HI.dok.2014 |
Penulis adalah peneliti
politik pada program pascasarjana Universitas Negeri Semarang, tenaga ahli di
KPU Jawa Tengah.
Selama ini yang dipahami rakyat tentang politik hanya “buruknya” saja
Pemilihan legislatif
(Pileg) sudah di depan mata. Pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), partai politik (parpol), dan rakyat sudah
merundingkan agenda ini dengan harapan, tidak ada golput. Pasalnya, golput
merupakan “hantu politik” yang menjadi musuh dan harus dimusnahkan dari alam
demokrasi.
Sikap apolitis memang sudah mendera masyarakat. Mengapa hal ini terjadi? Ini karena “kemuakan rakyat” atas kondisi korslet pada parpol dan perilaku korup para pejabat kita. Selain itu, penggawa pemilihan umum (pemilu), seperti KPU dan Bawaslu, juga “jarang” bersosialisasi dan blusukan politik kepada masyarakat dengan konsisten dan berkala. KPU terkesan setengah hati dan melakukan pendidikan politik ketika menjelang pemilu saja.
Padahal, yang namanya pendidikan antigolput harus gencar dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu. Rakyat seharusnya tidak sekadar dididik menjelang pemilu, tetapi sepanjang demokrasi masih menjadi poros dan sistem pemerintahan. Jadi, pemerintah harus rajin mengedukasi masyarakat agar tidak tersesat dan golput.
Pasalnya, selama ini yang dipahami rakyat tentang politik hanya “buruknya” saja. Padahal, sisi baik politik juga banyak. Rakyat harus diluruskan pola pikirnya agar tidak apolitis.
Dua Objek
Di alam demokrasi, pendidikan politik yang dilakukan KPU seharusnya menyentuh dua objek, yaitu rakyat dan politikus. Dalam hal ini, KPU bisa mendorong rakyat tidak golput dengan menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
Objek kedua ada pada calon anggota legislatif (caleg) yang saat ini sedang blusukan mencari dukungan suara untuk memenangi pemilu pada 9 April 2014. Artinya, caleg harus dididik mematuhi aturan main berpolitik dengan dialektika yang benar. Itu mulai dari berkampanye, tidak menggunakan politik uang, dan tidak menebar fitnah kepada rakyat demi terwujudnya asas pemilu.
Poros pendidikan yang ditaburkan pada rakyat harus mengedukasi untuk “menolak” politik uang. Itu karena musuh utama dalam pemilu adalah politik uang dan golput. Meskipun politik uang sulit dipangkas, pendidikan politik harus diberikan pada rakyat agar mengetahui dan mampu membedakan mana yang benar dan yang salah.
Jika rakyat dan caleg sudah terdidik dan memegang teguh indepedensi yang jujur terhadap kebenaran, diprovokasi dengan apa saja mereka mampu menyikapi dengan arif. Apalagi, 16 Maret - 5 April 2014, para peserta pemilu yang meliputi caleg dan simpatisan parpol akan berkampanye terbuka.
Sebagai tahap awal kampanye terbuka, semua parpol telah berkomitmen berkampanye damai. Deklarasi kampanye damai diadakan untuk mengikat komitmen moral dan politik setiap parpol. Jika sudah terdidik, tanpa deklarasi pun mereka akan berkampanye dengan retorika yang baik dan benar.
Antigolput
Menurut data KPU, pada Pemilu 1955, partisipasi pemilih mencapai 91,41 persen, pada saat tersebut partai masih mempunyai ideologi yang kuat, bahkan menjadi ciri khasnya masing-masing.
Pada Pemilu 1971, partisipasi pemilih mencapai 96,62 persen. Pemilu 1977, tingkat partisipasi pemilih turun, tetapi tidak terlalu drastis, menjadi 96,52 persen. Pada Pemilu 1982, tingkat partisipasi menurun, menjadi 96,47 persen.
Pada Pemilu 1987, tingkat partisipasi mencapai 96,43 persen. Lalu pada 1992, partisipasi pemilih 95,06 persen dan pada 1997 partisipasi pemilih mencapai 93,55 persen.
Pada pemilu 1999, tingkat partisipasi mencapai 92,74 persen. Setelah itu, pada 2004, tingkat partisipasi mencapai 84,07 persen. Pada Pemilu 2009, tingkat partisipasi pemilih hanya 70,99 persen.
