Oleh Hamidulloh Ibda
Membela yang benar
Maju tak gentar
Hak kita diserang
Maju serentak
Mengusir penyerang
Maju serentak
Tentu kita kita menang
Bergerak bergerak
Serentak Serentak
Menerkam Menerjang Terkam
Tak gentar tak gentar
Menyerang menyerang
Majulah majulah menang
Setelah aku menyanyikan lagu karangan Cornel
Simanjuntak di depan kelas, teman-teman memberikan tepuk tangan
cinta padaku. Ya, hari ini Senin, hari kegembiraanku. Guruku juga memberikan
pelajaran tentang perjuangan para pendiri bangsa, pahlawan yang tak gentar
melawan penjajah.
“Hari ini, tugas kalian adalah mengisi kemerdekaan dengan belajar.
Raihlah cita-cita setinggi langit, agar kalian mampu membahagiakan kedua orang
tua, dan mengharumka nama bangsa.” Demikian sekelumit motivasi dari guruku saat
di kelas.
Doni Setiawan. Itulah nama yang disematkan ayah padaku sejak aku lahir
ke dunia yang anggun ini. Meskipun ayahku hanya petani, tapi menjadi profesor
adalah cita-citaku tertinggi agar bisa membahagiakan ibu dan bapakku.
Kata guruku, untuk menjadi seorang profesor, aku harus belajar rajin
belajar, berpacaran dengan buku, berteman dengan ilmuwan dan harus berkelahi
dengan waktu. Dipaksa pecahkan malas, kepalkan tangan untuk menggenggam
harapan.
Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung. Demikian pesan guruku setiap kali di kelas yang
artinya siapa saja mengganggu akan lebur, yang menghalangi akan hancur. Kata-kata
guruku itu menjadi semangatku untuk mencapai impian dan harus ku gentakkan.
Sebelum mendapat wejangan tersebut, aku selalu bermalas-malasan untuk
membaca buku. Temanku, Rian dan Anton juga demikian. Mereka tiap kali tak ajak
untuk belajar selalu mengelak dan malah mengajakku untuk bermain bola.
Aku kesal padanya karena mereka tidak bisa diajak menjadi pemenang.
Memang impian orang berbeda, si Rian ingin jadi pemain bola, sedangkan Anton
ingin menjadi bisnisman seperti ayahnya.
“Jika kamu ingin jadi profesor, belajar lah yang rajin, pokoke maju
terus pantang mundur, Don”. Demikian kalimat yang sering dilontarkan Rian
padaku. Ia memang agak manja, tapi semangatnya kuat untuk jadi pemain bola.
Suatu ketika aku pernah bertanya pada Rian. “Menurutmu, menjadi
profesor itu mudah atau sulit sih?” tanyaku padanya. Rian menjawab, ah itu
mudah, asalkan ada keinginan kuat, pasti kau dapat meraihnya, Don. Ingat kata
guru kita Pak Joni, Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung. “Maju terus pantang mundur lah, Don,” katanya.
Anton juga terus menjadi
teman yang tak henti memberikan suntikan semangat padaku. Baginya, apa saja
yang ada dibenak pikiran kita harus dilakukan, jangan cuma diimpikan.
Sopo temen, bakal tinemu (barang siapa bersungguh-sungguh, ia akan berhasil). Itu salah satu kalimat yang menjadi jurusnya ketika
memberikan semangat padaku.
Mendengar motivasi Rian, impian bertambah kuat dan bulat. Aku ingin
menjadi profesor yang hebat, memiliki banyak karya nyata yang berguna untuk
bangsa. Meskipun aku belum pernah menjadi juara kelas, tapi aku tak mau jadi
macan di kandang kucing. Namun, aku ingin jadi macan di kandang macan.
Benar apa kata ibuku, jadilah anak yang luar biasa, jangan yang
biasa-biasa saja. Ibuku juga pernah berpesan padaku, jika kamu ingin
membahagiakan keluarga, jangan jadi anak pemalas, jadilah anak yang rajin
belajar, tak bolong salatnya dan jangan pernah putus asa.
Ya, setidaknya semester ini aku harus juara kelas dan mendapat tiket
untuk lomba cerdas-cermat di kabupaten. Setelah lulus SD, aku mau daftar di SMP
dan SMA 1 Pati. Setelah itu, aku mau kuliah di UI dan sampai S3 nanti akan
kuperjuangan.
Doakan, teman, aku ingin jadi juara kelas, dapat beasiswa dan impianku
menjadi profesor akan menjadi kenyataan.
Semarang, 5 Mei 2014
Cerpen ini dikumpulkan sebagai tuga Cerpen Anak mata kuliah Teori
Sastra PPs Unnes
Mimpi Doni
ReplyDelete