Oleh Hamidulloh Ibda
Tenaga Ahli KPU Jawa Tengah, Peneliti Politik pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Munculnya kampanye hitam (black campaign) dalam dunia politik
menunjukkan “kegagalan demokrasi”. Tampaknya para politisi belum memahami
hakikat kampanye. Orang belum bisa membedakan mana kampanye dan mana menfitnah
dan menjatuhkan. Padahal hakikat kampanye itu salah satunya menguatkan bukan
meruntuhkan.
Menjelang Pemilihan Presiden 9 Juli mendatang kampanye hitam semakin
menjamur. Diperkirakan, kampanye hitam terutama di jejaring media sosial dan boadcast
SMS semakin marak menjelang Pilpres 2014 nanti. Peningkatan kampanye hitam
mulai terlihat sejak Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
mendeklarasikan pencalonan dan mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagai capres-cawapres.
Kampanye hitam yang menyerang capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto
dinilai makin keterlaluan. Kedua kubu pun lama kelamaan merasa jengah. Mereka
minta semua pihak segera menghentikan black campaign tersebut.
Permintaan tersebut disampaikan Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta,
Mahfud MD, dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Mahfud juga mengimbau agar kemenangan sejati dan perjuangan gigih serta
kejujuran dalam demokrasi tidak boleh menggunakan kampanye hitam dengan
membunuh karakter orang, menjatuhkan lawan dengan isu SARA. Mahfud
menyarankan agar kampanye dilakukan dengan santun dan jujur, berakhlak dan dengan
etika tanpa merusak masyarakat. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu juga
mengingatkan semua kader partai koalisi dan tim pemenangan lebih berhati-hati
dan waspada dengan serangan dari parpol lain.
Hal senada dikatakan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, salah satu
pendukung capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia meminta tim sukses menghentikan
kampanye hitam. Pasalnya, hal itu berpotensi menimbulkan konflik pada Pilpres
9 Juli. Dia juga meminta semua elite politik memberi keteladanan tentang
keberadaan mereka dalam semangat persatuan dan kesatuan.
Hal itu sah-sah saja dilakukan para pendukung kedua kubu
capres-cawapres. Namun sangat ironis jika hal itu hanya “pencitraan” belaka.
Semua pendukung Jokowi maupun Prabowo harus komitmen melakukan “kampanye putih”
dan beretika demi tegaknya demokrasi sehat dan bermartabat.
Kampanye Putih
Robert A. Dahl menjelaskan ada tujuh prinsip demokrasi yang baik, salah
satunya adalah pemilu jujur dan adil. Jujur dan adil di sini tidak hanya pada
saat pemilu, namun dalam masa kampanye juga dibutuhkan kejujuran, salah satunya
dengan menerapkan “kampanye putih”. Kegaduan baru bernama kampanye hitam harus
dihilangkan dalam dunia politik kita. Kampanye hitam saat ini menunjukkan
betapa keadaban politik mulai luntur bahkan hilang.
Dalam buku Demokrasi Setengah Hati (Kalam Nusantara: 2013) dijelaskan
bahwa salah satu parameter demokrasi yang baik selalu menjunjung tinggi
humanisasi politik. Artinya, politisi tidak lagi menjadi serigala (homo
homini lupus), namun dalam berkampanye harus menjadi sahabat bagi politisi
lain (homo homini socius).
Hal itu sangat berat. Apalagi, dalam hukum politik tidak ada sahabat
sejati, karena yang sejati adalah kepentingan. Namun jika para politisi masih
berkampanye tanpa menjunjung tinggi nilai humanisme, maka sama saja mereka
seperti hewan yang tak bisa “memanusiakan manusia”.
Plato pernah mengritik sistem demokrasi. Menurutnya, pelaku demokrasi
kebanyakan orang bodoh dan jahat, atau kedua-duanya. Mereka cenderung berpihak
kepada diri sendiri dan golongan. Jika orang seperti ini menjadi penguasa
republik, maka hancurlah negara ini, karena kekuasaan mereka bertumpu pada
tirani dan teror. Akankah proses demokrasi di Indonesia berjalan seperti
pendapat Plato?
