Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Pendidikan Dasar pada Program Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang
Dimuat di Koran Barometer, Senin 16 Juni 2014
Ujian Nasional sebagai Komponen SNMPTN yang mendeskripsikan
kebimbangan dan keterpaksaan sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) atas
kebijakan tersebut menarik dikaji ulang (Sinar Harapan, 26/5/2014). Pasalnya,
masih paradoks, ada kerancauan dan polemik antara Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) dan beberapa PTN.
Beberapa PTN berasumsi parameter masuk PTN sangat beda
dengan UN. Maka sangat tidak logis jika UN diintegrasikan menjadi syarat masuk
PTN. Dalam kaidah evaluasi pendidikan, pengukuran kemampuan pelajar sebenarnya
tidak bisa dicampur-campur. Artinya, UN dan SNMPTN adalah instrumen untuk
menjajaki kemampuan pelajar yang berbeda.
UN sebagai syarat kelulusan sekolah, sedangkan SNMPTN
sebagai syarat masuk PTN. Maka, tak heran jika PTN bimbang dan terpaksa atas
kebijakan Kemdikbud tersebut. Hal itu menunjukkan “blunder” dan cacat
substansial kebijakan tersebut karena tidak semua PTN mengamininya. Secara
struktual, SMA di bawah naungan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen). Sedangkan PTN di bawah naungan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti).
Jadi, sistemnya beda, struktur akademik berbeda, evaluasinya juga berbeda.
Maka, UN sesuai garis struktural tidak cocok jika diintegrasikan dengan SNMPTN.
Blunder
Dalam kacamata evaluasi pendidikan, secara teknis dan
hakikat, UN dan SNMPTN sangat berbeda. Maka tidak heran jika PTN enggan
menggunakan hasil UN sebagai syarat masuk PTN. Seperti yang sudah diungkapkan
Undip dan Unnes yang menyebut parameter masuk perguruan tinggi dan UN berbeda,
sehingga menyulitkan integrasi UN ke dalam SNMPTN. UN merupakan instrumen
evaluasi untuk mengetahui keberhasilan siswa selama belajar di sekolah.
Sementara ujian masuk perguruan tinggi sifatnya prediktif: untuk mengetahui
kemampuan siswa apakah linier dengan pilihan jurusan di PTN (Kompas,
26/5/2014).
Di sisi lain, kasus-kasus kecurangan UN juga membuat PTN
enggan menerapkan kebijakan ini. Apalagi, kecurangan UN sudah dilakukan
“berjamaah” dan secara terbuka. Terbukti dengan banyak pemberitaan di media
massa yang tiap tahun selalu melansir kecurangan UN di berbagai daerah. Ini
sangat logis sebagai salah satu landasan PTN enggan menerapkan kebijakan UN
sebagai komponen SNMPTN.
Selama ini kebijakan Kemdikbud seakan-akan mengeluarkan
sistem dan kebijakan yang selalu bertentangan dengan hakikat nilai dan
kenyataan. Seperti halnya kurikulum 2013 yang sampai saat ini masih setengah
hati dan menjadi “beban berat” bagi guru. Jika UN-SNMPTN dipaksa
diintegrasikan, maka dipastikan juga “setengah matang” tanpa ada diskusi, pengkajian
lebih dalam lagi. Tugas berat Kemdikbud salah satunya adalah melakukan
rasionalisasi kepada seluruh PTN agar bisa diterima dengan akal sehat.
Pasalnya, selama ini kebijakan Kemdikbud hanya formalitas, berbasis proyek dan
tidak sampai akar.
