Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Monday, 2 June 2014

Interferensi dan Integrasi Bahasa



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan yang dinamis. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas. Saling mempengaruhi antarbahasa pasti terjadi, misalnya kosakata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosakata itu memiliki sifat terbuka.
Adanya kedwibahasaan juga akan menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa. Interferensi dianggap gejala yang sering terjadi dalam penggunaan bahasa.
Di zaman modern ini, persentuhan bahasa sudah sedemikan rumit, baik sebagai akibat dari mobilisasi yang semakin tinggi maupun sebagai kemajuan teknologi komunikasi yang sangat pesat. Maka interferensi dapat dikatakan sebagai gejala yang dapat mengarah kepada perubahan bahasa terbesar, terpenting dan dominan saat ini.  
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan interferensi?
Apa saja jenis-jenis interferensi?
Apa saja faktor-faktor penyebab interferensi?
Apa yang dimaksud dengan integrasi?
Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan integrasi?

                               
BAB II
PEMBAHASAN INTERFERENSI DAN INTEGRASI
Interferensi
Pengertian Interferensi
Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi, menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih. Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima.
Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1)language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan  itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.
Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165) Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan. Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa.
kontak bahasa menimbulkan  gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
Interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain.
Unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan
Interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.
Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:
Bahasa sumber atau bahasa donor
Bahasa penyerap atau resipien
Unsur serapan atau importasi
Jenis – Jenis Interferensi
Interferensi dalam bidang fonologi
Contoh : jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata berupa nama tempat yang berawal bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata Bandung, Deli, Gombong, dan Jambi. Seringkali orang Jawa mengucapkannya dengan /mBandung/, /nDeli/,/nJambi/, dan /nGgombong/.
Interferensi dalam bidang morfologi
Interferensi morfologi dipandang oleh para ahli bahasa sebagai interferensi yang paling banyak terjadi.Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap afiks-afiks bahasa lain. Misalnya kalau sering kali kita mendengar ada kata kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, bubaran, duaan. Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu terpukul, tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil, terlalu mahal, kesungguhan, berpisah (bubar), dan berdua. Berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata yang disebut interferensi morfologi tersebut mempunyai bentuk dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-sfiks dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Interferensi dalam bentuk kalimat
Interferensi dalam bidang ini jarang terjadi. Hal ini memang perlu dihindari karena pola struktur merupakan ciri utama kemandirian sesuatu bahasa. Misalnya, Rumahnya ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu, atau Makanan itu telah dimakan oleh saya, atau Hal itu saya telah katakan kepadamu kemarin. Bentuk tersebut merupakan bentuk interferensi karena sebenarnya ada padanan bentuk tersebut yang dianggap lebih gramatikal yaitu: Rumah ayah Ali yang besar di kampung ini, Makanan itu telah saya makan, dan Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin.Terjadinya penyimpangan tersebut disebabkan karena ada padanan konteks dari bahasa donor, misalnya: Omahe bapake Ali sing gedhe dhewe ing kampung iku, dan seterusnya.
Faktor Penyebab Terjadinya Interferensi
Selain kontak bahasa, menurut Weinrich (1970:64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:
Kedwibahasaan peserta tutur
Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.
Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber  yang dikuasai penutur secara tidak terkontrol. Sebagai akibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.
 Tidak cukupnya kosakata bahasa penerima
Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosakata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosakata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor ketidak cukupan atau terbatasnya kosakata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.
Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan
Kosakata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosakata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosakata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosakata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.
Kebutuhan akan sinonim
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang bisa mengakibatkan kejenuhan. Dengan adanya kata yang bersinonim, pemakai bahasa dapat mempunyai variasi kosakata yang dipergunakan untuk menghindari pemakaian kata secara berulang-ulang.
Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosakata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosakata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.
Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa
Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut.  Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pamakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu
Kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini dapat  terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing.  Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara atau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosakata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainya.
Integrasi
Integrasi adalah penggunaan unsur bahasa lain secara sistematis seolah-olah merupakan bagian dari suatu bahasa tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana: 1993:84). Salah satu proses integrasi adalah peminjaman kata dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina (1995: 168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman.
Weinrich (1970: 11) mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa penerima.
Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu. Jangka waktu  penyesuaian unsur integrasi ada tiga faktor antara lain (1) perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya, (2) unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap, dan (3) sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.
Faktor – Faktor Penyebab Integrasi
Perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya.
Unsur serapan itu sendiri, yang sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap.
Sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Meskipun berbeda, antara interferensi dan integrasi sebenarnya memiliki sisi yang sama, yaitu bahwa keduanya dapat dilihat dari proses terjadinya. Baik interferensi maupun integrasi terjadi akibat peristiwa kontak bahasa.
Perbedaan, dapat dilihat dari gejalanya interferensi, dianggap sebagai gejala tutur (speech) atau parole, sedangkan integrasi merupakan gejala bahasa (language dan langua) yang tidak dianggap lagi sebagai gejala kesalahan berbahasa.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan dikotomi Teori   Linguistik. Bandung: Angkasa.
Ardiana, Leo Idra. 1990. Analisis kesalahan Berbahasa. FPBS IKIP Surabaya.
Bawa, I Wayan. 1981. “Pemakaian Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar”. Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Huda, Nuril dkk. 1981. Interferensi Bahasa Madura Terhadap Bahasa Indonesia Tulis Murid Sekolah Dasar Jawa Timur.Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hayi, Abdul dkk. 1985. Interferensi Gramatika Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Kridalaksana, Harimurti.1998. Introduction to Word Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas Indonesia.
Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik. Jakarta: Gramedia.
Suwito. 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary Cipta.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Interferensi dan Integrasi Bahasa Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda