KKN dan Kegagapan Mahasiswa
Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan kewajiban
bagi mahasiswa program sarjana. Pasalnya, program ini menjadi mata kuliah wajib
di semua perguruan tinggi. Tujuan program ini adalah memberikan pengalaman
nyata mahasiswa untuk belajar hidup dengan masyarakat.
Pada tahun 2012, IAIN Walisongo Semarang mengadakan KKN ke-58 di
Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Sebanyak
862 mahasiswa diterjunkan untuk menjalani KKN di Grobogan sejak tanggal 1 Mei 2012, dan akan berakhir 15 Juni mendatang. Mahasiswa
tersebut di tempatkan di 66 desa/posko yang tersebar di 4 kecamatan, yaitu
Kecamatan Tanggungharjo (9 Desa), Penawangan (20 Desa), Godong (28 Desa), dan
Klambu (9 Desa). Selain itu, untuk mengawal kegiatan, mereka juga didampingi 20
dosen pembimbing lapangan.
Kegagapan
Fakta di lapangan, banyak orang beranggapan
bahwa KKN tidak efektif dan tak tepat sasaran. Menurut mereka, kegiatan ini
hanya menjadi formalitas memenuhi tugas akademik saja, bukan untuk pengabdian pada
masyarakat.
Menurut pengalaman penulis dalam menjalani
KKN, banyak sekali mahasiswa yang “gagap” terhadap problem sosial. Tak jarang
dari mereka mengalami kebingungan ketika bersosialisasi dengan masyarakat. Selain
gagap, mereka juga miskin program dan gerakan sosial. Banyak program mereka
yang tak tepat sasaran. Bahkan, kenyataan di lapangan, mereka hanya tidur-tiduran
di posko dan enggan guyub dengan masyarakat.
Hal inilah yang membuat masyarakat beranggapan bahwa KKN tak berguna. Selain
menetaskan image buruk, hal ini juga
merendahkan kampus yang bersangkutan.
Padahal, penduduk desa sangat membutuhkan
peran mahasiswa. Banyak warga desa berkata, “bola-bali
KKN yo koyo ngono, ora ono perubahan.” Maka, dengan melihat realita itu,
sejak dini harus ada persiapan matang sebelum sebelum terjun di masyarakat, karena
kehidupan desa sangat berbeda dengan di kampus.
Minimnya Bekal
Sebenarnya, IAIN Walisongo sudah memberi pembekalan kepada
mahasiswa. Pertama, pembekalan dari Lembaga
Pengabdian Masyarakat (LPM) tentang makna, tujuan, dan hakikat KKN. Kedua, pembekalan dari Bupati Grobogan dan
Camat tujuan KKN tentang pengenalan wilayah desa, keadaan masyarakat, dan
sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan observasi awal yang dilakukan mahasiswa
di desa tujuan KKN.
Meskipun sudah mengikuti pembekalan, namun kenyataan di lapangan mahasiswa
masih gagap dan menemui lautan problem. Hal ini tak lain adalah akibat minimnya
persiapan dan bekal mahasiswa. Misalnya, pengetahuan problem desa yang kurang, rasa
elitisme mahasiswa yang membuat mereka enggan guyub, program yang tidak efektif, dan sebagainya.
Apalagi, sejak tahun 2011 IAIN Walisongo sudah menerapkan metode Participatory Action Research (PAR).
Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkolaborasikan
unsur penelitian dan pengabdian masyarakat, dan harus fokus terhadap
pemberdayaan keagamaan dan potensi lokal. Karena itu, sejak dini mahasiswa
harus mematangkan bekal. Sehingga, ketika di masyarakat, mahasiswa mampu menciptakan
kreasi dan inovasi di lokasi KKN.
Diakui atau tidak, waktu KKN 45 hari sangatlah singkat. Bayangkan
saja, dalam waktu sesingkat itu mereka harus menyelesaikan banyak hal, dari silaturrahmi dan sosialisasi ke warga desa, analisis
sosial, penyusunan serta pelaksanaan program kerja, dan sebagainya. Selain itu,
mereka juga dituntut kampus menyelesaikan laporan pertanggung jawaban sebelum
pelaksanaan KKN selesai. Maka, tak heran jika mereka harus “kerja lembur” dalam
menjalankan tugas. Sehingga, hasil dan tujuan KKN tak bisa maksimal dan tepat
sasaran.
Persiapan Matang
Selama menjalani KKN, idealnya mahasiswa
mampu merealisasikan amanat Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, karena gagap, fakta di
lapangan mereka tak mampu merealisasikan amanat tersebut. Akibatnya, banyak
masyarakat memandang remeh mahasiswa saat menjalani KKN di desanya.
Maka dari itu, untuk menghilangkan
kegagapan tersebut, solusinya adalah mematangkan bekal dalam bentuk apa pun.
Sejak dini, mahasiswa harus mempersiakan apa saja yang menjadi kebutuhan KKN.
Tak hanya kebutuhan materi dan teori, namun persiapan fisik dan mental sangat
membantu mahasiswa mensukseskan KKN.
Perguruan tinggi sebagai penyelenggara KKN
harus segera mengambil langkah efektif agar tujuan program ini dapat terlaksana.
Kampus harus meningkatkan pembekalan jauh-jauh hari. Bahkan, jika perlu
pembekalan itu dilaksanakan selama satu semester. Artinya, mahasiswa sebelum
KKN benar-benar matang bekalnya. Dengan demikian, secara otomatis mereka sudah
siap diterjunkan di masyarakat.
Selama ini, pembekalan sering diremehkan mahasiswa
dan pihak kampus. Padahal, pembekalan sangat membantu mahasiswa saat terjun di
desa. Sehingga, yang terjadi di lapangan mahasiswa hanya meniru dan melanjutkan
program KKN sebelum mereka. Jadi, mematangkan bekal merupakan keniscayaan bagi
mahasiswa. Wallahu a’lam bissawab.
0 komentar:
Post a Comment