Oleh Hamidulloh Ibda
Hukum kebangkitan adalah wajib, salah satunya kebangkitan pendidikan
nasional. Pasalnya, secara kualitatif saat ini pendidikan nasional stagnan,
mundur bahkan bisa dikatakan menuju kehancuran. Oleh karena itu, momentum Hari Kebangkitan Nasional atau Harkitnas yang
diperingati 20 Mei 2014 harus menjadi spirit kebangkitan pendidikan nasional.
Diakui atau tidak, pendidikan
kita belum berhasil mencerdaskan bangsa. Buktinya, ketika banjir melanda
kota-kota, yang disalahkan musim hujan. Ketika kekeringan datang, yang disalahkan
justru musim kemarau. Ketika pejabat korupsi, yang disalahkan mereka miskin.
Ketika banyak kekerasan dan pelecehan seksual, yang disalahkan karena mereka
kekurangan pemenuhan biologis.
Selain itu, peningkatan jumlah
penganggur juga menjadi indikasi kegagalan pendidikan. Sekolah saat ini
rata-rata menghasilkan penganggur dan setengah penganggur. Bahkan, premanisme,
tawuran dan kejahatan seksual makin tak terkendali. Penyalahgunaan narkoba
merajalela. Korupsi, kolusi dan nepotisme makin menjamur yang menghancurkan
masa depan bangsa.
Semua itu merupakan karena
pendidikan moral, akhlak dan iman serta karakter yang dipinggirkan. Saat ini
pendidikan nilai karakter disepelekan. Asas-asas moral dalam keilmuwan di perguruan
tinggi juga dilupakan. Rata-rata akademisi hanya mengejar nilai kognitif,
materi dan gelar tanpa diimbangi mencari kemuliaan dan perbaikan bangsa.
Kita ingat, ketika Amerika kalah
dalam lomba hegemoni antariksa mempertanyakan “What wrong with our class
room?” Ini menjadi bahan renungan. Apa yang salah dalam pendidikan kita?
Terbiasa para ilmuwan bertanya, apakah, mengapa, bagaimana dan untuk apa
pendidikan di negeri ini? Demikian pula terhadap kondisi pendidikan saat ini,
makin hari seharusnya tidak makin hancur, tapi harus bangkit. Tanpa
kebangkitan, pendidikan hanya menjadi tempat gersang bagi akademisi. Jika
demikian, pendidikan akan mengarah pada kemunduran bahkan kehancuran.
Tanda-tanda Kehancuran
Dalam riset Prof Dr Suparmin Dandan Supratman, MPd (2014) menjelaskan akar permasalahan dan sebab keterpurukan suatu
bangsa sangat komplek. Namun yang paling inti ialah karena mutu sumber daya
manusia (SDM) pendidiknya payah dan lemah dalam penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, moral dan iman.
Prof Thomas Lickona (Sutawi, 2010) menjelaskan ada 10 tanda-tanda
kehancuran bangsa. Pertama, meningkatnya kekerasan pada remaja. Kedua,
penggunaan kata-kata yang buruk. Ketiga, pengaruh berbagai mafia yang kuat
dalam tindak kekerasan. Keempat, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks
bebas.
Kelima, kaburnya batasan moral baik-buruk. Keenam, menurunnya etos
kerja. Ketujuh, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru. Kedelapan,
rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara. Kesembilan,
membudayanya ketidakjujuran. Kesepuluh, adanya saling curiga dan kebencian di
antara sesama. Hal itu terlihat jelas pada musim Pemilu, banyak kampanye hitam
dan saling menjatuhkan citra dan lawan politik.
Budayawan Emha Ainun Nadjib (2013) juga pernah menjelaskan bahwa
kehancuran di Indonesia sudah melanda di berbagai aspek. Mulai dari kehancuran
intelektual, moral, bahkan Indonesia saat ini sudah berada pada titik kegelapan
dan menuju kiamat.
Kehancuran paling nyata saat ini adalah kekerasan seksual pada anak. Catatan
Komisi Nasional Perlindungan Anak juga menunjukkan adanya peningkatan angka
kekerasan seksual terhadap anak setiap tahun. Di Jakarta saja, tercatat 342
kasus kekerasan pada anak terjadi pada Januari-April 2014. Sebanyak 52 persen atau
sekitar 175 kasus merupakan kejahatan seksual. Sedangkan sepanjang 2013
tercatat ada 666 kasus kekerasan anak terjadi di Jakarta, dengan 68 persennya
merupakan kekerasan seksual (Sinar Harapan, 14/5/2014). Maka dari itu, sudah
saatnya pendidikan di Indonesia saat ini bangkit.