Bagaimana dengan Pemilu 2014? Akankah angka golput bertambah atau berkurang? Semua itu tergantung pendidikan politik yang harus segera dilakukan. Intinya, ketidakpuasan, kemuakan, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang korup menjadi penyebab lahirnya golput. Ini tidak bisa dimungkiri. Itu karena selama ini rakyat sudah lelah dengan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak sesuai keinginan rakyat. Banyak wakil rakyat korupsi, membolos bekerja, menipu rakyat, dan berkhianat.
Namun, apakah dengan hal itu rakyat harus golput? Tentu tidak. Golput bukanlah solusi. Seharusnya, rakyat cerdas dan mengawal proses pemilu dengan memilih calon wakil rakyat yang bersih dan amanah.
Meskipun tidak ada dalam kurikulum, pendidikan antigolput ini bisa dilakukan dengan berbagai formula dan pendekatan. Pertama, KPU harus bersinergi dengan sekolah menaburkan virus antigolput kepada pemilih pemula. Artinya, pemilih pemula berpotensi tinggi menyempatkan waktunya dalam menggunakan hak suaranya daripada pemilih yang lanjut usia.
Kedua, sosialisasi pemilu sebenarnya tidak cukup. Karena itu, ormas dan lembaga syawadaya masyarakat (LSM) harus membantu KPU menyerukan ke masyarakat agar tidak golput. Golput adalah “tindakan bodoh” dan melukai demokrasi.
Ormas sebagai elemen berpengaruh di masyarakat harus mendidik anggotanya agar tidak golput.
Apalagi, ormas seperti NU, Muhammadiyah, IPNU, dan IPPNU sangat berpengaruh mendidik anggotanya untuk tidak golput. Ketiga, kejujuran bukanlah segalanya, namun segalanya berawal dari sana. Karena itu, semua caleg dan parpol tidak boleh melakukan “politik uang” kepada siapa saja.
Pasalnya, jika ditelisik lebih dalam, salah satu penyebab golput adalah karena “politik uang”, mulai serangan fajar hingga serangan duha. Karena banyak “uang bertebaran” sebelum pemilu, akhirnya rakyat bingung, kemudian memutuskan tidak mencoblos.
Keempat, semua media massa—baik cetak, online, dan televisi—harus mengedukasi rakyat agar tidak golput. Pasalnya, gerakan kultural media massa sangat berpengaruh terhadap pola pikir rakyat. Oleh karena itu, sejak dini media massa sebagai elemen demokrasi harus ikut serta menyerukan rakyat agar tidak golput. Dengan demikian, Pemilu 2014 akan berjalan sebagaimana mestinya. Setop golput, ayo nyoblos!
Sikap apolitis memang sudah mendera masyarakat. Mengapa hal ini terjadi? Ini karena “kemuakan rakyat” atas kondisi korslet pada parpol dan perilaku korup para pejabat kita. Selain itu, penggawa pemilihan umum (pemilu), seperti KPU dan Bawaslu, juga “jarang” bersosialisasi dan blusukan politik kepada masyarakat dengan konsisten dan berkala. KPU terkesan setengah hati dan melakukan pendidikan politik ketika menjelang pemilu saja.
Padahal, yang namanya pendidikan antigolput harus gencar dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilu. Rakyat seharusnya tidak sekadar dididik menjelang pemilu, tetapi sepanjang demokrasi masih menjadi poros dan sistem pemerintahan. Jadi, pemerintah harus rajin mengedukasi masyarakat agar tidak tersesat dan golput.
Pasalnya, selama ini yang dipahami rakyat tentang politik hanya “buruknya” saja. Padahal, sisi baik politik juga banyak. Rakyat harus diluruskan pola pikirnya agar tidak apolitis.
Dua Objek
Di alam demokrasi, pendidikan politik yang dilakukan KPU seharusnya menyentuh dua objek, yaitu rakyat dan politikus. Dalam hal ini, KPU bisa mendorong rakyat tidak golput dengan menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
Objek kedua ada pada calon anggota legislatif (caleg) yang saat ini sedang blusukan mencari dukungan suara untuk memenangi pemilu pada 9 April 2014. Artinya, caleg harus dididik mematuhi aturan main berpolitik dengan dialektika yang benar. Itu mulai dari berkampanye, tidak menggunakan politik uang, dan tidak menebar fitnah kepada rakyat demi terwujudnya asas pemilu.
Poros pendidikan yang ditaburkan pada rakyat harus mengedukasi untuk “menolak” politik uang. Itu karena musuh utama dalam pemilu adalah politik uang dan golput. Meskipun politik uang sulit dipangkas, pendidikan politik harus diberikan pada rakyat agar mengetahui dan mampu membedakan mana yang benar dan yang salah.
