Aku bukan Nabi Muhammad, Isaac Newton, Nabi Isa, Buddha, Kong Hu Cu, Ts’ai Lun, Johann Gutenberg, Christopher Columbus, Albert Einstein, Karl Marx, Louis Pasteur, Galileo Galilei, Aristoteles, Lenin, Nabi Musa, Charles Darwin, Shih Huang Ti, Augustus Caesar, Mao Tse Tung, Jengis Khan, Euclid, Martin Luther, Nicolaus Copernicus dan bukan pula James Watt.
Aku adalah semua.
Mudah-mudahan, itu yang disebut aku. Karena aku tidak mau mengait-ngaitkan aku
dengan yang lain. Menurut Wahib pun, aku adalah aku pada saat sakaratul maut.
Ya, aku adalah kamu. Dan kamu
adalah aku. Aku dan kamu, hidup dan matiku.
Sekian lama Aku mengembara
mencari cinta sejati. Kata orang, cinta sejati itu ya cinta yang bisa dibawa
mati. Selain cinta kepada Tuhan, mencintai ciptaannya juga cinta sejati sebagai
cara mencintai Tuhan. Memang benar, tidak ada yang puitis kecuali berbicara tentang
cinta.
Di setiap hembusan nafasku,
selalu ada kamu. Dirimu selalu ada di dalam hatiku. Di setiap mimpiku selalu
ada hadirmu. Di dompetku, tersimpan rapi fotomu. Pokoknya kamu di atas
segalanya. Hidup dan matiku padamu.
Mungkin nanti akan terjawab. Akan
datang hembusan gelombang kebahagiaan lewat pernikahan kita, Minggu 1 Juni
2014. Hari itu, sudah kuikrarkan hidup dan matiku padamu. Geliat harapan mulai
tampak dengan tanda semburat merah dari Timur.
Dalam di lubuk hati. senyummu
mengalir bagai air pegunungan. Bening dan jernih. Asri dan alami. Kamu selalu
menebarkan jalan kehidupan. Menaburkan ledakan motivasi. Kamu menyejukkan
kegersangan hidupku. Mengajarkan melawan lupa, malas dan galau di pucuk-pucuk kehidupan. Engkau mampu mengajarkanku untuk bercanda dengan gelombang-gelombang. Aku punya sejuta power di tengah badai menyerang. Ini tidak lebay, tapi aku bicara fakta empiris dan menghujanderaskan perasaanku saat ini. Tuhan pun, kemarin sudah berbisik padaku, "Yo wes karepmu. Ati-ati yo, Le," tuturnya.
Aku tak tahu mengapa bisa bertemu
denganmu. Saat itu, aku membasuh luka lama yang kau taburi lembaran baru. Ya, asa
itu datang ketika kamu terseyum padaku. Waktu itu aku menginjakkan kaki di
kampus Pascasarjana Unnes pada Agustus 2013. Di situlah, dimulai pengembaraan
asmaraku. Uniknya, tak hanya pengembaraan asmara yang monoton didengar orang
dan malas dibaca ketika ditulis dalam bentuk cerpen. Kamu teman hidupku, begitu
pula teman diskusi, debat dan kolega intelektualku.
Witing tresno jalaran soko
kulino. Begitu kata orang Jawa. Awalnya, kamu benci padaku. Aku gondrong,
slengean dan merokok pula. Padahal, pria dambaanmu itu yang bagus, rapi,
akademis banget lah pokoknya. Namun kamu juga aku tak bisa apa-apa. Tuhan memang sudah
mengutukku jadi suamimu.
Sebenarnya, aku selalu
menyembunyikan puisiku dari kata-kata. Menyimpan aura puitisku dari huruf dan
rentetan kalimat. Namun perjalanan hidup tak bisa seperti itu. Aku tak mungkin
meniupkan marahku pada badai. Tak mungkin pula ku hembuskan ruhku pada ombak
dan gelombang. Aku pun tak mau jadi ombak, karena ia hanya bernyanyi ketika ditiup
angin dan terhempas di pantai. Aku tak mau jadi buih, yang hilang ditelan gelombang.
Tulisan ini menjadi saksi. Di
mana aku mengabarkan bahwa kamu adalah hidup dan matiku. Moga kamu tidak bosan
membaca dan menemaniku menulis. Karena hidup ada tulisan. Dengan tulisan,
aku bisa hidup dan mencintaimu. Sumpah, ini bukan konsep, teori, atau blueprint yang bertele-tele dan kualitatif. Ini terukur, logis, berdasarkan ilmu dan teori meskipun insting ikut campur sedikit-sedikit. He he he........
Hati senang walaupun tak punya
uang. Begitu kata Koes Plus dalam lagu “Bujangan”. Tapi, kamu mengajarkanku
untuk mengutamakan substansi bukan bungkus. Kamu pula yang mengajarkanku untuk
mengutamakan “kenyamanan” daripada “kemapanan”. Karena kenyamanan itu tak
terbeli. Sedangkan kemapanan bisa dicari jika sudah nyaman.
Cinta ini memang tak bisa ku
ceritakan dengan kata-kata. Mungkin kita bisa bercerita ngalor-ngidul tentang
eskalasi dan pengembaraan cinta. Mungkin pula, logo dan gambar hati untuk
menyimbolkan cinta itu salah dan kaprah. Itu hanya sesuai alat ukur pemikiran
mereka saja. Tapi bagiku, cinta itu absrak, astral dan tak bisa digambarkan.
Menurutku, Pablo Picasso sang ahli
Kubisme pun tak bisa menggambarkan indahnya cinta. Mungkin juga, Prof Dr Thomas
Lickona bisa mendeskripsikan secara rinci tentang 10 tanda-tanda kehancuran
suatu bangsa. Tapi, aku yakin seyakin-yakinnya ia tak kuasa untuk
menggambarkan cinta. Ah, kok sampai ke mana-mana sih tulisan ini.
Ya, rindu kemuliaan harus diongkosi dengan penderitaan. Karena tidak ada mawar yang tidak berduri. Meskipun ia mawar merah seperti lagu Slank, mawar biru seperti lagu Koes Plus dan mawar hitam lagunya Tipe-X. Tapi, mawar di sini adalah kamu. Selalu wangi tanpa harus pakai minya wangi. Ini tidak rasional, tapi itulah cinta. Bahagianya tiada akhir. Jangan tertipu oleh pameo yang digelontorkan oleh Cu Patkai atau akrab disapa Chu Pa Chie. Memang, filsafat cinta Cu Patkai (200 SM) adalah "beginilah cinta, deritanya tiada akhir". Tapi, ini harus didekonstruksi. Cinta itu membahagiakan, bukan menyedihkan.
Bagi yang sedih, mungkin ia harus melakukan pengembaraan empiris yang lebih lama lagi. Karena jika sudah puas, maka ia bagaikan laut tanpa gelombang dan seperti bunga tanpa bau. Ora ono gondone.
Ya, rindu kemuliaan harus diongkosi dengan penderitaan. Karena tidak ada mawar yang tidak berduri. Meskipun ia mawar merah seperti lagu Slank, mawar biru seperti lagu Koes Plus dan mawar hitam lagunya Tipe-X. Tapi, mawar di sini adalah kamu. Selalu wangi tanpa harus pakai minya wangi. Ini tidak rasional, tapi itulah cinta. Bahagianya tiada akhir. Jangan tertipu oleh pameo yang digelontorkan oleh Cu Patkai atau akrab disapa Chu Pa Chie. Memang, filsafat cinta Cu Patkai (200 SM) adalah "beginilah cinta, deritanya tiada akhir". Tapi, ini harus didekonstruksi. Cinta itu membahagiakan, bukan menyedihkan.
Bagi yang sedih, mungkin ia harus melakukan pengembaraan empiris yang lebih lama lagi. Karena jika sudah puas, maka ia bagaikan laut tanpa gelombang dan seperti bunga tanpa bau. Ora ono gondone.
Intinya, tidak ada yang lain
selain dirimu. Aku memang bukan Mulla Sadra yang bisa meneorikan Metafisika.
Aku juga bukan Montesquieu yang bisa merumuskan blueprint tentang konsep
negara demokrasi dengan trias politikanya. Aku adalah Dian, dan Dian adalah
aku. Pokoknya menyatu gitu lah.
Kata dosenku memang benar. Nikah
itu nikmatnya cuma 10 persen, sedangkan yang 90 persen enak banget. Aku
pun menyesal. Mengapa gak dari dulu ya.
Ah, aku sudah lelah. Tak bobok
dulu ma istriku ya. Besuk-besuk tak nulis cepren, eh cerpen maksudnya. Hehehe
maklum. Pengantin baru.
Blora, 1 Juni 2014
Hamidulloh Ibda
wis ngrasake enaknya to bro??? hehehehhe
ReplyDeleteEnak, benar, baik, utama, dan nikah menjadi salah satu jalan menuju "kemuliaan hidup". Karena mulia itu lebih tinggi derajatnya daripada enak, benar, baik dan utama. Hehe sok intelek.
ReplyDelete