Saatnya Bangkit
Momentum Harkitnas seharusnya tidak menjadi peringatan yang formalistik
simbolis. Memang, Harkitnas hanya sehari, namun spirit bangkit harus
digelorakan setiap hari, kapan saja dan di mana saja, khususnya dalam dunia
pendidikan.
Kebangkitan pendidikan nasional bisa berawal dari misi pendidikan
nasional. Meskipun kurikulum sering berganti, namun pendidikan nasional harus
mampu membangun SDM terdidik itu sendiri. Mereka harus memiliki kecerdasan
komprehensif, kompetitif, mandiri, amanah dan produktif. Selanjutnya, setiap
misi bidang kajian harus diaplikasikan dalam pengembangan SDM.
Oleh karena itu, bidang kajian keilmuan perlu dilakukan secara terpadu
untuk mencapai kompetensi komprehensif, intelektual, sosial, moral dan iman.
Seharusnya semua sistem pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi
berjalan demikian. Pasalnya, pendidikan itu mengembangkan ilmu dan membangun
peradaban. Tanpa pendidikan, peradaban manusia tidak berbeda dengan peradaban
hewan.
Darmaningtyas (2012) juga menjelaskan bahwa kinerja pendidikan dan
pengembangan ilmu pengetahuan itu perlu didasari komitmen terhadap nilai-nilai
moral. Jika tidak, pendidikan akan rusak dan hancur.
Di sisi lain, untuk keluar dari 10 petaka yang dijelaskan Thomas
Lickona di atas ternyata semua bergantung “siapa pendidiknya”. Pendidik di sini
artinya guru, dosen, ustaz dan mentor di lembaga pendidikan, baik formal,
informal maupun non formal. Namun, guru bukan berarti guru di kelas saja,
melainkan yang “digugu dan ditiru”, baik dia guru, orang tua, pejabat maupun
tukang ojek.
Untuk mencetak guru revolusioner, lembaga pendidik dan tenaga
kependidikan (LPTK) harus bangkit dan memperbarui sistem. Pertama, kampus
khususnya yang LPTK harus menjadi “agen pembaharuan” dan persemaian tokoh-tokoh
masa depan. Kedua, model perkuliahan selayaknya berbasis filsafat pendidikan
mutakhir menggunakan pendekatan konstuktivistik. Artinya, dengan dua hal itu
akan membangun kemandirian, kreativitas, citra dan cinta dengan menerapkan
strategi tuntas dan model-model pembelajaran inovatif.
Ketiga, visi misi pendidikan di semua jenjang harus berorientasi pada
membangun sumber daya terdidik dan bermoral, bukan sekadar mengejar nilai-nilai
kognitif. Jika mengutamakan nilai kognitif, maka sama saja mencetak generasi
cerdas tapi miskin moral. Sudah saatnya pendidikan mencetak generasi cerdas dan
bermoral.
Kebangkitan pendidikan nasional harus diawali dari lingkup kecil, salah
satunya memperbaiki kualitas pendidiknya. Jika pendidiknya berkualitas dan
menjadi sang pencerah, maka misi dan tujuan pendidikan nasional akan tercapai,
begitu pula sebaliknya.
Sekolah dan kampus seharusnya juga mengajarkan kepada pelajar untuk
berbuat apa (to do) bukan sekadar menjadi apa (to be). Pasalnya,
selama ini nilai-nilai karakter sudah darurat, banyak pendidik masih menjadi pengajar
dan sekadar transfer ilmu. Maka dari itu, sudah saatnya pendidikan nasional
bangkit dari ketertinggalan, keterpurukan dan kejumudan. Kebangkitan pendidikan
nasional bukanlah segalanya, namun segalanya bisa berawal dari sana.
-Peneliti Pendidikan Dasar pada Program Pascasarjana Universitas
Negeri Semarang
-Tulisan ini dimuat di Solopos, 20 Mei 2014
Hari Kebangkitan Pendidikan Nasional
ReplyDelete