Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 16 March 2014

Hukum Haram Plagiarisme



HI.dok.2014
Oleh Hamidulloh Ibda, Direktur Eksekutif Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah, Akademisi Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Tidak hanya akademisi, guru, dosen, namun petani yang tidak sekolah pun tahu bahwa “plagiat” hukumnya “haram”. Inilah yang harus dipahami masyarakat. Artinya, jangankan doktor/dosen, seorang siswa/mahasiswa S1 pun haram hukumnya melakukan plagiasi, baik berupa artikel, makalah dan skripsi. 


Kasus plagiasi yang dilakukan Anggito Abimanyu, akademikus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama ini ramai di jagad akademik. Tuduhan menjiplak tulisan orang lain itu terkait opini berjudul “Gagasan Asuransi Bencana” yang ditulis Anggito di Harian Kompas, Senin, 10 Februari lalu. Anggito dinilai menjiplak karya Hatbonar Sinaga berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” yang dimuat di Kompas, 21 Juli 2006 (Kompas, 17/2/2014).
Meskipun Anggito menyangkal tulisannya tidak plagiat dan mengundurkan diri dari UGM, namun senat akademik UGM, media massa dan masyarakat menyesalkan plagiarisme tersebut. Pasalnya, tindakan Anggito mencoreng integritas UGM dan dunia pendidikan. Tragedi ini membuat masyarakat tahu bahwa tidak semua dosen dan akademisi itu jujur dan baik.
Kejahatan Intelektual
Prof Dr Kasidi Hadiprayitno, MHum (2013) menyatakan bahwa dunia pendidikan tidak sekadar butuh orang pintar. Namun juga membutuhkan orang baik yang mampu mengamalkan filosofi ilmu pengetahuan menjadi penerang kondisi bangsa yang saat ini sedang terpuruk. Akademisi dan dosen tidak sekadar dituntut cerdas intelektual, namun mereka juga harus cerdas moral, yaitu memiliki kejujuran tinggi dalam segala hal.

Kasus plagiasi tidak hanya terjadi kali ini saja. Di Indonesia, banyak sekali kasus kejehatan intelektual terjadi. Bahkan, Tempo.co melansir ada 8 kasus plagiasi yang menghebohkan Indonesia. Mulai dari Chairil Anwar (1949), Yahya Muhaimin (1992), Amir Santoso (1979), I Made Kartawan (Desember 2008), Ade Juhana (Januari 2010), Anak Agung Banyu Perwita (Februari 2010), Heri Ahmad Sukria (Juli 2010), Siti Fadilah Supari (2004) dan tambah satu lagi Anggito Abimanyu (Tempo.co, 18/2/2014).
Ini sangat ironis dan melukai esensi pendidikan yang hakikatnya menjungjung tinggi nilai moral dan kejujuran. Namun pada kenyataannya, akademisi sekarang tidak memiliki “dialektika moral”. Artinya, mereka rata-rata hanya mengejar polularitas namun tidak mengutamakan “kejujuran”. Padahal kejujuran intelektual adalah kunci menjadi intelektual sejati. Kejujuran harus diutamakan untuk menjadi akademisi profetik. Jika ada akademisi terbukti melakukan plagiat, tampaknya mereka “pura-pura” menjadi akademisi.
Saat ini banyak akademisi tidak mempunyai kemurnian jiwa, mereka malu jika “terlihat bodoh” di hadapan publik. Maka tidak heran jika mereka melakukan penjiplakan karya orang lain agar terlihat lebih “keren”.
Plagiarisme yang dilakukan Anggito Abimanyu merupakan dosa besar dalam jagat akademik. Plagiator adalah orang yang mengkhianati hakikat nilai dan kenyataan. Selain karena mengejar gengsi dan faktor kekerdilan berpikir, akademisi yang melakukan plagiat juga dipicu jiwa malas, mental penjiplak dan tidak menghargai karya, pemikiran dan jerih payah orang lain. Banyak orang mulia dan abadi karena tulisannya. Namun tak sedikit orang yang celaka, kerdil dan mati karena tulisannya.

Hukum Haram
Kejujuran merupakan harga mati dalam pendidikan. Akademisi plagiator adalah mereka yang secara jelas melanggar kode etik dan spirit Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pasalnya, plagiat sama saja dengan pencuri dan korupsi. Padahal dalam kamus pendidikan, kejahatan intelektual seperti plagiasi sangat diharamkan dan harus dijauhi.

Mengapa haram? Karena penjiplakan karya orang lain sama saja mencuri kekayaan intelektual orang lain. Padahal akademisi adalah kiblat masyarakat dalam hal ilmu pengetahuan. Mereka merupakan kunci maju dan tidaknya pendidikan. Jika mereka mencuri, maka tidak pantas dijadikan tauladan.
Plagiator merupakan orang yang mendustai pendidikan. Nilai-nilai, pesan moral dan ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada pelajar di lembaga pendidikan akan menjadi “percuma” jika dosen melakukan plagiat karya. Plagiator adalah pencuri yang hukumanya sama seperti orang munafik, yaitu masuk neraka.

Selama ini memang banyak terjadi plagiarisme di mimbar akademik. Hanya saja belum ada penelusuran mendalam atas fenomena tersebut. Banyak juga mahasiswa melakukan plagiasi makalah, skripsi, tesis bahkan disertasi untuk mendapat gelar akademik. Apalagi, saat ini situs internet terbuka lebar dan memudahkan para akademisi untuk melakukan penjiplakan.
Apa artinya terkenal jika karya akademik hasil jiplakan? Tentu sama saja bohong. Karena plagiator adalah bukti orang yang bohong dan suka pada kepalsuan. Karya mereka “abal-abal” meskipun terlihat seperti karya sendiri. Padahal kebohongan satu kali, menjadi “embrio” kebohongan selanjutnya. Dalam sudut pandang agama di Indonesia, bohong merupakan dosa besar dan haram dilakukan.
Jalan Terang

Kasus plagiarime yang dilakukan Anggito merupakan salah satu bukti gagalnya pendidikan karakter kita. Banyak orang bergelar profesor (Prof) dan doktor (Dr), namun mereka mencuri, korupsi dan plagiat. Itu artinya, mereka tidak memiliki fondasi moral yang kuat. Mereka juga tidak mau tahu teknik penulisan, literasi dan jurnalistik. Maka dari itu, perlu dilakukan beberapa formula sebagai jalan terang untuk memutus embrio plagiarisme.
Pertama, penanaman pendidikan karakter antiplagiarisme sejak dini di jenjang pendidikan dasar. Artinya, selama ini pendidikan kita hanya mengutamakan kecerdasan kognitif saja yang berorientasi pada angka-angka tanpa menitikberatkan pada kecerdasan moral dan spiritual. Prof. Dr. Joko Sutarto, M.Pd (2013) menyatakan hanya orang yang landasan kependidikan kuat yang mampu menjadi fondasi kemajuan pendidikan. Ibarat pohon jika akar dan batangnya kuat, maka akan mampu menjadi tumpuan daun dan buah.
Kedua, perlu adanya pendidikan jurnalistik dan pedoman literasi. Hal ini menyangkut teknik pengutipan yang baik dan benar. Pasalnya, banyak akademisi tidak mau tahu pedoman pengutipan, maka lahirlah plagiasi karena mereka tidak paham ilmunya. Padahal pengutipan merupakan hal mudah dan murah. Semua masyarakat kampus harus rajin mengikuti training, seminar dan pelatihan jurnalistik agar tahu sistem dan teknik penulisan karya, baik di media massa maupun di kampus.
Ketiga, pemerintah harus menindak tegas pelaku plagiarisme yang dilakukan akademisi, baik itu dosen, guru dan mahasiswa. Selama ini banyak penjiplakan massal terjadi, tidak hanya artikel, namun karya ilmiah, jurnal dan skripsi juga marak terjadi. Maka, penegakan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) harus dipetegas. Pasalnya, selama ini yang disoroti hanya pada skripsi, tesis, buku dan jurnal. Sedangkan artikel di media massa yang ditulis para akademisi tidak terlalu diperhatikan.
Keempat, kampus harus selektif pada skripsi, tesis dan disertasi para mahasiswa. Karena selama ini, perguruan tinggi hanya mengamanahkan pada dosen pembimbing tanpa adanya “pemberedelan” karya mahasiswa dan lembaga khusus penyeleksi karya tersebut. Media massa juga harus selektif menerima tulisan-tulisan dari semua kalangan, termasuk akademisi.

Kelima, pemerintah dan kampus harus menyosialisasikan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. UU tersebut menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Lewat UU ini, akademisi akan lebih berhati-hati dalam menulis, meneliti dan menjauhi plagiasi. Plagiator adalah orang bodoh yang malas belajar, berpikir dan mengalisa. Apakah Anda mau jadi plagiator?

Tulisan ini dimuat di Harian Bhirawa, 12 Maret 2014
Bisa dilihat di E-paper
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Hukum Haram Plagiarisme Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda