Oleh Hamidulloh Ibda
Peneliti Pendidikan Dasar Program
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Valensi profesionalisme guru saat
ini tidak hanya diukur dari standardisasi akademik saja. Hal itu terwujud
ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai
syarat menjadi guru profesional setelah calon guru lulus sarjana pendidikan.
Namun, PPG menjadi dilema dan bias bagi kaum pendidikan. PPG sebenarnya tak
hanya menjadi dilema bagi sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN), namun
juga menjadi kebijakan yang membuat “galau” para guru dan calon guru.
Memang benar, guru saat ini kehidupannya bergantung pada
“supleman-suplemen”. Sehingga, mereka tidak mampu bersinergi dengan keluarga,
masyarakat dan alam untuk menyatukan kekuatan menuju gunjangan maha dahsyat dan
menghadirkan kemajuan pendidikan. Inilah salah satu alasan filosofis pemerintah
mengeluarkan kebijakan PPG.
Sejumlah PTN tak lama ini memprotes PPG. Bukankah sejak masih berupa
draf akademis pada 2007, rancangan PPG menuai kontroversi di tataran konsep dan
praksis? Perbedaan pandangan mengemuka antara tim ad hoc dan sejumlah
pakar dan tokoh pendidikan. Pendekatan akademik dalam rancangan itu kurang
memadai dan terkesan serampangan. Kerancuan dan tumpang tindih pun tak
terelakkan (SM, 27/6/2014).
Awalnya, program ini lahir dan menjadi metamorfosis dari Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang mewajibkan guru memiliki
kualifikasi akademis, kompetensi dan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademis
diperoleh melalui jalur pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat.
Sedangkan sertifikat pendidik melalui pendidikan profesi sebagai bukti formal
profesional. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud),
pada 2016 setiap guru wajib menempuh PPG.
Munculnya PPG dinilai rancu banyak kalangan akademisi. Pasalnya, sistem dan kebijakan PPG tidak teratur; campur aduk dan kacau. Ada alasan logis dan rasional yang dijadikan landasan menolak program tersebut. Pertama; PPG seolah-olah mendiskreditkan “program sarjana pendidikan” di Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Jadi, setelah menjadi sarjana pendidikan (SPd), calon guru masih harus mengikuti PPG untuk menjadi guru profesional dan bergelar “Gr”.
Kedua; PPG juga menjadi “blunder” ketika disandingkan dengan substansi Akta IV (akta mengajar) yang sudah didapat ketika calon guru lulus LPTK dan bergelar “SPd”. Substansi PPG tidak beda tipis dengan Akta IV. Lalu, apa guna PPG jika sama seperti Akta IV? Pemerintah seolah-olah “tidak kreatif” membuat kebijakan.
Ketiga; jika analisis dan dinilai secara objektif, rasional dan ilmiah, PPG mestinya mensyaratkan sarjana berkualifikasi akademik, namun program ini mengabaikan latar belakang calon guru: sarjana nonpendidikan bisa menjadi guru. Jika demikian, PPG justru “khianat pada hakikat nilai dan kenyataan”.
Keempat; PPG sebagai program baru yang instan dan praktis, bisa menggeser fungsi, peran dan tujuan LPTK. Pasalnya, calon guru lulusan LPTK tidak otomatis bisa menjadi guru. Pemerintah berdalih, program ini membangun kesetaraan gelar akademis antara sarjana pendidikan dan sarjana ilmu murni.
Awalnya, PPG dinilai rancu karena beda tafsir antara Pendidikan Guru Konsekutif yang akademik, dan Pendidikan Profesi Guru yang internship. Lazimnya, seperti dokter, akuntan, atau lawyer, pendidikan profesi dilakukan secara internship setelah seseorang melalui pendidikan akademik berbasis kampus. Pendidikan profesi merupakan praktik kerja nyata menerapkan kemampuan akademik. Seluruh proses melewati PPG.
Maka dari itu, PPG harus diruwat, didebat, dirunding, didiskusikan untuk kepentingan bersama. Jangan sampai PPG justru menjadi “program plagiat” pemerintah yang hanya berganti baju, formalistik simbolis dan intervalnya tidak jelas. Karena pada dasarnya, pendidikan menjadi mercusuar kehidupan yang menggeliatkan harapan.
Meruwat PPG
Dalam perspektif ini, sehebat-hebatnya guru, jika belum ikut PPG, maka masih dianggap “guru abal-abal”. Inilah kelemahan PPG. Pemerintah justru mengajarkan para guru untuk “menyembah suplemen-suplemen dan gelar”. PPG bagi Saya, hanya sekadar salah satu cara meningkatkan profesionalitas guru. Namun hal itu bukan satu-satunya cara. Masih banyak cara lain.
Melihat Permendikbud No 87 Tahun 2013 tentang Program PPG Prajabatan mengamanatkan bagi seluruh calon guru untuk mengikuti program itu. Tujuannya untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran. Ini terkesan sangat formalitas saja.
Ada beberapa blueprint dan formula untuk meruwat PPG agar bisa tercapai kekuatan transenden dalam jiwa guru. Pertama; PPG bertujuan untuk menghasilkan para guru yang yang berkualitas. Maka pemerintah harus merancang dan mempersiapkan secara matang terkait dengan materi dan pembelajaran di PPG. Salah satu yang terpenting adalah menyiapkan strategi pembelajaran yang merangsang pengembangan guru. Guru merupakan profesi. Karena itu, dibutuhkan pembelajaran yang khusus untuk menghasilkan guru-guru yang profesional. Sistem dan pola PPG juga harus beda dengan di LPTK, jika sama, maka hal itu sangat percuma.
Kedua; sesuai Permendikbud, PPG dilaksanakan oleh LPTK terakreditasi dan ditunjuk pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud. Maka, jangan sampai ada LPTK “abal-abal” menyelenggarakan PPG. LPTK penyelenggara PPG juga harus terakreditasi dan harus ada kontrol mutu.
Ketiga; bagi calon guru, tak cukup jika memiliki 4 kompetensi pendidik (pedagogi, kepribadian, sosial dan profesional) dan 8 keterampilan mengajar. Namun, menurut Prof Dr Suparmin Dandan Supratman (2014), guru harus bisa melaksanakan fungsi ngrancang (perancang), mulang (mendidik) dan nimbang (menimbang).
Keempat; guru adalah seorang prajurit, perwira yang gagah berani melawan kebodohan. Lalu, bagaimana mau melawan kebodohan, jika guru tersebut juga bodoh. Maka, guru sejati adalah guru yang selalu jembar hatinya dan selalu mengalah untuk belajar tiap saat. Guru yang baik juga selalu menciptakan keseimbangan dan harmoni kehidupan bagi para siswanya.
Kelima; guru sejati menurut Emha Ainun Nadjib (2013) adalah guru yang bisa membuka galaksi-galaksi ilmu. Ia memiliki transendensi dan kekuatan di luar segala kesanggupan manusia biasa. Ia menjadi manusia utama. Irama sepatu dan gaya mendidiknya selalu dinanti para pelajar. Ia cerdas, baik, tidak suka korupsi, kaya, agak unik, kreatif dan inovatif.
Kualitas guru lama-lama makin terkikis zaman. Maka, PPG sebagai salah satu alternatif mencetak guru profesional harus dikaji ulang, dirunding, didiskusikan. Jangan sampai PPG justru menjadi racun dan menggeliatkan kemunduran. Jika ingin membuat perubahan dan revolusi pendidikan, maka pemerintah harus melakukan perubahan mendasar, sejati dan hakiki.
PPG itu baik dan tidak buruk. Tapi belum terlalu penting dan belum ada substansi baru yang ditonjolkan. PPG juga belum memenuhi syarat kebangkitan. Karena bangsa kita bukan bangsa katak dan cacing. Bangsa kita adalah bangsa garuda yang bangkitnya besar daripada burung emprit. Jika berbicara guru profesional, bukankah itu sudah masalah usang?
Dimuat di Koran Pagi Wawasan, Rabu 2 Juli 2014.
Foto: HI Study Centre.
Pengertian PPG
ReplyDeletePendidikan Profesi Guru
ReplyDelete