Mengkaji Ulang
Kebijakan ini perlu dikaji ulang. Memang agak berat dan
masalah ini terdiri dari dua, yaitu UN dan SNMPTN. Jadi sangat tidak bijak jika
Kemdikbud memaksa PTN untuk menerima matang kebijakan tersebut tanpa ada
kesempatan “urun rembuk” bagi PTN. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama; sebaiknya pemerintah terutama Kemdikbud memperbaiki sistem UN dan
menyeleasikan kecurangan-kecurangan UN yang selama ini mewarnai dunia
pendidikan. Jika tidak, maka dipastikan tidak ada perkembangan pendidikan. Bahkan,
seolah-olah kebijakan Kemdikbud “kejar tayang” tanpa adanya diskusi dan
pengkajian mendalam.
Kedua; kredibilitas UN dan SNMPTN juga beda. Jika UN masih
rawan manipulasi dan rentan subjektivitas dari sekolah, maka SNMPTN sangat
murni objektif dari hasil tim penyeleksi PTN bersangkutan. Dengan basis
multiple intelligence research, kita yakin SNMPTN menjadi model yang kredibel,
reliabel, dan akuntabel untuk mendapatkan calon-calon mahasiswa berkualitas
secara akademik dan berkepribadian (SM, 26/5/2014).
Ketiga; konsep UN dan SNMPTN sangat beda. Jadi, jika
dicampur, maka hasilnya pasti tidak maksimal. Padahal, setelah SNMPTN,
rata-rata untuk memantabkan mahasiswa baru, kampus selalu menggelar matrikulasi
sebagai bekal untuk terjun ke dunia kampus. Maka, logika integrasi UN-SNMPTN
sangat tidak cocok, karena pelajar yang akan masuk dunia kampus harus
digembleng berkali-kali, tidak cukup lewat SNMPTN saja.
Keempat; evaluasi berwajah UN sangat berbeda dengan SNMPTN.
Prof Dr Suparmin Dandan Supratman (2014) menjelaskan evaluasi merupakan proses
penilaian atau sistem penilaian. Jika UN sebagai evaluasi selama tiga tahun di
SMA/MA, maka SNMPTN menjadi penyaringan, penjajakan kemampuan intelektual calon
mahasiswa sebelum berselancar di dunia akademik.
Kelima; untuk menentukan pandai, pintar, bodohnya calon
mahasiswa baru, maka perlu dites yang isinya tes potensi akademik, tes bahasa
asing dan tes kejuruan sesuai program studi yang diambil. Karena itu, sangat
tidak logis jika UN diintegrasikan SNMPTN. Karena dunia SMA sangat berbeda
dengan dunia akademik kampus. SNMPTN juga perlu dilakukan tanpa adanya
integrasi. Mengapa perlu ada SNMPTN? Agar ada perubahan yang meliputi mutu dan
kualitas.
Keenam; kebijakan integrasi UN-SNMPTN juga akan menjadi
masalah bagi lulusan SMA kejar paket C. Secara eksplisit, kebijakan ini justru
“menjegal” para lulusan SMA paket C yang ingin melanjutkan pendidikannya di
PTN. Integrasi UN-SNMPTN juga tidak
sesuai Permendikbud No. 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
di pasal I poin C. Artinya, SKL di tingkat SMA dan standar kualitas masuk PTN
itu sangat berbeda. Jadi, integrasi UN-SNMPTN sangat tidak logis dan harus
dikaji ulang.
Ketujuh; Kemdikbud, PTN, Dinas Pendidikan di semua wilayah
dan segenap elemen pendidikan harus duduk bersama mengkaji ulang kebijakan ini.
Pasalnya, jika kebijakan ini dipaksa tanpa adanya sinergi dari berbagai pihak,
maka sama saja Kemdikbud “bunuh diri”. Efeknya tentu berdampak sistemik yang
akhirnya bukan memajukan pendidikan, namun justru memperlambat kemajuan
pendidikan di Indonesia. Kegagalan pendidikan, salah satunya dari sistem
evaluasi yang salah. Jika UN dan SNMPTN salah dan diterapkan, maka hal itu
memacu kemunduruan bahkan kehancuran pendidikan.
0 komentar:
Post a Comment