Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 25 May 2014

Hari Kebangkitan Pendidikan Nasional



Oleh Hamidulloh Ibda
Hukum kebangkitan adalah wajib, salah satunya kebangkitan pendidikan nasional. Pasalnya, secara kualitatif saat ini pendidikan nasional stagnan, mundur bahkan bisa dikatakan menuju kehancuran. Oleh karena itu, momentum Hari Kebangkitan Nasional atau Harkitnas yang diperingati 20 Mei 2014 harus menjadi spirit kebangkitan pendidikan nasional.


Diakui atau tidak, pendidikan kita belum berhasil mencerdaskan bangsa. Buktinya, ketika banjir melanda kota-kota, yang disalahkan musim hujan. Ketika kekeringan datang, yang disalahkan justru musim kemarau. Ketika pejabat korupsi, yang disalahkan mereka miskin. Ketika banyak kekerasan dan pelecehan seksual, yang disalahkan karena mereka kekurangan pemenuhan biologis.

Selain itu, peningkatan jumlah penganggur juga menjadi indikasi kegagalan pendidikan. Sekolah saat ini rata-rata menghasilkan penganggur dan setengah penganggur. Bahkan, premanisme, tawuran dan kejahatan seksual makin tak terkendali. Penyalahgunaan narkoba merajalela. Korupsi, kolusi dan nepotisme makin menjamur yang menghancurkan masa depan bangsa. 

Semua itu merupakan karena pendidikan moral, akhlak dan iman serta karakter yang dipinggirkan. Saat ini pendidikan nilai karakter disepelekan. Asas-asas moral dalam keilmuwan di perguruan tinggi juga dilupakan. Rata-rata akademisi hanya mengejar nilai kognitif, materi dan gelar tanpa diimbangi mencari kemuliaan dan perbaikan bangsa.

Kita ingat, ketika Amerika kalah dalam lomba hegemoni antariksa mempertanyakan “What wrong with our class room?” Ini menjadi bahan renungan. Apa yang salah dalam pendidikan kita? Terbiasa para ilmuwan bertanya, apakah, mengapa, bagaimana dan untuk apa pendidikan di negeri ini? Demikian pula terhadap kondisi pendidikan saat ini, makin hari seharusnya tidak makin hancur, tapi harus bangkit. Tanpa kebangkitan, pendidikan hanya menjadi tempat gersang bagi akademisi. Jika demikian, pendidikan akan mengarah pada kemunduran bahkan kehancuran.

Tanda-tanda Kehancuran
Dalam riset Prof Dr Suparmin Dandan Supratman, MPd (2014) menjelaskan akar permasalahan dan sebab keterpurukan suatu bangsa sangat komplek. Namun yang paling inti ialah karena mutu sumber daya manusia (SDM) pendidiknya payah dan lemah dalam penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, moral dan iman.
Prof Thomas Lickona (Sutawi, 2010) menjelaskan ada 10 tanda-tanda kehancuran bangsa. Pertama, meningkatnya kekerasan pada remaja. Kedua, penggunaan kata-kata yang buruk. Ketiga, pengaruh berbagai mafia yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas.

Kelima, kaburnya batasan moral baik-buruk. Keenam, menurunnya etos kerja. Ketujuh, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru. Kedelapan, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara. Kesembilan, membudayanya ketidakjujuran. Kesepuluh, adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama. Hal itu terlihat jelas pada musim Pemilu, banyak kampanye hitam dan saling menjatuhkan citra dan lawan politik.

Budayawan Emha Ainun Nadjib (2013) juga pernah menjelaskan bahwa kehancuran di Indonesia sudah melanda di berbagai aspek. Mulai dari kehancuran intelektual, moral, bahkan Indonesia saat ini sudah berada pada titik kegelapan dan menuju kiamat.

