Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Friday, 20 June 2014

Contoh Hasil Pengamatan Laporan KKL Unnes



            Pendidikan sekolah dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam pengembangan sekolah, tetapi juga untuk memperbaiki mutu dalam rangka pembentukan peran-peran social melalui berbagai bentuk partisipasinya dalam kelembagaan pendidikan. Gorton (1976) menandaskan bahwa untuk membangun sekolah yang efektif perlu melibatkan peran serta masyarakat.
Selain itu di Indonesia, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) mulai dikenal pada tahun 1999. Awalnya dimulai dari kerja sama Unicef, UNESCO, dan Depdiknas dalam hal ini  Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Program rintisan MBS itu bernama creating learning community for children (CLCC) atau "menciptakan masyarakat peduli pendidikan anak".
Program CLCC bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui pengembangan model untuk memberdayakan SD melalui pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS), metode pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM), dan peran serta masyarakat (PSM) dalam lingkungan sekolah yang ramah anak (child-friendly school).
Kegiatan ini berlandaskan asumsi bahwa sekolah akan meningkat mutunya jika kepala sekolah, guru, dan masyarakat termasuk orangtua siswa diberikan kewenangan yang cukup besar untuk mengelola urusan sendiri, termasuk perencanaan dan pengelolaan keuangan sekolah, proses belajar - mengajar menjadi aktif dan menarik, para pendidiknya lebih ditingkatkan kemampuannya dan masyarakat sekitar sekolah ikut aktif dalam urusan persekolahan secara umum.
Pada manajemen berbasis sekolah, sekolah memiliki otonomi (kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi sekolah. Ketergantungan pada tingkat pusat makin kecil, sehingga sekolah harus dewasa dan meyakini bahwa perubahan pendidikan tidak akan terjadi jika sekolah sendiri tidak berubah. Tentu saja kemandirian ini menuntut kemampuan sekolah untuk mengatur dan mengurus sekolahnya menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
PAKEM merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan ketrampilan, sikap dan pemahaman dengan mengutamakan belajar sambil bekerja, guru menggunakan berbagai sumber belajar dan alat bantu termasuk pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar agar pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan efektif.  PAKEM merupakan singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan.
Istilah Aktif, maksudnya pembelajaran adalah sebuah proses aktif membangun makna dan pemahaman dari informasi, ilmu pengetahuan maupun pengalaman oleh peserta didik sendiri. Istilah Kreatif memiliki makna bahwa pembelajaran merupakan sebuah proses mengembangkan kreativitas peserta didik, karena pada dasarnya setiap individu memiliki imajinasi dan rasa ingin tahu yang tidak pernah berhenti. Istilah Efektif, berarti bahwa model pembelajaran apapun yang dipilih harus menjamin bahwa tujuan pembelajaran akan tercapai secara maksimal. Sedangkan istilah Menyenangkan dimaksudkan bahwa proses pembelajaran harus berlangsung dalam suasan yang menyenangkan dan mengesankan.
Dalam penerapan PAKEM oleh pendidik atau guru bisa dilihat dan dicermati berbagai indikasi yang muncul pada saat proses belajar mengajar dilaksanakan. Disamping itu, pendidik juga perlu memperhatikan berbagai prinsip ketika menerapkannya. Kriteria ada atau tidaknya pembelajaran PAKEM diantaranya dapat dilihat pada beberapa indikator berikut :
1.      Pekerjaan peserta didik. Diungkapkan dengan bahasa dan kata-kata siswa sendiri. PAKEM sangat mengutamakan agar siswa mampu berpikir, berkata-kata, dan mengungkap sendiri.
2.      Kegiatan peserta didik. siswa banyak diberi kesempatan untuk mengalami atau melakukan sendiri. Bila peserta didik mengalami atau mengerjakan sendiri, mereka belajar meneliti tentang apa saja.
3.      Ruangan kelas. Penuh pajangan hasil karya siswa dan alat peraga sederhana buatan guru dan peserta didik. banyak yang dapat dipajang di kelas dan dari hasil pajangan itu siswa saling belajar. Alat peraga yang sering digunakan diletakkan pada tempat yang strategis.
4.      Penataan meja kursi. Meja kursi tempat belajar peserta didik dapat diatur secara fleksibel. Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan berbagai cara/metode/teknik, misalnya melalui kerja kelompok, diskusi, atau aktivitas siswa secara individual.
5.      Suasana bebas. Siswa memiliki dukungan suasana bebas untuk menyampaikan atau mengungkapkan pendapat. Siswa dilatih untuk mengungkapkan pendapat secara bebas, baik dalam diskusi, tulisan maupun kegiatan lain.
6.      Umpan balik guru. Guru memberi tugas yang bervariasi dan secara langsung memberi umpan balik agar siswa segera memperbaiki kesalahan.
7.      Sudut baca. Sudut kelas sangat baik bila diciptakan sebagai sudut baca untuk siswa. Sudut baca di ruang kelas akan mendorong siswa gemar membaca.
8.      Lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar sekolah dapat dijadikan media pembelajaran.
            Sedangkan beberapa prinsip yang harus diperhatikan ketika guru menerapkan PAKEM adalah sebagai berikut:
1.      Memahami sifat peserta didik.
2.      Mengenal peserta didik secara perorangan.
3.      Memanfaatkan perilaku peserta didik dalam pengorganisasian belajar.
4.      Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta mampu memecahkan masalah.
5.      Menciptakan ruangan kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik.
6.      Memanfaatkan lingkungan sebagai lingkungan belajar.
7.      Memberikan umpan balik yang baik.
8.      Membedakan antara aktif fisik dengan aktif mental.
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).
Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
Muatan lokal dalam kurikulum dapat merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri atau bahan kajian suatu mata pelajaran yang telah ada. Sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, muatan lokal mempunyai alokasi waktu tersendiri. Tetapi sebagai bahan kajian mata pelajaran, muatan lokal dapat sebagai tambahan bahan kajian dari mata pelajaran yang telah ada atau disampaikan secara terpadu dengan bahan kajian lain yang telah ada. Karena itu, untuk muatan lokal dapat dan tidak dapat diberikan alokasi waktu tersendiri. Muatan lokal sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri tentu dapat diberikan alokasi jam pelajaran. Misalnya, mata pelajaran bahasa daerah, pendidikan kesenian, dan pendidikan keterampilan. Demikian pula, sebagai bahan kajian tambahan dari bahan kajian yang telah ada atau sebagai satu atau lebih pokok bahasan dapat diberikan alokasi waktu. Tetapi muatan lokal sebagai bahan kajian yang merupakan penjabaran yang lebih mendalam dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang telah ada sukar untuk diberikan aiokasi jam pelajaran. Bahkan muatan lokal berupa disiplin di sekolah, sopan santun berbuat dan berbicara, kebersihan sena keindahan sangat sukar bahkan tidak mungkin diberikan alokasi waktu.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Contoh Hasil Pengamatan Laporan KKL Unnes Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda