Disusun:
Dian Marta Wijayanti
(0103513018)
Wahyu Ambarwati (0103513091)
Hamidulloh Ibda (0103513129)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komunikasi merupakan suatu
peristiwa yang dialami manusia dengan berbagai bahasa. Dalam melakukan
komunikasi tentunya seorang komunikator harus menggunakan bahasa yang juga
dipahami oleh komunikan. Ketika seorang
komunikator menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh komunikan maka pesan
yang disampaikan oleh komunikator tidak akan sampai pada komunikan. Dalam hal ini bahasa mempunyai peranan
yang sangat penting.
Penguasaan bahasa yang
berbeda antara dan lawan tutur seringkali membuat seorang penutur harus
berganti bahasa dalam berkomunikasi agar lawan tutur dapat memahami maksud
pembicaraannya makan inilah yang dimaksudkan dengan alih kode dalam
berkomunikasi. Tidak hanya pergantian bahasa saja yang terjadi dalam peristiwa komunikasi,
tetapi pencampuran antara dua bahasa pun sering sekali terjadi. Pencampuran
bahasa ini dilakukan karena antara penutur dan lawan tutur memiliki penguasaan
yang sama pada dua bahasa. Peristiwa ini yang dinamakan dengan campur kode. Pada masyarakat multilingual pergantian
bahasa dan percampuran bahasa merupakan hal yang sering terjadi.
Rumusan Masalah
Apa pengertian kode, alih
kode, dan campur kode?
Faktor apakah yang menjadi
penanda alih kode dan campur kode dalam interaksi bahasa di masyarakat??
BAB II
PEMBAHASAN
Kode, Alih Kode, dan
Campur Kode
Kode mengacu pada suatu
sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar
belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada.
Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai untuk
berkomunikasi antaranggota suatu masyarakat bahasa.
Alih kode adalah suatu gejala
adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi
relevansional di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.[1] Melalui kalimat yang berbeda Chaer dan
Agustina mendefinisikan alih kode sebagai peristiwa pergantian bahasa dari
ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai.[2] Appel mendefinisikan alih kode sebagai
gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Hymes menyatakan
alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara
ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Masyarakat
multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa.
Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi
masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Suwito (1985) membagi alih
kode menjadi dua, yaitu
1. Alih kode ekstern, bila alih bahasa, seperti
dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2. Alih kode intern, bila alih kode berupa alih
varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Campur kode adalah penggunaan
dua bahasa atau lebih atau dua varian
dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur dengan kondisi ada sebuah kode
utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotomiannya, sedangkan
kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa
serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa
fungsi keotomiannya sebagai sebuah kode (Chaer dan Agustina, 2010: 107).
Campur kode dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur
kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing):
campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
sikap (attitudinal type)
latar
belakang sikap penutur
kebahasaan(linguistik type)
latar belakang keterbatasan
bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan
keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Faktor-Faktor Penanda Alih
Kode dan Campur Kode dalam Interaksi Bahasa di Masyarakat
Faktor Penanda Alih Kode
Kesamaan antara alih kode dan
campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari
sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Alih kode setiap bahasa atau ragam
bahasa yang digunakan masih mempunyai otonomi masing-masing, dilakukan dengan
sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan.
Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi atas keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain
yang terlibat dalam kode-kode tutur itu hanya serpihan-serpihan tanpa fungsi
atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Menurut Fishmen penyebab alih
kode disebutkan antara lain (1) pembicara atau penutur; (2) pendengar atau
lawan tutur; (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga; (4) perubahan
dari formal ke informal atau sebaliknya; (5) perubahan topik pembicaraan.[3]. Untuk memperjelas letak penanda alih
kode, penulis akan memberikan contoh bentuk alih kode dalam berbagai situasi:
Alih kode karena faktor pembicara atau penutur
Alih kode untuk memperoleh
keuntungan ini biasanya dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu
mengharapkan bantuan lawannya. Misal, seorang marketing memilih menggunakan bahasa ibu yang sama untuk
mempermudah proses jual beli. Penjual melakukan alih kode dari bahasa Indonesia
ke bahasa daerah.