Kehancuran paling nyata saat ini adalah kekerasan seksual pada anak. Catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak juga menunjukkan adanya peningkatan angka kekerasan seksual terhadap anak setiap tahun. Di Jakarta saja, tercatat 342 kasus kekerasan pada anak terjadi pada Januari-April 2014. Sebanyak 52 persen atau sekitar 175 kasus merupakan kejahatan seksual. Sedangkan sepanjang 2013 tercatat ada 666 kasus kekerasan anak terjadi di Jakarta, dengan 68 persennya merupakan kekerasan seksual (Sinar Harapan, 14/5/2014). Maka dari itu, sudah saatnya pendidikan di Indonesia saat ini bangkit.

Saatnya Bangkit
Momentum Harkitnas seharusnya tidak menjadi peringatan yang formalistik simbolis. Memang, Harkitnas hanya sehari, namun spirit bangkit harus digelorakan setiap hari, kapan saja dan di mana saja, khususnya dalam dunia pendidikan.

Kebangkitan pendidikan nasional bisa berawal dari misi pendidikan nasional. Meskipun kurikulum sering berganti, namun pendidikan nasional harus mampu membangun SDM terdidik itu sendiri. Mereka harus memiliki kecerdasan komprehensif, kompetitif, mandiri, amanah dan produktif. Selanjutnya, setiap misi bidang kajian harus diaplikasikan dalam pengembangan SDM.

Oleh karena itu, bidang kajian keilmuan perlu dilakukan secara terpadu untuk mencapai kompetensi komprehensif, intelektual, sosial, moral dan iman. Seharusnya semua sistem pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi berjalan demikian. Pasalnya, pendidikan itu mengembangkan ilmu dan membangun peradaban. Tanpa pendidikan, peradaban manusia tidak berbeda dengan peradaban hewan.

Darmaningtyas (2012) juga menjelaskan bahwa kinerja pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan itu perlu didasari komitmen terhadap nilai-nilai moral. Jika tidak, pendidikan akan rusak dan hancur.

Di sisi lain, untuk keluar dari 10 petaka yang dijelaskan Thomas Lickona di atas ternyata semua bergantung “siapa pendidiknya”. Pendidik di sini artinya guru, dosen, ustaz dan mentor di lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non formal. Namun, guru bukan berarti guru di kelas saja, melainkan yang “digugu dan ditiru”, baik dia guru, orang tua, pejabat maupun tukang ojek.

Untuk mencetak guru revolusioner, lembaga pendidik dan tenaga kependidikan (LPTK) harus bangkit dan memperbarui sistem. Pertama, kampus khususnya yang LPTK harus menjadi “agen pembaharuan” dan persemaian tokoh-tokoh masa depan. Kedua, model perkuliahan selayaknya berbasis filsafat pendidikan mutakhir menggunakan pendekatan konstuktivistik. Artinya, dengan dua hal itu akan membangun kemandirian, kreativitas, citra dan cinta dengan menerapkan strategi tuntas dan model-model pembelajaran inovatif.

Ketiga, visi misi pendidikan di semua jenjang harus berorientasi pada membangun sumber daya terdidik dan bermoral, bukan sekadar mengejar nilai-nilai kognitif. Jika mengutamakan nilai kognitif, maka sama saja mencetak generasi cerdas tapi miskin moral. Sudah saatnya pendidikan mencetak generasi cerdas dan bermoral.

Kebangkitan pendidikan nasional harus diawali dari lingkup kecil, salah satunya memperbaiki kualitas pendidiknya. Jika pendidiknya berkualitas dan menjadi sang pencerah, maka misi dan tujuan pendidikan nasional akan tercapai, begitu pula sebaliknya. 

Sekolah dan kampus seharusnya juga mengajarkan kepada pelajar untuk berbuat apa (to do) bukan sekadar menjadi apa (to be). Pasalnya, selama ini nilai-nilai karakter sudah darurat, banyak pendidik masih menjadi pengajar dan sekadar transfer ilmu. Maka dari itu, sudah saatnya pendidikan nasional bangkit dari ketertinggalan, keterpurukan dan kejumudan. Kebangkitan pendidikan nasional bukanlah segalanya, namun segalanya bisa berawal dari sana.
-Peneliti Pendidikan Dasar pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
-Tulisan ini dimuat di Solopos, 20 Mei 2014
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 komentar:

Item Reviewed: Hari Kebangkitan Pendidikan Nasional Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda