Oleh Hamidulloh Ibda
Pendiri dan Guru SMARTA School Semarang, Peneliti Pendidikan Dasar pada
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Menjadi guru tidak bisa “main-main” dan “asal-asalan”. Meskipun guru
les, privat dan tutor di bimbel, mereka juga tidak boleh sembarangan. Selama
ini masih banyak guru “setengah hati” dan posisi tersebut hanya menjadi
“pelarian” ketika tidak mendapat pekerjaan. Akibatnya, karena perekrutan
asal-asalan dan tidak selektif sesuai kualifikasi akademik, maka lahirlah guru killer
dan sering disebut guru “abal-abal”.
Guru killer rata-rata tidak memiliki “dialektika pembelajaran”
yang baik dan benar. Padahal, rata-rata guru saat ini berstatus sarjana, bahkan
sudah banyak bergelar magister. Meskipun sarjana, namun tidak berlatar belakang
kependidikan/keguruan, maka mereka miskin spirit mendidik dan akhirnya
berdampak buruk bagi pelajar. Jika galak, maka akan melahirkan siswa yang
kasar, angkuh dan tak heran jika muncul kekerasan antarsiswa tak lama ini.
Guru yang baik selalu menciptakan kegembiraan bagi siswanya. Mereka
disayang, terbuka, menjadi teladan dan selalu dirindukan kedatangannya. Inilah
sosok guru ideal yang harus ada di alam pendidikan Indonesia. Prof Dr Suparmin Dandan Supratman,
M.Pd (2014) menyatakan
dalam teori pendidikan klasik dan modern juga masih menempatkan guru sebagai
faktor utama dan mercusuar kemajuan pendidikan.
Guru Killer
Istilah killer saat ini tidak hanya melekat pada dosen, namun
bagi guru galak juga disebut killer. Mereka selalu memberikan tugas
sekolah melebihi kemampuan siswa, susah diajak curhat, mengajar tanpa hati dan
pelit memberikan nilai.
Guru killer artinya menyembelih kesempatan anak-anak untuk
berkembang. Guru seperti inilah, cara mengajarnya merusak mental pelajar.
Selain pemarah, mereka sering memaki, tidak murah senyum dan selalu menyalahkan
siswa. Atmosfer pembelajaran guru killer selalu tegang, siswa panik dan
tak nyaman belajar. Padahal, ibarat mobil, guru adalah sopirnya, sedangkan
siswa penumpangnya. Jadi, mau dibawa ke mana siswa tersebut ada di genggaman
guru.
Guru merupakan kunci kemajuan pendidikan. Tanpa adanya guru cerdas,
mampu menciptakan kegembiraan, maka rusaklah mental siswa dan hancurlah
pendidikan kita. Setiap saat, guru harus menyenangkan dan “dilarang membosankan”.
Dr Subyantoro, MHum (2014) menyatakan ketika murid nyaman, maka ia akan
berada pada puncak emas, saat itulah spirit belajarnya tumbuh. Sel-sel otak
yang awalnya stagnan akan bangkit jika dalam pembelajaran siswa selalu nyaman
dan bahagia. Bahkan, siswa tidak normal bisa kembali normal jika gurunya
menyenangkan.
Guru harus cerdas, jika tidak cerdas dan ideal, maka “tidak pantas”
dinamakan guru. Jika guru killer, kaku, kejam dan galak, mereka tidak
lagi “digugu” dan “ditiru”, melainkan menjadi “wagu” dan “saru” di mata siswa
bahkan masyarakat.
Sebagai sopir di dalam kelas, guru killer sangat ditakuti,
menjadikan siswa rajin bolos, tugas sekolah diabaikan dan kehadirannya tidak
diinginkan siswa. Bahkan mendengar suara sepatunya saja, para siswa sudah ketakutan.
Guru seperti ini tidak mungkin bisa mengantarkan siswa kepada tujuan pendidikan,
bahkan hanya menjadi “perusak” mental siswa dan menghambat kemajuan pendidikan.
Di dalam kamus pendidikan, pembunuhan mental/karakter lebih kejam
daripada menghilangkan nyawa manusia. Guru seperti ini justru sangat berbahaya
jika mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK). Jangankan mengajar ABK, mengajar
siswa normal saja tidak bisa. Itulah gambaran guru killer yang merusak
mental siswa sekaligus memperlambat kemajuan pendidikan. Maka, embrio guru killer
harus diputus, ke depan harus ada perbaikan sistem dari sekolah sampai ke
tingkat kementerian. Karena guru killer merupakan musuh pendidikan.
Guru Ideal
Guru ideal pekerjaannya tidak sekadar “mengajar” namun juga “mendidik”
siswanya. Meskipun mereka bukan bapak/ibu biologis bagi siswa, namun mereka
mampu menjadi “orang tua ideologis” bagi siswa. Guru ideal merupakan kebalikan
dari guru killer. Profil pendidik seperti ini mengajar dengan hati,
bukan sekadar dengan emosi. Guru ideal mampu menata pola pikir siswa, bukan
sekadar meraup ilmu sebanyaknya.