Alih kode karena faktor pendengar atau lawan tutur
Lawan tutur dapat menjadi
menyebab terjadinya alih kode ketika si penutur ingin mengimbangi kemampuan
berbahasa si lawan tutur itu. Sebagai contoh Ferita adalah seorang pemandu
wisata di Candi Borobudur. Ferita mendampingi wisatawan yang sebagian besar
adalah anak-anak kecil berusia PAUD. Pada mulanya Ferita menggunakan bahasa
Indonesia. Setelah beberapa lama, sebagian besar siswa mulai terlihat bingung.
Karena banyak siswa yang kurang menguasai bahasa Indonesia maka Ferita
cepat-cepat beralih kode untuk menjelaskan dan bercakap dalam bahasa ibu
wisatawan sehingga kemudian percakapan menjadi lancar kembali.
Alih kode karena perubahan situasi dengan hadirnya
orang ketiga
Kehadiran orang ketiga atau
orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang
sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan alih kode.
Misal, sambil menunggu perkuliahan dimulai Ambar dan Anis bercakap-cakap dengan
bahasa Jawa. Tiba-tiba datang Elvina mahasiswa dari Riau yang tidak paham
bahasa Jawa datang. Maka Ambar dan Anis segera beralih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Alih kode karena perubahan dari formal ke informal
atau sebaliknya
Perubahan situasi dapat
menyebabkan terjadinya alih kode. Sebelum perkuliahan dimulai, mahasiswa
menggunakan ragam bahasa santai dalam percakapan. Namun ketika perkuliahan
dimulai mahasiswa beralih kode dengan menggunakan ragam bahasa formal (Bahasa
Indonesia). Setelah perkuliahan selesai, mereka kembali pada ragam bahasa
santai.
Alih kode karena perubahan topik pembicaraan
Perubahan topik pembicaraan
dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Sebagai contoh Rio adalah pimpinan Ardi
dalam sebuah perusahaan. Ketika sedang berdiskusi mereka membahas proposal tender mereka menggunakan bahasa
Indonesia. Namun ketika topik pembicaraan mulai bergeser menuju kehidupan
pribadi lawan tender yang akan mereka
hadapi, Rio dan Ardi beralih kode menggunakan bahasa Jawa.
Analisis Alih Kode Pada Interaksi Guru dan Siswa dalam
Pembelajaran
Sebelum pembelajaran Bahasa
Jawa dimulai, anak-anak kelas VC bersama teman-temannya bercanda dengan
menggunakan bahasa Jawa ngoko. Namun
setelah guru masuk ke dalam kelas, dipimpin oleh ketua kelas siswa berdoa
menggunakan Bahasa Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan adanya alih kode
karena siswa menyesuaikan diri dari situasi nonformal ke formal.
Guru menggunakan kalimat
dalam bahasa Jawa sebagai pembuka pembelajaran. “Sugeng enjing, cah …. Piye
kabare dina iki? Wis padha nggarap PR to?”. Namun karena siswa terkesan kurang
memberikan respon, maka guru menekankan sapaan menggunakan bahasa Indonesia.
“Anak-anak, PRnya sudah dikerjakan atau belum?”. Situasi tersebut menunjukkan
adanya alih kode berupa berubahnya bahasa yang digunakan oleh penutur karena
mitra tutur yang diajak berkomunikasi kurang paham informasi yang hendak
disampaikan.
Ketika menyampaikan materi
tentang penulisan komponen-komponen yang terdapat dalam tulisan narasi
nonfiksi, guru menggunakan bahasa Jawa baku. Namun ketika dipertengahan
pembelajaran guru mulai lengah dan menggunakan dialek bahasa Jawa ala
Semarangan sehingga terjadi alih kode dari pokok pembicaraan yang bersifat
formal dengan ragam baku ke arah gaya bicara tidak serius dan bersifat
informal. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh emosional baik penutur maupun
mitra tutur.
Untuk menghidupkan suasana,
guru meminta salah seorang siswa untuk berdiri di depan teman-temannya. Siswa
diminta untuk menyanyikan lagu tentang unsur-unsur cerita yang liriknya sudah
dipersiapkan oleh guru. Pada lirik lagu tersebut telah terjadi perubahan alih
ragam dari formal menjadi santai.
Faktor Penanda Campur Kode
Peristiwa campur kode yang
dilakukan masyarakat dalam berbagai peritiwa tutur terjadi karena dua faktor
utama. Kedua faktor penyebab campur kode tersebut adalah (1) keterbatasan
penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah yang lebih popular[4]. Berikut ini dipaparkan kedua faktor
tersebut.
Keterbatasan penggunaan kode
Faktor keterbatasan kode
terjadi apabila penutur melakukan campur kode karena tidak mengerti padanan
kata, frase, atau klausa dalam bahasa dasar yang digunakannya. Keterbatasan ini
menyebabkan penutur menggunakan kode yang lain dengan kode dasar pada pemakaian
kode sehari-hari. Sebagai contoh:
Kasihan ya Bu Agus, semaput kok sampai dua hari belum
sadar-sadar.
Tambah lomboknya dua ribu mbak, nggak pakai rawit ya.
Jadi pada kesempatan ini
bapak ingin memberikan wanti-wanti kepada
kalian semua, khususnya bagi yang sudah kelas tiga untuk lebih giat belajar.
Sing jelas motore ki mlaku alon pas neng pertigaan Yabis, kan dalane nanjak nek
seka HOP.
‘Yang jelas motornya jalan
pelan ketika di pertigaan Yabis, kan jalannya menanjak kalau dari arah HOP’.
Sesok aku ora sida melu, kerjaanku numpuk
okeh.
‘Besok saya tidak jadi ikut,
pekerjaanku menumpuk banyak’
Gak ngantuk piye, sewengi begadang nonton bal-balan
nganti jam papat.
‘Bagaimana tidak mengantuk,
semalaman begadang nonton sepak bola sampai jam empat’.
Penggunaan istilah yang lebih
populer
Dalam kehidupan sosial,
terdapat kosakata tertentu yang dinilai mempunyai padanan yang lebih popular.
Tuturan berikut menunjukkan adanya fenomena campur kode karena penggunaan
istilah yang lebih popular.
Contoh:
Kalau mau pakai yang original ya mahal, lagian juga
paling-paling nggak ada yang jual di Bontang.
Namanya juga penyanyi,
paling-paling ya pakai wig, nggak
mungkin kan gonta-ganti model rambut tiap hari.
Si Nina tuh emang bikin malu
aja, kembalian gopek aja masih
diminta.
Iki masalahe dudu kena virus Mas, tapi memang
software-e sing error.
‘Ini masalahnya bukan karena
kena virus Mas, tapi memang piraanti lunaknya yang salah’
Tekone pasangan ki yo klambine sing marching karo
pasangane, lanangane nganggo bathik coklat kok wedhoke nganggo klambi biru nom.
‘Datangnya berpasangan ya
bajunya yang cocok sama pasangannya, yang laki-laki memakai batik kok yang
perempuan memakai baju biru muda’
Ditambahkan oleh Suwito
(dalam Maulidini, 2007: 37-43) faktor pendorong campur kode dibedakan atas
latar belakang sikap (attitudinal type)
atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type).
Faktor Nonkebahasaan (attitudinal type)
Penutur menggunakan bahasa
lain untuk lebih memperhalus maksud tuturan.
Contoh: HPnya blackmarket jadi tidak diperjualbelikan
di Indonesia. Kalai di service selain
datanya hilang ada resiko terburuk mati total, gimana?”
‘Blackmarket di sini sengaja digunakan oleh penutur untuk
memberitahukan pada pelanggan bahwa HP tersebut termasuk dalam kategori HP
selundupan.
Penutur sengaja mengambil
kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial.
Contoh:
CP: Mbak saya mau complain, Mbak gimana sih, data saya kok jadi hilang. Mbak
tahu berapa banyak nomor-nomor penting di HP saya?”
CS: “Maaf Bapak, di awal
persetujuan service kemarin saya
sudah katakana bahwa kehilangan bukan mnejadi tanggungjawab kami. Dan kemarin
Bapak sudah menyetujui dan membubuhkan tandatangan di form repair order” (sambil menunjukkan bukti tandatangan).
Perkembangan dan perkenalan
dengan budaya baru.
Hal ini turut menjadi faktor
pendorong munculnya campur kode oleh penutur, sebab terdapat banyak istilah dan
strategi penjualan dalam bidang telekomunikasi yang mempergunakan bahasa asing.
Sehingga hal ini memperngaruhi perilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh
penutur yang sebenarnya bukan merupakan bahasa asli penutur.
Contoh:
CS: “Maaf Bu, memorycardnya dibawa?”
CP: “Kan, saya tinggal disini
kemarin, Mbak”.
CS: “Ibu, di formulir servicenya dituliskan bahwa
semua kelengkapan hpnya tidak ditinggal.”
Faktor Kebahasaan (linguistic type)
Latar belakang kebahasaan
yang menyebabkan seseorang melakukan campur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini:
Kata-kata dalam bahasa asing
tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.
Penutur menggunakan kata-kata
dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonym
yaitu makna ambigu.
Keterbatasan kata-kata yang
dimiliki oleh bahasa penutur.
Akibat atau hasil yang
dikehendaki
Analisis Campur Kode Pada Interaksi Guru dan Siswa
dalam Pembelajaran
Ketika berdoa dan memberikan
sapaan hormat kepada guru, siswa mengatakan
“Oh My God, please increase
my knowledge. Good morning Mom … Selamat pagi Bu … Sugeng enjing Bu …”.
Pemilihan klausa dalam kalimat doa di atas memperlihatkan adanya campur kode.
Siswa mencampurkan berbagai ragam bahasa untuk tujuan yang sama.
Untuk membangkitkan motivasi
belajar guru mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa sehingga terjadi
campur kode. Penutur sengaja mencampur kode terhadap mitra bahasa karena
mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Salah satu tujuan yang dimaksud adalah
untuk menjaga kesantaian dalam berkomunikasi.
Contoh: Ayo ndang digarap, santai wae ora usah kesusu
Karena beberapa mitra tutur
kurang mengetahui makna kata dalam bahasa Jawa, guru mencampur bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa untuk memperkuat pemahaman siswa. Sebagai contoh:
“Salah sawijining unsur kang kalebu ana karangan
narasi yaiku papan. Papan kuwi terbagi menjadi dua yaiku papan wektu lan
panggonan. Waktu dan tempat.”
Sebagai bahasa penghubung
dalam pembelajaran guru seringkali menggunakan kata paham untuk menanyakan tingkat kepahaman siswa.
“Piye cah, sampun paham nopo dhereng?”
Jika dicermati, kata paham merupakan kata dalam bahasa
Indonesia yang disisipkan dalam kalimat ujaran guru.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kode mengacu pada suatu
sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar
belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan situasi tutur yang ada.
Alih kode adalah suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual
dan situasi relevansional di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih. Sedangkan campur
kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih
atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur dengan
kondisi ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki
fungsi dan keotomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa
tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi keotomiannya sebagai sebuah kode.
Penyebab alih kode disebutkan
antara lain (1) pembicara atau penutur; (2) pendengar atau lawan tutur; (3)
perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga; (4) perubahan dari formal ke
informal atau sebaliknya; (5) perubahan topik pembicaraan. Peristiwa campur
kode yang dilakukan masyarakat dalam berbagai peritiwa tutur terjadi karena dua
faktor utama yaitu (1) keterbatasan penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah
yang lebih popular. Selain itu ada pulang yang terbagi menjadi faktor
kebahasaan dan nonkebahasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie
Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perknalan
Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Maulidini, Ratna. 2007. Campur Kode Sebagai Strategi Komunikasi
Customer Service: Studi Kasus Nokia Care Centre Bimasakti Semarang
(Skripsi). Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro
Mutmainnah, Yulia. 2008. Variasi Alih Kode, Variasi Campur Kode dan
Faktor-Faktor Sosial Penentuanya (Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.
Rokhman, Fathur. 2013. Sosiolinguistik Suatu Pendekatan
Pembelajaran dalam Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[1] Fathur Rokhman, 2011, Sosiolinguistik
Suatu Pendekatan Pembelajaran dalam Masyarakat Multikultural, Hal.37
[2] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2010, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Hal.106
[3] Abdul Chaer dan
Leonie Agustina, 2010, Sosiolinguistik
Perkenalan Awal, Hal.108
[4] Yulia Mutmainnah, 2008, Variasi
Alih Kode, Variasi Campur Kode dan Faktor-Faktor Sosial Penentunya, Hal.114
0 komentar:
Post a Comment