Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Bahasa di Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Aku ora popo (aku tidak masalah). Kalimat ini semakin terkenal
di kalangan pemuda dan khususnya penggemar Jokowi, karena tak lama ini dia
melontarkan kepada media massa berupa kalimat “Aku rapopo diserang
terus. Harusnya itu bicara kebaikan negara seperti apa jangan bicara yang
enggak-enggak,” kata Jokowi sekitar bulan Maret lalu.
Aku ora popo semakin populer di media sosial seperti twitter,
facebook dan lainnya. Ini merupakan bahasa baru yang populer karena lagi
demam-demamnya diucapkan dan menjadi simbol guyonan di masyarakat. Setelah
Jokowi, idiom aku ora popo juga dipopulerkan Julia Peres alias Jupe
lewat lagunya berjudul “Aku Ora Popo’. Kemudian, aku ora popo juga
dipopulerkan Sodik Monata dalam lagu berjudul “Aku Ora Popo” yang diawali Jupe.
Bahkan, setelah Jokowi, disusul Prabowo Subianto selaku Capres Partai
Gerindra yang merasa dizalimi dengan banyaknya tudingan pelanggaran HAM yang
dialamatkan padanya. Prabowo merasa dizalimi, kemudian di hadapan media massa
juga berujar “Aku ora popo”. Maka tak heran, jika idiom aku ora popo
semakin memuncak dan populer.
Dalam kajuan linguistik, bahasa itu memang selalu berkembang mengikuti
roda zaman. Bahkan, kata-kata atau kalimat sepele bisa seketika terkenal ketika
diucapkan oleh orang yang memiliki pengaruh besar kepada masyarakat. Namun
pertanyaanya, apakah kita harus menggunakan idiom aku ora popo?
Pemerolehan Bahasa
Dalam paradigma psikolinguistik, pemerolehan bahasa itu diperoleh
secara alamiah dan non alamiah. Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan
istilah Inggris acquisition yang
bermakna proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seorang anak secara
natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language) (Dardjowidjojo, 2005:225). Dapat dikatakan pula
bahwa pemerolehan bahasa adalah awal mula ketika seseorang mendapatkan
pengetahuan tentang bahasa dan menggunakannya untuk berkomunikasi.
Chaer (2009:167) juga menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi
bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika dia
memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa berbeda
dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses
yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah
dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan
bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.
Dengan kata lain pemerolehan bahasa adalah proses bagaimana seseorang
dapat berbahasa atau proses anak-anak pada umumnya memperoleh bahasa pertama.
Pemeroleh bahasa biasanya secara natural artinya
pemerolehan bahasa yang terjadi secara alamiah dan bersifat subsadar tanpa
disadari bahwa seorang anak tengah memperoleh bahasa, tetapi hanya sadar akan
kenyataan bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Hasil dari
pemerolehan bahasa yakni kompetensi yang diperoleh juga bersifat subsadar.
Anak
pada umumnya memperoleh bahasa secara alamiah dari lingkungannya tanpa proses
belajar secara formal di bangku sekolah. Pemerolehan bahasa itu diperoleh
sesuai dengan perkembangan otak dan fisik anak itu sendiri (Subyantoro,
2012:39-40).
Terlepas dari itu, idiom-idiom baru yang muncul saat ini sangat
berbahaya jika dikonsumsi anak-anak dan remaja. Pasalnya, rata-rata dari mereka
tidak memahami hal itu dan asal-asalan memakainya agar kelihatan keren. Padahal
jika ditanya maksudnya, mereka tidak paham sama sekali.
Bahasa Alay, Bahasa Perusak
Pakar bahasa Unnes, Prof Dr Suparmin Dandan Supratman
M.Pd (2014) menyatakan bahwa bahasa alay sebenarnya adalah bahasa
perusak. Maka sebagai warga negara Indonesia, kita harus setia pada bahasa
Indonesia yang baik, benar dan indah. Hal itu haru diwujudkan pada pemertahanan
bahasa kita, baik berupa lisan maupun tulisan.
Mengenai idiom aku ora popo, sebenarnya sudah banyak bahasa baru
yang bermunculan. Alay di sini bukan berarti bahasa pemuda, namun kata aku
ora popo jika digunakan untuk guyonan juga bisa menjadi alay atau
berlebihan. Pasalnya, rata-rata masyarakat menggunakan bahasa tersebut tidak
tahu filologisnya, mereka hanya asal mengucapkan tanpa tahu arti dan maksudnya.
Inilah alasannya, mengapa bahasa alay itu merusak bahasa Indonesia karena
bahasa Indonesia yang asli akan bergeser bahkan hilang di tengah badai bahasa
alay.
Aku ora popo, pada awalnya diucapkan Jokowi ketika dirinya tidak
memikirkan lawan politiknya, walaupun menyerang dengan cara black campaign atau kampanye
hitam. Jadi, Jokowi merasa aman-aman saja dan tidak masalah ketika diserang
lalu dia bilang “aku ora popo”. Menurut Jokowi, m au nggak suka, benci,
jelek-jelekan, mencemooh silahkan. Mau dukung juga silahkan, sekali lagi aku rapopo.
Sebagai masyarakat bahasa, manusia harus bisa memilah dan memilih
bahasa mana yang harus dikonsumsi dan mana yang harus dibuang. Pasalnya, bahasa
itu merupakan simbol kecerdanan seseorang, karena selain homo sapien yang
berpikir, manusia adalah animal symbolicum (hewan yang menggunakan
simbol). Maka, berbahasa yang baik dan benar akan menyimbolkan kecerdasan
seorang, begitu pula sebaliknya. Karena itu, kita harus menggunakan bahasa
sesuai konteks, waktu, tempat, mitra tutur, lawan bicara dan sebagainya. Itulah
yang disebut diglosia dalam kajian sosiolinguistik.
Akankah Anda tetap menggunakan idiom aku ora popo? Itu pilihan
Anda. Tapi yang jelas, semua tidak akan menjadi masalah jika kita tidak
menambah masalah. Aku ora popo!
-Tulisan ini dimuat Koran Pagi Wawasan, Sabtu 26 April 2014
0 komentar:
Post a Comment