Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 1 June 2014

Dian Marta Wijayanti Hidup dan Matiku



Aku bukan Nabi Muhammad, Isaac Newton, Nabi Isa, Buddha, Kong Hu Cu, Ts’ai Lun, Johann Gutenberg, Christopher Columbus, Albert Einstein, Karl Marx, Louis Pasteur, Galileo Galilei, Aristoteles, Lenin, Nabi Musa, Charles Darwin, Shih Huang Ti, Augustus Caesar, Mao Tse Tung,  Jengis Khan, Euclid, Martin Luther, Nicolaus Copernicus dan bukan pula James Watt. 

 
Aku adalah semua. Mudah-mudahan, itu yang disebut aku. Karena aku tidak mau mengait-ngaitkan aku dengan yang lain. Menurut Wahib pun, aku adalah aku pada saat sakaratul maut.

Ya, aku adalah kamu. Dan kamu adalah aku. Aku dan kamu, hidup dan matiku.


Sekian lama Aku mengembara mencari cinta sejati. Kata orang, cinta sejati itu ya cinta yang bisa dibawa mati. Selain cinta kepada Tuhan, mencintai ciptaannya juga cinta sejati sebagai cara mencintai Tuhan. Memang benar, tidak ada yang puitis kecuali berbicara tentang cinta.


Di setiap hembusan nafasku, selalu ada kamu. Dirimu selalu ada di dalam hatiku. Di setiap mimpiku selalu ada hadirmu. Di dompetku, tersimpan rapi fotomu. Pokoknya kamu di atas segalanya. Hidup dan matiku padamu.


Mungkin nanti akan terjawab. Akan datang hembusan gelombang kebahagiaan lewat pernikahan kita, Minggu 1 Juni 2014. Hari itu, sudah kuikrarkan hidup dan matiku padamu. Geliat harapan mulai tampak dengan tanda semburat merah dari Timur.


Dalam di lubuk hati. senyummu mengalir bagai air pegunungan. Bening dan jernih. Asri dan alami. Kamu selalu menebarkan jalan kehidupan. Menaburkan ledakan motivasi. Kamu menyejukkan kegersangan hidupku. Mengajarkan melawan lupa, malas dan galau di pucuk-pucuk kehidupan. Engkau mampu mengajarkanku untuk bercanda dengan gelombang-gelombang. Aku punya sejuta power di tengah badai menyerang. Ini tidak lebay, tapi aku bicara fakta empiris dan menghujanderaskan perasaanku saat ini. Tuhan pun, kemarin sudah berbisik padaku, "Yo wes karepmu. Ati-ati yo, Le," tuturnya.


Aku tak tahu mengapa bisa bertemu denganmu. Saat itu, aku membasuh luka lama yang kau taburi lembaran baru. Ya, asa itu datang ketika kamu terseyum padaku. Waktu itu aku menginjakkan kaki di kampus Pascasarjana Unnes pada Agustus 2013. Di situlah, dimulai pengembaraan asmaraku. Uniknya, tak hanya pengembaraan asmara yang monoton didengar orang dan malas dibaca ketika ditulis dalam bentuk cerpen. Kamu teman hidupku, begitu pula teman diskusi, debat dan kolega intelektualku.


Witing tresno jalaran soko kulino. Begitu kata orang Jawa. Awalnya, kamu benci padaku. Aku gondrong, slengean dan merokok pula. Padahal, pria dambaanmu itu yang bagus, rapi, akademis banget lah pokoknya. Namun kamu juga aku tak bisa apa-apa. Tuhan memang sudah mengutukku jadi suamimu.


Sebenarnya, aku selalu menyembunyikan puisiku dari kata-kata. Menyimpan aura puitisku dari huruf dan rentetan kalimat. Namun perjalanan hidup tak bisa seperti itu. Aku tak mungkin meniupkan marahku pada badai. Tak mungkin pula ku hembuskan ruhku pada ombak dan gelombang. Aku pun tak mau jadi ombak,  karena ia hanya bernyanyi ketika ditiup angin dan terhempas di pantai. Aku tak mau jadi buih, yang hilang ditelan gelombang.


