Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday, 17 April 2014

Caleg Stres dan Cacat Bawaan Pemilu

HI.dok
Oleh Hamidulloh Ibda
Tenaga Ahli KPU Jawa Tengah, Peneliti Psikologi Politik Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Selain politik uang dan golput, cacat bawaan pemilihan umum adalah munculnya caleg stres, baik caleg DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Penyebab utamanya adalah tekanan psikis dan mental karena gagal menjadi wakil rakyat. Mereka sudah mengeluarkan modal uang banyak dan menanggung malu di hadapan masyarakat.
Karena tidak tahan dengan depresi itu, mereka kehilangan kontrol psikis yang ujungnya stres tingkat tinggi. Apalagi, rata-rata caleg saat ini tidak memiliki dialektika politik dan kemesraan budaya politik di Indonesia. Mereka menganggap menjadi caleg itu mudah seperti yang dibayangkan. Bahkan, banyak caleg meminta kembali uang politik yang sudah diberikan kepada masyarakat ketika masa tenang menjelang pemilu.

Fenomena ini sangat ironis. Para caleg sudah kehilangan parameter demokrasi, kehilangan kesadaran sehingga mereka sudah tidak malu menjilat ludahnya sendiri. Tingkat kesetresan caleg semakin tinggi ketika sudah menghabiskan banyak uang untuk pemilu namun hasilnya tidak selaras.

M Yudhie Haryono (2013) dalam penelitiaannya menyatakan seorang caleg untuk mendapatkan kursi di tingkat DPRD kabupaten/kota perlu biaya minimal Rp 8 miliar. Biaya tersebut menjadi cost politic yang harus dikeluarkan. Sistem politik yang sekarang ini membuat caleg membutuhkan cost politic yang sangat tinggi sehingga potensi stresnya juga tinggi.

Stres Politik

Dalam paradigma psikologis, stres merupakan gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan faktor dalam dan luar. Caleg yang kesadarannya hilang (unconsciousness), dia akan stres karena alam bawah sadarnya menindih alam sadar. Ketika stres, mereka akan melakukan hal-hal irasional, seperti telanjang di jalan bahkan minum racun dan bunuh diri.

Jika ditelisik lebih dalam, stres akibat masalah politik dampaknya lebih berbahaya daripada stres karena masalah keuangan. Dr Subyantoro, MHum (2014) pakar psikologi Unnes menyatakan depresi akibat politik berhubungan erat dengan aspek sosial, ekonomi dan demokrasi. Stres politik akan melahirkan kekacauan tatanan mental dalam berdemokrasi. Lebih berbahaya lagi jika caleg stres tidak mendapat penanganan serius dari psikolog, karena bisa jadi mereka gila bahkan bunuh diri.

Caleg stres akan melahirkan stres berikutnya, karena keluarga dan tim sukses caleg tersebut ikut stres dan partai bersangkutan juga ikut “galau”. Tidak bisa dipungkiri, kegagalan setelah pemilu menjadi pemicu stres yang besar bagi para caleg. Jika tidak dikelola dengan baik, stres bisa menimbulkan depresi yang andaikata terjadi dalam waktu lama, dapat memicu kematian akibat gagal jantung.

Mengapa demikian? Menurut sebuah studi baru asal Norwegia, depresi dapat meningkatkan risiko gagal jantung. Penderita depresi dalam studi tersebut, yang diikuti selama 11 tahun secara konsisten, menunjukkan perkembangan terhadap gagal jantung. Dibandingkan dengan orang tanpa depresi, mereka yang memiliki gejala depresi ringan lebih mungkin untuk mengembangkan gagal jantung. Risikonya mencapai 5 persen. Sementara itu, mereka dengan gejala depresi berat bahkan mengalami peningkatan risiko hingga 40 persen

Lise Tuset Gustad, peneliti studi sekaligus perawat di Lavenger Hospital di Norwegia, menjelaskan, hal itu terjadi karena depresi memicu hormon stres. Saat kadarnya meningkat dalam tubuh, maka tubuh akan meresponsnya dengan meningkatkan frekuensi bernapas. Selain itu, hormon stres juga menyebabkan inflamasi dan pembentukan plak di arteri, yang mempercepat penyakit jantung.

Kedewasaan Politik

Salah satu sebab kehancuran demokrasi adalah banyaknya caleg yang kering spiritual dan intelektual dan mereka tidak memiliki dialektika sosial dan personal. Pasalnya, selama ini banyak caleg terjun ke dunia politik tanpa visi misi dan blueprint  yang jelas, sehingga mereka banyak yang korslet ketika tidak sukses mendapatkan tiket legislatif.

Idealnya, selain modal uang dan ide, kesiapan mental dan psikis sangat penting untuk menunjang kedewasaan politik. Padahal, dalam kamus demokrasi, kedewasaan politik lebih penting daripada memiliki uang banyak.

Selain itu, banyak pula politisi saat ini menjadikan politik sebagai “alat bisnis” yang melahirkan kapitalisme politik. Padahal, politik hanyalah alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi, bukan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Jika demikian, tidak heran ketika banyak caleg menghalalkan politik uang yang akhirnya justru memicu stres pada diri mereka sendiri. Padahal, berpolitik menurut Yudi Latif (2014) butuh kedewasaan yang mampu menjadi air mata keteladanan dan mengalirkan perubahan di semua bidang. Jika hanya sekadar paham politik praktis, maka kondisi demokrasi tinggal menunggu kehancuran.

Munculnya caleg stres memang tidak bisa dipungkiri ketika di Indonesia masih ada pemilu. Dalam hal ini, yang harus dibenahi sebenarnya tidak hanya sistem pemilu, namun juga kedewasaan politik semua caleg. Pertama, KPU seharusnya melakukan perubahan sistem agar tidak muncul “caleg abal-abal” yang setengah hati menjalankan esensi politik.

Kedua, ketika pendaftaran caleg, KPU harus membuat blueprint berupa syarat yang memastikan caleg sehat secara jasmani dan rohani. Pasalnya, selama ini KPU terkesan formalitas saja ketika caleg mendaftarkan diri. KPU selama ini belum bisa memastikan apakah caleg tersebut benar-benar sehat, pura-pura sehat atau hanya membuat surat palsu keterangan sehat.

Ketiga, harus ada psikotes dan tes kejiwaan yang komprehensif agar status sehat para caleg benar-benar teruji. Pasalnya, jika KPU meloloskan caleg tidak sehat, maka sama saja hal itu berkhianat pada hakikat nilai dan spirit demokrasi.

Keempat, agar tidak terjadi potensi stres, seharusnya semua caleg patuh pada aturan KPU dan tidak melakukan politik uang. Pasalnya, jika caleg mengeluarkan banyak uang untuk kemenangannya, maka potensi stres juga semakin tinggi. Bahkan, sangat memalukan jika caleg mengambil uangnya kembali ketika mereka tidak mendapatkan kursi DPR.

Stres tidak stres sebenarnya bisa diatur, diminimalisasi dan hal itu tidak hanya masalah psikisis, namun juga masalah baru dan cacat bawaan pemilu yang harus dihilangkan. Maka, ke depan semua politisi harus siap lahir batin ketika berikrar menjadi caleg dalam panggung pemilu. Menjadi caleg atau tidak, semua politisi harus memastikan dirinya sehat lahir batin dan mencari kemuliaan politik di hadapan Tuhan dan manusia. Pasalnya, esensi politik dan pemilu itu sebenarnya “menyehatkan” dan “mendewasakan” pola pikir manusia, bukan justru membuat stres para caleg.

Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 18 April 2014
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Caleg Stres dan Cacat Bawaan Pemilu Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda