Oleh Hamidulloh Ibda
Tenaga Ahli di KPU Jawa Tengah,
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Jika tidak membual, maka bukan kampanye namanya. Itulah kalimat simpel
yang penulis simpulkan dari diskusi dengan beberapa politisi. Menjelang pemilu
legislatif 9 April dan pemilu presiden 9 Juli
2014 mendatang, kampanye semakin gencar dan hampir semua partai melanggar
aturan kampanye. Mulai dari membawa anak ketika kampanye, banyak pejabat negara
yang menggunakan fasilitas negara, adanya kampanye hitam dan sebagainya.
Revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1/2013 yang
mengatur pembatasan kampanye bagi partai politik
dan calon anggota legislatif (caleg) juga diprotes. Aturan tersebut dinilai
mengurangi esensi pelaksanaan kampanye. Padahal KPU sudah bersikap netral dan
objektif mengeluarkan kebijakan.
Salah satu tujuan kampanye itu untuk menyosialisasikan caleg serta
program-programnya kepada masyarakat. Kampanye juga menjadi tahapan yang diatur
dalam undang-undang. Sekarang jika parpol melanggar aturan, jelas hal itu
bertolak belakang dengan esensi kampanye itu sendiri. Ini merupakan bentuk
“catat bawaan” kampanye, yang terwujud dengan berbagai tindakan aneh para
parpol.
Cacat Bawaan
Diakui atau tidak, hampir semua parpol tidak memiliki “dialektika
politik” yang baik dan benar. Kampanya yang mereka lakukan tidak menyentuh
esensi, hanya sosialisasi dan belum memberikan “edukasi politik” kepada
masyarakat.
Pelanggaran kampanye yang dilakukan partai peserta Pemilu 2014 terus
terjadi. Apalagi Pileg pada 9 April 2014 sudah di depan mata. Menurut
caratan Polri, pelanggaran yang dilakukan peserta Pemilu jika dihitung sejak
masa kampanye belum diberlakukan, maka hingga kini pelanggaran yang tercatat
pihaknya sudah mencapai 44 kasus pidana. Sebagian besar pelanggaran kampanye
itu terjadi di Jawa Tengah dan di luar Jawa (Kompas,
29/3/2014).
Ada 5 laporan pelanggaran kampanye dalam bentuk politik uang dan
pelanggaran jadwal kampanye. Seperti kampanye di luar jadwal, money
politic, pemberian janji-janji dan sebagainya. Kasus tindak pidana
pelangaran Pemilu yang diterima Polri dari Bawaslu sejak kampanye digelar
hingga saat ini sudah berjumlah 5 kasus, yaitu 1 kasus di Bali,
Jateng 2 kasus, Papua 1 kasus, Sumatera Barat 1 kasus.
Kasus pelanggaran kampanye ini sudah ditangani Bawaslu melalui
Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) selaku penyelidik yang meneliti sesuai
Undang-undang. Meski demikian, kepolisian enggan mengungkap partai mana yang
paling banyak melakukan pelanggaran kampanye. Esensi
kampanye juga tidak menyentuh akar problematika masyarakat. Bahkan, masyarakat
hanya menerima uang politik yang justru hal itu menghancurkan demokrasi kita.
Kampanye Edukatif
Wacana calon presiden (capres)
lebih mendominasi kampanye partai-partai politik (parpol) dalam Pemilu
Legislatif (Pileg) 2014. Pengenalan program, platform, dan idelogi
partai tidak terlihat. Parpol malah sibuk melakukan kampanye negatif/hitam.
Hampir semua parpol terjebak politik figural, hanya menjual figur tertentu
untuk mendulang suara.
Perhelatan Pileg 2014 telah
melenceng dari substansinya. Semestinya
kampanye pemilu legislatif lebih menonjolkan partai, bukan malah menonjolkan
capres. Mendominasinya kampanye capres dalam kampanye pileg menunjukkan parpol
di Indonesia masih berorientasi figur, tidak melakukan kaderisasi internal
secara baik. Semua parpol belum menemukan bentuk kampanye yang baik dan benar
yang menunjukkan mereka berperan menciptakan calon pemimpin. Lebih menonjolnya wacana capres ketimbang
program caleg, platform, dan ideologi partai dalam kampanye pileg, menunjukkan
aktor-aktor politik lebih ingin memperebutkan kekuasaan di eksekutif ketimbang
di legislatif.
Akibatnya, hanya politik figural
yang melahirkan kampanye hitam dalam pemilu. Emosi politik diterjemahkan dalam
bentuk sindir-menyindir dan menyerang personal. Gejala personalisasi atau
ketokohan semakin menguat di sebagian besar parpol saat ini. Hal itu terlihat
dari bergantungnya hasil pileg pada elektabilitas capres.
Tingkat keterpilihan sejumlah
partai mendekati pileg meningkat akibat menguatnya faktor figur atau ketokohan.
Misalnya, tingkat keterpilihan dan perolehan suara PDIP dalam pileg diperkirakan
bakal melonjak setelah partai itu mencalonkan Joko Widodo atau Jokowi sebagai
capres. Demikian juga dengan Partai Gerindra yang mencalonkan Prabowo Subianto.
Partai Demokrat diperkirakan bakal terperosok setelah figur Susilo Bambang
Yudhoyono tidak bisa bertarung lagi sebagai capres.
Intinya, jika mau menyentuh akar,
sebenarnya hal itu harus dilakukan parpol dari sistem dan sampai hal teknis.
Tanpa melakukan pendekatan dengan masyarakat, tampaknya parpol di negeri ini
memang tidak pernah serius dalam berkampanye.
-Dimuat di Koran Barometer, Sabtu
19 April 2014
0 komentar:
Post a Comment