Samuel H Beer (2005) menjelaskan berpolitik harus selaras sesuai etika
politik. Budaya politik harus menjunjung tinggi nilai-nilai politik, sistem
kepercayaan dan sikap emosional. Kesantunan dan sikap dewasa harus menjadi
landasan dalam berkampanye. Jika ini dilaksanakan, maka dalam bentuk apa pun,
semua tim sukses capres-cawapres bisa melakukan kampanye putih tanpa ada unsur
fitnah, adu domba dan menjelekkan lawan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Jika Pilpres 2014 ingin ideal, maka semua elemen parpol, pendukung dan
simpatisan capres-cawapres harus menata rumusan politik dan konsep kampanye.
Pasalnya, kampanye hitam sebenarnya menunjukkan integritas dan kualitas seorang
politisi rendah. Kubu pendukung Jokowi dan Prabowo harus sadar politik bahwa
kampanye hitam harus dihilangkan sekarang juga.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan kampanye hitam
dan mewujudkan Pilpres 2014 yang ideal. Pertama; KPU dan Bawaslu harus
memaksimalkan undang-undang pelarangan kampanye. Pasalnya, kampanye hitam makin
menunjukkan KPU dan Bawaslu masih “setengah hati” menjadi punggawa pemilu.
Kedua; selama ini praktik demokrasi di negeri ini belum sepenuhnya
menjadikan Pancasila sebagai acuan berkampanye. Para politisi, rata-rata belum
memiliki “dialektika politik” yang baik dan benar. Mereka merendahkan etika
politik dan meruntuhkan esensi demokrasi. Ke depan, etika politik harus menjadi
ruh kampanye yang bisa terjadi ketika ada penghormatan serius terhadap
“kemanusiaan” dan “keadilan”. Toni Andrianus Pito (2005) menjelaskan suatu
negara akan hancur jika perilaku pemerintah dan politisinya ngawur, salah
satunya melakukan kampanye hitam.
Ketiga; visi, misi, tujuan dan target kampanye harus jelas dan memberi
dampak positif pada rakyat. Pada masa kampanye Pileg 9 April lalu, banyak
aturan kampanye dilanggar parpol peserta pemilu dan para caleg. Seolah-olah
tidak ada visi dalam berpolitik. Akibatnya, kampanye pun sering dilakukan
dengan menfitnah, menghina SARA, saling menjatuhkan dan melukai hati rakyat.
Seakan-akan, tidak ada “akal sehat politik” dalam berkampanye.
Keempat; hakikat kampanye menurut M Yudhie Haryono (2014) itu suci dan
harus berpihak pada kebutuhan dasar rakyat. Jangan sampai para politisi merusak
esensi kampanye dengan menyebar virus-virus kotor lewat media sosial maupun
baliho-baliho di jalanan. Bukankah kampanye yang baik dan benar menunjukkan
makin dewasa berpolitik?
Kelima; KPU dan Bawaslu harus bersinergi dan mempertegas pemberian
sanksi terhadap siapa saja yang terbukti melakukan kampanye hitam. Jika
terbukti salah satu capres/cawapres mejadi dalang atas kampanye hitam, maka KPU
harus mencopotnya dari daftar capres/cawapres.
Para pendukung capres-cawapres dari kubu Jokowi dan Prabowo juga harus
memahami bahwa negara ini punya aturan jelas tentang kampanye. Jika dilanggar,
maka sebenarnya mereka khianat pada konstitusi dan Pancasila. Kampanye santun
dan menjunjung etika politik tidak hanya bermanfaat pada capres-cawapres, namun
juga menjadi “wahana edukasi politik” bagi konstituen.
Masyarakat saat ini sudah mengerti putih dan hitamnya, bibit, bebet dan
bobot capres-cawapres yang ada. Jadi, tanpa adanya kampanye hitam pun, rakyat
sudah tahu mana yang harus mereka pilih untuk dijadikan pemimpin Indonesia lima
tahun ke depan. Jika bisa melakukan kampanye putih, bersih, jujur, beretika dan
mendidik rakyat, mengapa harus melakukan kampanye hitam?
Tulisan ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, 4 Juni 2014
Menanti Kampanye Putih
ReplyDelete