Tulisan ini menjadi saksi. Di mana aku mengabarkan bahwa kamu adalah hidup dan matiku. Moga kamu tidak bosan membaca dan menemaniku menulis. Karena hidup ada tulisan. Dengan tulisan, aku bisa hidup dan mencintaimu. Sumpah, ini bukan konsep, teori, atau blueprint yang bertele-tele dan kualitatif. Ini terukur, logis, berdasarkan ilmu dan teori meskipun insting ikut campur sedikit-sedikit. He he he........


Hati senang walaupun tak punya uang. Begitu kata Koes Plus dalam lagu “Bujangan”. Tapi, kamu mengajarkanku untuk mengutamakan substansi bukan bungkus. Kamu pula yang mengajarkanku untuk mengutamakan “kenyamanan” daripada “kemapanan”. Karena kenyamanan itu tak terbeli. Sedangkan kemapanan bisa dicari jika sudah nyaman.


Cinta ini memang tak bisa ku ceritakan dengan kata-kata. Mungkin kita bisa bercerita ngalor-ngidul tentang eskalasi dan pengembaraan cinta. Mungkin pula, logo dan gambar hati untuk menyimbolkan cinta itu salah dan kaprah. Itu hanya sesuai alat ukur pemikiran mereka saja. Tapi bagiku, cinta itu absrak, astral dan tak bisa digambarkan.


Menurutku, Pablo Picasso sang ahli Kubisme pun tak bisa menggambarkan indahnya cinta. Mungkin juga, Prof Dr Thomas Lickona bisa mendeskripsikan secara rinci tentang 10 tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Tapi, aku yakin seyakin-yakinnya ia tak kuasa untuk menggambarkan cinta. Ah, kok sampai ke mana-mana sih tulisan ini.

Ya, rindu kemuliaan harus diongkosi dengan penderitaan. Karena tidak ada mawar yang tidak berduri. Meskipun ia mawar merah seperti lagu Slank, mawar biru seperti lagu Koes Plus dan mawar hitam lagunya Tipe-X. Tapi, mawar di sini adalah kamu. Selalu wangi tanpa harus pakai minya wangi. Ini tidak rasional, tapi itulah cinta. Bahagianya tiada akhir. Jangan tertipu oleh pameo yang digelontorkan oleh Cu Patkai atau akrab disapa Chu Pa Chie. Memang, filsafat cinta Cu Patkai (200 SM) adalah "beginilah cinta, deritanya tiada akhir". Tapi, ini harus didekonstruksi. Cinta itu membahagiakan, bukan menyedihkan.

Bagi yang sedih, mungkin ia harus melakukan pengembaraan empiris yang lebih lama lagi. Karena jika sudah puas, maka ia bagaikan laut tanpa gelombang dan seperti bunga tanpa bau. Ora ono gondone.

Intinya, tidak ada yang lain selain dirimu. Aku memang bukan Mulla Sadra yang bisa meneorikan Metafisika. Aku juga bukan Montesquieu yang bisa merumuskan blueprint tentang konsep negara demokrasi dengan trias politikanya. Aku adalah Dian, dan Dian adalah aku. Pokoknya menyatu gitu lah.


Kata dosenku memang benar. Nikah itu nikmatnya cuma 10 persen, sedangkan yang 90 persen enak banget. Aku pun menyesal. Mengapa gak dari dulu ya.


Ah, aku sudah lelah. Tak bobok dulu ma istriku ya. Besuk-besuk tak nulis cepren, eh cerpen maksudnya. Hehehe maklum. Pengantin baru.


Blora, 1 Juni 2014

Hamidulloh Ibda
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

2 komentar:

  1. wis ngrasake enaknya to bro??? hehehehhe

    ReplyDelete
  2. Enak, benar, baik, utama, dan nikah menjadi salah satu jalan menuju "kemuliaan hidup". Karena mulia itu lebih tinggi derajatnya daripada enak, benar, baik dan utama. Hehe sok intelek.

    ReplyDelete

Item Reviewed: Dian Marta Wijayanti Hidup dan Matiku Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda