereka mencuri, maka tidak pantas dijadikan tauladan.
Plagiator merupakan orang yang mendustai pendidikan. Nilai-nilai, pesan moral dan ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada pelajar di lembaga pendidikan akan menjadi “percuma” jika dosen melakukan plagiat karya. Plagiator adalah pencuri yang hukumanya sama seperti orang munafik, yaitu masuk neraka.
Plagiator merupakan orang yang mendustai pendidikan. Nilai-nilai, pesan moral dan ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada pelajar di lembaga pendidikan akan menjadi “percuma” jika dosen melakukan plagiat karya. Plagiator adalah pencuri yang hukumanya sama seperti orang munafik, yaitu masuk neraka.
Selama ini memang banyak terjadi plagiarisme di mimbar akademik. Hanya
saja belum ada penelusuran mendalam atas fenomena tersebut. Banyak juga
mahasiswa melakukan plagiasi makalah, skripsi, tesis bahkan disertasi untuk
mendapat gelar akademik. Apalagi, saat ini situs internet terbuka lebar dan
memudahkan para akademisi untuk melakukan penjiplakan.
Apa artinya terkenal jika karya akademik hasil jiplakan? Tentu sama
saja bohong. Karena plagiator adalah bukti orang yang bohong dan suka pada
kepalsuan. Karya mereka “abal-abal” meskipun terlihat seperti karya sendiri.
Padahal kebohongan satu kali, menjadi “embrio” kebohongan selanjutnya. Dalam
sudut pandang agama di Indonesia, bohong merupakan dosa besar dan haram
dilakukan.
Jalan Terang
Jalan Terang
Kasus plagiarime yang dilakukan Anggito merupakan salah satu bukti
gagalnya pendidikan karakter kita. Banyak orang bergelar profesor (Prof) dan
doktor (Dr), namun mereka mencuri, korupsi dan plagiat. Itu artinya, mereka
tidak memiliki fondasi moral yang kuat. Mereka juga tidak mau tahu teknik
penulisan, literasi dan jurnalistik. Maka dari itu, perlu dilakukan beberapa
formula sebagai jalan terang untuk memutus embrio plagiarisme.
Pertama, penanaman pendidikan karakter antiplagiarisme sejak dini di
jenjang pendidikan dasar. Artinya, selama ini pendidikan kita hanya
mengutamakan kecerdasan kognitif saja yang berorientasi pada angka-angka tanpa
menitikberatkan pada kecerdasan moral dan spiritual. Prof. Dr. Joko Sutarto,
M.Pd (2013) menyatakan hanya orang yang landasan kependidikan kuat yang mampu
menjadi fondasi kemajuan pendidikan. Ibarat pohon jika akar dan batangnya kuat,
maka akan mampu menjadi tumpuan daun dan buah.
Kedua, perlu adanya pendidikan jurnalistik dan pedoman literasi. Hal
ini menyangkut teknik pengutipan yang baik dan benar. Pasalnya, banyak
akademisi tidak mau tahu pedoman pengutipan, maka lahirlah plagiasi karena
mereka tidak paham ilmunya. Padahal pengutipan merupakan hal mudah dan murah.
Semua masyarakat kampus harus rajin mengikuti training, seminar dan pelatihan
jurnalistik agar tahu sistem dan teknik penulisan karya, baik di media massa
maupun di kampus.
Ketiga, pemerintah harus menindak tegas pelaku plagiarisme yang
dilakukan akademisi, baik itu dosen, guru dan mahasiswa. Selama ini banyak
penjiplakan massal terjadi, tidak hanya artikel, namun karya ilmiah, jurnal dan
skripsi juga marak terjadi. Maka, penegakan Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) harus dipetegas. Pasalnya, selama ini yang disoroti hanya pada skripsi,
tesis, buku dan jurnal. Sedangkan artikel di media massa yang ditulis para akademisi
tidak terlalu diperhatikan.
Keempat, kampus harus selektif pada skripsi, tesis dan disertasi para
mahasiswa. Karena selama ini, perguruan tinggi hanya mengamanahkan pada dosen
pembimbing tanpa adanya “pemberedelan” karya mahasiswa dan lembaga khusus penyeleksi
karya tersebut. Media massa juga harus selektif menerima tulisan-tulisan dari
semua kalangan, termasuk akademisi.
Kelima, pemerintah dan kampus harus menyosialisasikan UU No. 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta. UU tersebut menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang
mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang
dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau
konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Lewat UU ini, akademisi akan
lebih berhati-hati dalam menulis, meneliti dan menjauhi plagiasi. Plagiator
adalah orang bodoh yang malas belajar, berpikir dan mengalisa. Apakah Anda mau
jadi plagiator?
Tulisan ini dimuat di Harian Bhirawa, 12 Maret 2014
Bisa dilihat di E-paper
0 komentar:
Post a Comment