Jika rakyat dan caleg sudah terdidik dan memegang teguh indepedensi yang jujur terhadap kebenaran, diprovokasi dengan apa saja mereka mampu menyikapi dengan arif. Apalagi, 16 Maret - 5 April 2014, para peserta pemilu yang meliputi caleg dan simpatisan parpol akan berkampanye terbuka.
Sebagai tahap awal kampanye terbuka, semua parpol telah berkomitmen berkampanye damai. Deklarasi kampanye damai diadakan untuk mengikat komitmen moral dan politik setiap parpol. Jika sudah terdidik, tanpa deklarasi pun mereka akan berkampanye dengan retorika yang baik dan benar.
Antigolput
Menurut data KPU, pada Pemilu 1955, partisipasi pemilih mencapai 91,41 persen, pada saat tersebut partai masih mempunyai ideologi yang kuat, bahkan menjadi ciri khasnya masing-masing.
Pada Pemilu 1971, partisipasi pemilih mencapai 96,62 persen. Pemilu 1977, tingkat partisipasi pemilih turun, tetapi tidak terlalu drastis, menjadi 96,52 persen. Pada Pemilu 1982, tingkat partisipasi menurun, menjadi 96,47 persen.
Pada Pemilu 1987, tingkat partisipasi mencapai 96,43 persen. Lalu pada 1992, partisipasi pemilih 95,06 persen dan pada 1997 partisipasi pemilih mencapai 93,55 persen.
Pada pemilu 1999, tingkat partisipasi mencapai 92,74 persen. Setelah itu, pada 2004, tingkat partisipasi mencapai 84,07 persen. Pada Pemilu 2009, tingkat partisipasi pemilih hanya 70,99 persen.
Bagaimana dengan Pemilu 2014? Akankah angka golput bertambah atau berkurang? Semua itu tergantung pendidikan politik yang harus segera dilakukan. Intinya, ketidakpuasan, kemuakan, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang korup menjadi penyebab lahirnya golput. Ini tidak bisa dimungkiri. Itu karena selama ini rakyat sudah lelah dengan pemimpin dan wakil rakyat yang tidak sesuai keinginan rakyat. Banyak wakil rakyat korupsi, membolos bekerja, menipu rakyat, dan berkhianat.
Namun, apakah dengan hal itu rakyat harus golput? Tentu tidak. Golput bukanlah solusi. Seharusnya, rakyat cerdas dan mengawal proses pemilu dengan memilih calon wakil rakyat yang bersih dan amanah.
Meskipun tidak ada dalam kurikulum, pendidikan antigolput ini bisa dilakukan dengan berbagai formula dan pendekatan. Pertama, KPU harus bersinergi dengan sekolah menaburkan virus antigolput kepada pemilih pemula. Artinya, pemilih pemula berpotensi tinggi menyempatkan waktunya dalam menggunakan hak suaranya daripada pemilih yang lanjut usia.
Kedua, sosialisasi pemilu sebenarnya tidak cukup. Karena itu, ormas dan lembaga syawadaya masyarakat (LSM) harus membantu KPU menyerukan ke masyarakat agar tidak golput. Golput adalah “tindakan bodoh” dan melukai demokrasi.
Ormas sebagai elemen berpengaruh di masyarakat harus mendidik anggotanya agar tidak golput.
Apalagi, ormas seperti NU, Muhammadiyah, IPNU, dan IPPNU sangat berpengaruh mendidik anggotanya untuk tidak golput. Ketiga, kejujuran bukanlah segalanya, namun segalanya berawal dari sana. Karena itu, semua caleg dan parpol tidak boleh melakukan “politik uang” kepada siapa saja.
Pasalnya, jika ditelisik lebih dalam, salah satu penyebab golput adalah karena “politik uang”, mulai serangan fajar hingga serangan duha. Karena banyak “uang bertebaran” sebelum pemilu, akhirnya rakyat bingung, kemudian memutuskan tidak mencoblos.
Keempat, semua media massa—baik cetak, online, dan televisi—harus mengedukasi rakyat agar tidak golput. Pasalnya, gerakan kultural media massa sangat berpengaruh terhadap pola pikir rakyat. Oleh karena itu, sejak dini media massa sebagai elemen demokrasi harus ikut serta menyerukan rakyat agar tidak golput. Dengan demikian, Pemilu 2014 akan berjalan sebagaimana mestinya. Setop golput, ayo nyoblos!
-Dimuat di Sinar Harapan, 21 Maret 2014. Bisa dilihat di versi E-paper
0 komentar:
Post a Comment