Munif Chatib (2011) dalam buku Gurunya Manusia menjelaskan guru adalah
pendidik, pengajar dan fasilitator bagi para murid. Guru menjadi sangat urgen
dalam dunia pendidikan. Salah satu faktor keberhasilan pendidikan ditentukan guru.
Namun, saat ini rata-rata guru hanya menjadi “pengajar” dan belum sepenuhnya
menjadi “pendidik”.
Pendidik dan pengajar sangat berbeda jauh, jika hanya mengajar, yang
lahir hanya generasi cerdas tak bermoral. Namun jika guru menjadi pendidik
sepenuhnya, maka akan lahir generasi cerdas dan bermoral. Itulah yang
diharapkan dari kurikulum 2013 yang memiliki
empat poin. Meliputi kompetensi inti 1 (KI 1) yang berisi tentang nilai
religius, KI 2 memiliki nilai sosial kemanusian, KI 3 berisi pengetahuan dan KI
4 berisi proses pembelajaran.
Guru ideal juga selalu up date pembaharuan dan isu-isu
pendidikan. Jangankan memahami substansi kurikulum 2013, tentang perbedaan
metode, model, pendekatan, strategi pembelajaran saja tidak tahu jika guru itu
abal-abal.
Untuk melahirkan dan menciptakan guru ideal perlu solusi jangka panjang
dan pendek. Pertama; pemerintah/Kemendikbud harus membuat regulasi jelas
perekrutan guru. Hal ini sudah tercermin pada kebijakan baru yaitu “gelar Gr”
(guru profesional) yang tak lama ini diwacanakan. Artinya, meskipun sudah
sarjana, semua calon guru harus mengikuti pendidikan profesi guru (PPG). Namun
bagi sekolah swasta, mereka harus memperketat perekrutannya, jangan sampai ada
guru tidak linier, seperti sarjana ekonomi mengajar bilogi, lulusan PGSD
mengajar SMA dan sebagainya.
Kedua; sesuai UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) Pasal
69 (ayat 2), disebutkan empat kompetensi yang wajib dimiliki guru, yaitu
kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial
dan kompetensi profesional. Saat ini banyak guru sudah memenuhi 4 kompetensi tersebut
dan menguasai 8 keterampilan mengajar, namun dalam praktiknya mereka masih
“kuno” dan tidak “modern” dalam mengajar.
Ketiga; guru ideal adalah mereka
yang mengajar dengan cinta dan tidak sekadar “menyampaikan materi”,
namun mereka selalu mendidik, membimbing dan mengarahkan siswa ke arah
perbaikan. Inilah prinsip pedagogi yang sudah diajarkan sejak dulu. Jika guru
saat ini tidak memahami prinsip tersebut, maka sama saja guru-guru itu
“kembali” pada zaman dulu.
Keempat; guru harus selalu memberikan motivasi, perhatian dan hadiah
kepada guru. Tiga prinsip untuk terlaksananya perilaku secara psikologis
terbagi 3. Pertama, peranan hadiah ini bisa sebagai pemuas. Kedua, hukuman
sebagai pengganggu. Ketiga, peranan latihan untuk refleksi perubahan.
Kelima; guru ideal mengetahui dan memprediksi hasil belajar
siswa, meskipun pembelajaran baru berjalan 1 kali pertemuan. Guru ideal juga mendidik
sekaligus memberikan perhatian dan motivasi kepada peserta didik. Karena dalam
kehidupan, tidak ada manusia yang kuat hidup “tanpa perhatian”.
Keenam; untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru harus mampu
memanajemen stimulus dan respon. Artinya, jika guru tidak mampu menyeimbangkan
stimulus dan respon di dalam kelas, maka siswa pasti “asal-asalan” dan kondisi
kelas pasti gaduh dan tujuan pembelajaran tidak tercapai. John B Watson
(1878-1958) dalam kajian behaviorisme menyatakan bahwa kesuksesan belajar
sangat dipengaruhi proses stimulus respon yang baik.
Ketujuh, solusi yang mendasar adalah menegakkan konstitusi sesuai UUGD.
Artinya, bagi calon guru harus menjalankan prosedur dan syarat menjadi guru.
Bagi yang sudah terlanjur menjadi guru, mereka harus senantiasa meningkatkan
kualitas lewat berbagai pelatihan. Karena hakikatnya, menjadi guru itu juga
menjadi siswa yang harus belajar setiap waktu.
Sudah saatnya guru ideal dan dilarang killler. Karena guru
menjadi sopir dalam pendidikan. Apakah Anda mau menjadi guru killer?
Jika bisa menjadi guru ideal, mengapa harus killer?
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 7 Mei 2014
Guru Ideal Vs Guru Killer
ReplyDelete