Oleh
Hamidulloh Ibda
Peneliti Pendidikan Dasar
pada Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Dimuat di Koran Barometer, Senin 30 Juni 2014
Peringatan Hari Antinarkoba
Sedunia pada 26 Juni 2014 harus menjadi spirit pemberantasan barang haram ini. Seharusnya,
penjahat narkoba harus dihukum mati. Namun, kenyataanya Presiden SBY selama ini memberikan pengampunan, mengubah
hukuman mati atas Meirika Franola/Ola menjadi hukuman seumur hidup, melalui
Keputusan Presiden No 35 Tahun 2011, tanggal 26 Septmber 2011. Nama dan kasus
Ola pun kembali jadi pembicaraan banyak orang.
Para pengamat, para pakar hukum dan para komentator entah siapa,
menjadikannya topik debat di media. Terutama setelah terungkap dugaan bahwa
mengendalikan bisnis narkoba dari balik dinding penjara. Ola divonis mati oleh
majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus 2000, karena terbukti
membawa 3,5 kilo gram heroin dari London, Inggris, melalui Bandara Internasional
Soekarno-Hatta.
Selama ini, penjara tak membuat jera para penjahat narkoba. Vonis mati
bagi para pelaku bisnis narkoba tampaknya juga tak bikin mereka miris.
Buktinya, peredaran narkoba makin menjadi-jadi dari kota besar bahkan hingga ke
pelosok-pelosok terpencil. Vonis mati tidak lagi menakutkan, apalagi setelah
ada preseden turunnya grasi.
Hukuman Mati
Eksekusi mati pertama bagi terpidana kasus narkoba, terjadi pada 2004
atas seorang asing bernama Ayodhya Prasad Chaubey (65), yang berganti nama
menjadi Muhammad Solihin setelah memeluk Islam pada 1996. Ia ditangkap lalu
ditahan Polisi Medan, Februari 1994, pengadilan kemudian memutuskan hukuman
mati.
Selain Ayodhya masih ada setidaknya dua lusin lagi terpidana mati dalam
kasus serupa yang jika tidak ada perubahan hukuman sebagaimana yang dialami Ola
mungkin akan segera menyusul dieksekusi.
Banyak orang berpendapat, hukum mati bagi para pengedar narkotika
memang selayaknya diterapkan agar siapa pun takut bermain-main dengan
menyalahuganakan zat berbahaya yang bisa bikin ketagihan dan merusak bahkan
bisa membunuh orang yang salah menggunakannya itu.
Pelaksanaan vonis mati memang bukan yang pertama dilakukan di tanah
air. Setidaknya, sudah 32 terpidana mati dikirim ke alam baka. Delapan pelaku
kriminal, dan 23 napi kasus pemberontakan Gerakan 30 September 1965 Partai
Komunis Indonesia.
Sejarah hukum Indonesia mestinya mencatat Kusni Kasdut (pembunuh dan
perampok), Azhar bin Muhammad (pembajak pesawat Woyla, dieksekusi pada Februari
1991), atau Kacong Laranu, pembunuh yang dieksekusi pada Januari 1995.
Vonis mati di Indonesia mengadopsi Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang menyebutkan bahwa pidana mati sebagai satu di antara bentuk pidana
pokok dapat dijatuhkan kepada pelaku makar, membunuh kepala negara, hingga
pembunuhan berencana.
Sedangkan untuk perbuatan kriminal di luar KUHP diatur dalam sejumlah
undang-undang, antara lain UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang penyalahgunaan
narkotika. Hukuman mati, juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Inilah yang memungkinkan hakim menjatuhkan vonis mati bagi para
terpidana dalam kasus bom bali, misalnya.
Ada pula UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang juga mencantumkan pidana mati. Namun sejauh ini belum ada terdakwa
kasus korupsi yang divonis hukuman mati, apalagi yang sampai dieksekusi.
Vonis mati bisa dijatuhkan dalam peradilan umum maupun peradilan
militer dan berbentuk hukuman tembak. Pasal 11 KUHP menjelaskan bahwa hukuman
mati dilaksanakan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang
terikat di tiang gantungan, sampai terpidana mati. Pada kenyataannya, meskipun
belum pernah ada pencabutan pasal 11 tersebut, eksekusi hukuman mati selalu
dilakukan regu tembak.
Hukuman mati terdapat di seluruh belahan bumi sebagai warisan hukum
sejak awal peradaban manusia. Namun seiring dengan perkembangan peradaban,
masyarakat dunia mulai mempertimbangkan kembali hukuman mati. Ada yang secara
resmi meninggalkannya, ada pula yang masih tetap memberlakukannya namun dengan
teknik kematian yang dipandang lebih “manusiawi”.
Ketika kursi listrik dianggap terlalu biadab, beberapa negara bagian di
Amerika Serikat menggantinya dengan kamar gas. Namun cara ini pun dianggap
masih amat kejam, maka negara bagian tertentu di negeri itu mengeksekusi terpidana
mati dengan suntikan.
Beberapa negara hingga kini masih memberlakukan hukuman mati. Vonis
maut bisa dijatuhkan, tetapi pelaksanaannya memang bisa ditangguhkan oleh para
penguasa yang “diam-diam” antihukuman mati, misalnya dengan tidak menjawab
permohonan grasi atau tidak mengeluarkan perintah eksekusi.
Dilihat dari kasusnya, Ola Cs sama-sama punya kontak bisnis narkotika
dengan orang asing, seperti dalam kasus Ayodhya. Membiarkan orang-orang semacam
ini dan jaringannya beroperasi dengan bebas tentu saja, tidak benar. Bukan
tidak mungkin, secara tidak langsung, para pebinsis narkoba ini juga pernah
jadi perantara pencabut nyawa melalui barang diedarkannya. Orang kelebihan
dosis, mati. Orang ketagihan, merampok, terbunuh, mati. Orang teler, celaka di
jalan, mati.
Karena itu, boleh jadi, banyak pula orang yang setuju agar orang-orang
seperti Ola dan kawan-kawannya itu dihukum mati saja karena telah membunuh entah
dalam arti fisik, psikis, maupun sosial ekonomi banyak orang yang telanjur
kecanduan narkotika. Tapi apakah dengan mematikan orang-orang macam Ola,
peredaran obat bius, narkotik dan sejenisnya secara ilegal kemudian akan mati
juga?
Membiarkan orang-orang semacam Ola dan jaringannya beroperasi dengan
bebas tentu saja tidak benar. Tapi membunuh orang, apa pun alasannya, juga
tetap salah. Kehidupan adalah hak sang maha pemilik hidup, sebagaimana kematian
adalah hak sang pemilik maut.
0 komentar:
Post a Comment