Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis Buku Stop Pacaran, Ayo Nikah! (Lintang Rasi Aksara Books: 2014)
Selama ini pernikahan beda agama masih menjadi perbincangan menarik.
Namun hal ini juga menjadi paradoks, ketika pernikahan menjadi keniscayaan bagi
manusia untuk menghindari zina atau kumpul kebo. Pernikahan beda agama bukan
hal baru di Indonesia. Tidak hanya
masyarakat umum, akan tetapi di kalangan selebritis dan pejabat pun pernikahan semacam
ini sudah banyak terjadi.
Jika dihimpun, banyak kalangan artis yang nikah beda agama, seperi
pasangan Nurul Arifin (Islam) dan Mayong (Katolik), Ari Sihasale Jamal Mirdad
(Islam) dan Lydia Kandou (Kristen) dan sebagainya. Namun, pernikahan beda agama
selalu menimbulkan polemik di masyarakat. Terbukti, sampai saat ini belum ada
UU yang jelas yang mengatur tentang pernikahan beda agama.
Apa Hukumnya?
Munculnya pro dan kontra hukum nikah beda agama, memang sudah lama. Hal
tersebut menjadi sebuah masalah yang sensitif. Banyak orang berdalih karena
cinta, akhirnya dia menikah dengan pasangan yang beda agama.
Sering kita jumpai pertanyaan apa hukum nikah beda agama, baik
laki-laki atau perempuan yg muslim, sah atau tidak menurut Islam? Pertanyaan
ini sering muncul di masyarakat. Namun, apa sebetulnya hukum nikah beda
agama?
Pertama, sesuai pendapat umum para ulama, yang disandarkan pada pendekatan
nasikh-mansukh,
dengan dasar surat al-Maidah ayat 5, menyatakan bahwa pria muslim dilarang
menikah dengan perempuan musyrik. Jadi, menurut sudut pandang ini seorang
laki-laki Islam hukumnya haram menikahi non muslim.
Kedua, pendapat yang membolehkan perkawinan beda agama baik untuk
laki-laki atau perempuan muslim, baik terhadap ahli kitab maupun non ahli
kitab, mereka menggunakan pendekatan Al’-ibratu bikhususissabab la bi umumillafdz.
Intinya, hukum hanya dapat diberlakukan terhadap sebab yang spesifik, tidak
untuk teks yang umum. Jadi, Surat Al-Baqarah ayat 221 yang melarang pria muslim
menikah dengan perempuan musyrik begitupun perempuan muslim dengan pria
musyrik, tidak bisa diberlakukan secara umum kepada semua perempuan atau pria
musyrik.
Ketiga, dalam Alquran, memang tidak ada teks yang menyatakan larangan
atau kebolehan nikah beda agama. Jadi, pendekatan hukum nikah harus menggunakan
pendekatan ushul fiqh.
Keempat, menurut UU perkawinan tahun 1974, menjelaskan bahwa UU
tersebut tidak dengan tegas melarang perkawinan beda agama, dalam istilah hukum
disebut non
expressis verbis. Akibatnya, ahli hukum berbeda pendapat mengenai hal ini, ada yang
melarang dan membolehkan.
Bagi ahli hukum yang melarang perkawinan beda agama di Indonesia,
menyandarkan pendapatnya pada UU perkawinan no 1 tahun 1974 pada Pasal 2 ayat
(1): Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan pasal 8 huruf
(f): Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku. Dengan dua
alasan itu, perkawinan beda agama di Indonesia adalah perkara yang terlarang.
Adapun yang membolehkan memiliki dua alasan, pertama mereka
berkeyakinan bahwa pasal 57 tentang kawin campur mencakup didalamnya perkawinan
beda agama. Kedua, UU perkawinan 1974 tidak mengatur hukum nikah beda agama,
sehingga sebagaimana dalam pasal 66, apabila tidak ada aturan dalam UU ini,
maka aturan lama dapat diberlakukan. Dalam aturan lama mengenai kawin campur,
UU nomor 158 dalam Pasal 7 ayat (2) dinyatakan: Perbedaan agama, golongan
penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.
Sehingga perkawinan beda agama masih bisa dilakukan di Indonesia.
Untuk menguatkannya lagi, keputusan Mahkamah Agung No. KMA/72/IV/1981
tanggal 20 April 1981 yang juga membuka ruang untuk perkawinan beda agama.
Inilah yang kemudian bisa dijadikan argumentasi untuk menyatakan perkawinan
beda agama sah menurut hukum dan UU di Indonesia.
Sedangkan menurut Fatwa MUI dalam Munas VII 29 Juli 2005 tentang
perkawinan campuran, menerangkan bahwa; perkawinan beda agama adalah haram dan
tidak sah,
dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah. Jadi, MUI jelas mengharamkan pernikahan beda agama.
dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah. Jadi, MUI jelas mengharamkan pernikahan beda agama.
Apa
Solusinya?
Melihat polemik di atas, negara harus berpijak pada hukum agama
berkaitan dengan perkawinan beda agama. Namun, penulis menekankan bahwa negara
harus bersikap akomodatif terhadap keragaman hukum perkawinan beda agama. Tidak
seperti yang selama ini terjadi dengan masih berlakunya UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang jelas-jelas memihak pendapat
yang melarang perkawinan beda agama secara mutlak.
Akibat dari keberpihakan itu, kedua produk hukum ini banyak dilanggar
masyarakat. Jadi, negara harus merevisi UU perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI
dengan menghilangkan poin-poin yang menutup peluang perkawinan beda agama.
Selain itu, negara harus membuat UU catatan sipil yang mengakomodasikan
semua kepentingan elemen di masyarakat. Catatan sipil harus memfasilitasi
pencatatan peristiwa-peristiwa penting termasuk perkawinan beda agama.
Dalam hal ini, beda atau sama agama sebenarnya masalah krusial. Banyak
orang bercinta dan melahirkan kekuatan besar untuk pindah agama. Intinya, nikah
beda agama sah-sah saja asalnya kedua pasangan mampu memegang teguh cinta abadi
yang menjadi Tuhan sebagai poros cinta mereka.
Tulisan ini dimuat di Barometer, Kamis 24 April 2014
0 komentar:
Post a Comment