Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday, 25 April 2014

Dekonstruksi Aku Ora Popo

Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Bahasa di Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Aku ora popo (aku tidak masalah). Kalimat ini semakin terkenal di kalangan pemuda dan khususnya penggemar Jokowi, karena tak lama ini dia melontarkan kepada media massa berupa kalimat “Aku rapopo  diserang terus. Harusnya itu bicara kebaikan negara seperti apa jangan bicara yang enggak-enggak,” kata Jokowi sekitar bulan Maret lalu.


Aku ora popo semakin populer di media sosial seperti twitter, facebook dan lainnya. Ini merupakan bahasa baru yang populer karena lagi demam-demamnya diucapkan dan menjadi simbol guyonan di masyarakat. Setelah Jokowi, idiom aku ora popo juga dipopulerkan Julia Peres alias Jupe lewat lagunya berjudul “Aku Ora Popo’. Kemudian, aku ora popo juga dipopulerkan Sodik Monata dalam lagu berjudul “Aku Ora Popo” yang diawali Jupe.

Bahkan, setelah Jokowi, disusul Prabowo Subianto selaku Capres Partai Gerindra yang merasa dizalimi dengan banyaknya tudingan pelanggaran HAM yang dialamatkan padanya. Prabowo merasa dizalimi, kemudian di hadapan media massa juga berujar “Aku ora popo”. Maka tak heran, jika idiom aku ora popo semakin memuncak dan populer.

Dalam kajuan linguistik, bahasa itu memang selalu berkembang mengikuti roda zaman. Bahkan, kata-kata atau kalimat sepele bisa seketika terkenal ketika diucapkan oleh orang yang memiliki pengaruh besar kepada masyarakat. Namun pertanyaanya, apakah kita harus menggunakan idiom aku ora popo?

Pemerolehan Bahasa
Dalam paradigma psikolinguistik, pemerolehan bahasa itu diperoleh secara alamiah dan non alamiah.  Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition yang bermakna proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seorang anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language) (Dardjowidjojo, 2005:225). Dapat dikatakan pula bahwa pemerolehan bahasa adalah awal mula ketika seseorang mendapatkan pengetahuan tentang bahasa dan menggunakannya untuk berkomunikasi.

Chaer (2009:167) juga menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.

Dengan kata lain pemerolehan bahasa adalah proses bagaimana seseorang dapat berbahasa atau proses anak-anak pada umumnya memperoleh bahasa pertama. Pemeroleh bahasa biasanya secara natural artinya pemerolehan bahasa yang terjadi secara alamiah dan bersifat subsadar tanpa disadari bahwa seorang anak tengah memperoleh bahasa, tetapi hanya sadar akan kenyataan bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Hasil dari pemerolehan bahasa yakni kompetensi yang diperoleh juga bersifat subsadar. 

Anak pada umumnya memperoleh bahasa secara alamiah dari lingkungannya tanpa proses belajar secara formal di bangku sekolah. Pemerolehan bahasa itu diperoleh sesuai dengan perkembangan otak dan fisik anak itu sendiri (Subyantoro, 2012:39-40).

Terlepas dari itu, idiom-idiom baru yang muncul saat ini sangat berbahaya jika dikonsumsi anak-anak dan remaja. Pasalnya, rata-rata dari mereka tidak memahami hal itu dan asal-asalan memakainya agar kelihatan keren. Padahal jika ditanya maksudnya, mereka tidak paham sama sekali.

Bahasa Alay, Bahasa Perusak
Pakar bahasa Unnes, Prof Dr Suparmin Dandan Supratman M.Pd (2014) menyatakan bahwa bahasa alay sebenarnya adalah bahasa perusak. Maka sebagai warga negara Indonesia, kita harus setia pada bahasa Indonesia yang baik, benar dan indah. Hal itu haru diwujudkan pada pemertahanan bahasa kita, baik berupa lisan maupun tulisan.

Mengenai idiom aku ora popo, sebenarnya sudah banyak bahasa baru yang bermunculan. Alay di sini bukan berarti bahasa pemuda, namun kata aku ora popo jika digunakan untuk guyonan juga bisa menjadi alay atau berlebihan. Pasalnya, rata-rata masyarakat menggunakan bahasa tersebut tidak tahu filologisnya, mereka hanya asal mengucapkan tanpa tahu arti dan maksudnya. Inilah alasannya, mengapa bahasa alay itu merusak bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia yang asli akan bergeser bahkan hilang di tengah badai bahasa alay.

Aku ora popo, pada awalnya diucapkan Jokowi ketika dirinya tidak memikirkan lawan politiknya, walaupun menyerang dengan cara black campaign atau kampanye hitam. Jadi, Jokowi merasa aman-aman saja dan tidak masalah ketika diserang lalu dia bilang “aku ora popo”. Menurut Jokowi, m au nggak suka, benci, jelek-jelekan, mencemooh silahkan. Mau dukung juga silahkan, sekali lagi aku rapopo.

Sebagai masyarakat bahasa, manusia harus bisa memilah dan memilih bahasa mana yang harus dikonsumsi dan mana yang harus dibuang. Pasalnya, bahasa itu merupakan simbol kecerdanan seseorang, karena selain homo sapien yang berpikir, manusia adalah animal symbolicum (hewan yang menggunakan simbol). Maka, berbahasa yang baik dan benar akan menyimbolkan kecerdasan seorang, begitu pula sebaliknya. Karena itu, kita harus menggunakan bahasa sesuai konteks, waktu, tempat, mitra tutur, lawan bicara dan sebagainya. Itulah yang disebut diglosia dalam kajian sosiolinguistik.

Akankah Anda tetap menggunakan idiom aku ora popo? Itu pilihan Anda. Tapi yang jelas, semua tidak akan menjadi masalah jika kita tidak menambah masalah. Aku ora popo!

-Tulisan ini dimuat Koran Pagi Wawasan, Sabtu 26 April 2014
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Dekonstruksi Aku Ora Popo Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda