Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur Eksekutif
Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng,
Peneliti Senior
Centre for Democracy and Islamic Studies (CDIS) Semarang
Setelah Pilpres 2014 selesai, semua
elemen politik harus melakukan halal bi halal politik sebagai sarana
mengokohkan dinding persaudaraan. Momentum lebaran tahun ini memang bertepatan
dengan tahun politik. Pasalnya, saat lebaran para politisi harus melakukan
agenda pendinginan dan menetralisasi suhu politik pascapilpres.
Ini menjadi momentum menarik. Jika
politisi tak peka dan tak melakukan halal bi halal
politik, dikhawatirkan lima
tahun ke depan masih ada luka politik membekas di hati lawan. Maka dari itu,
semua politisi sangat cerdas jika mampu memanfaatkan momentum lebaran tahun ini
untuk menggeliatkan solidaritas dan persaudaraan politik.
Pada awalnya, tradisi halal bi halal dilakukan dengan
tujuan “bermaafan” antara umat Islam setiap momen Idul Fitri. Banyak di antara
lembaga, institusi, dan birokrasi yang menggelar tradisi ini. Selain praktis
karena tak usah berkunjung ke rumah saudara satu-persatu, kegiatan ini juga menghemat
waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Karena itu, setiap momentum Idul Fitri, sering
digelar halal bi halal untuk mempererat tali silaturrahmi dan persaudaraan.
Entah sejak kapan tradisi ini mulai dilakukan. Namun,
yang jelas tradisi ini kemudian ditiru organisasi-organisasi Islam hingga para
pejabat, dengan istilah halal bi halal. Selanjutnya, instansi-instansi
pemerintah atau swasta juga menggelar tradisi serupa,yang pesertanya meliputi
warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. Sampai hari ini, tradisi ini
berfungsi sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat.
Adanya acara saling memaafkan itu diharapkan hubungan
antara atasan dan bawahan atau antara kepala daerah dan masyarakat menjadi
lebih akrab dan penuh kekeluargaan. Halal bi halal dipercaya memiliki efek
positif bagi kerukunan dan keakraban masyarakat, maka tradisi ini perlu
dilestarikan dan dikembangkan. Apalagi, akhir-akhir ini di negeri kita sering
terjadi konflik sosial yang disebabkan pertentangan kepentingan, dari fitnah,
penyebaran isu SARA, dan sebagainya. Karena itu, tradisi ini sangat cocok
dilakukan sebagai sarana memupuk perdamaian.
Makna Halal bi Halal
Halal bi halal merupakan istilah yang tersusun dari
tiga kata berbahasa Arab, halal, bi, halal.
Kata halal diartikan dalam bahasa Indonesia berarti “boleh”. Jadi, halal bi halal
secara harfiah berarti “boleh dengan boleh” atau “ridho dengan ridho”. Istilah
halal bi halal tak dikenal dalam khazanah Bahasa Arab, bahkan tak diajarkan
Rasulullah SAW dan para sahabat.
Istilah dan tradisi halal bi halal menurut ensiklopedi
Islam adalah asli dari Indonesia yang tidak diketahui siapa pencetusnya. Data
ensiklopedi Islam memperkirakan, tradisi ini mulai dilakukan dalam bentuk
upacara sekitar akhir tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah 1950. Kegiatan
ini sebenarnya tak berbeda dengan silaturahmi biasa. Yang membedakan, dalam
halal bi halal ada kewajiban saling bermaafan dan bersalaman sebagai wujud
memupuk tali silaturrahmi dan perdamaian.
Pada dasarnya, halal bi halal diselenggarakan sebagai
kegiatan silaturahmi. Tentu saja banyak manfaat dan pahala yang akan
diperoleh. Bahkan, Rasulullah Saw menyatakan,
dengan bersilaturahmi, maka manusia akan dimurahkan jalan rezeki dan
dipanjangkan umurnya. Maka, tidak ada salahnya jika umat Islam mengabadikan
tradisi ini. Hampir sebagian besar ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah
mendukung tradisi halal bi halal. Bahkan dalam praktiknya, biasanya
penyelenggara halal bi halal berasal dari kalangan atas, kepala daerah,
petinggi parpol hingga instansi dan ormas Islam.
Tak hanya ormas, banyak momentum
lebaran dimanfaatkan para politisi, parpol dan semua pejabat untuk melakukan
halal bi halal politik sebagai wahana mendinginkan suhu politik yang tak lama
ini memanaskan jiwa dan raga. Maka dari itu, lebaran tahun ini sangat beda dari
lebaran sebelumnya. Sudah seharusnya semua elemen demokrasi melakukan halal bi
halal politik sebagai alat memperindah tali solidaritas politik.
Mempererat Tali Silaturrahmi
Kebiasaan halal bi halal yang
dilakukan pascalebaran merupakan momen yang sangat baik untuk meningkatkan atau
mempererat tali silaturrahmi umat muslim dan nonmuslim, karena selama ini
banyak umat nonmuslim mengikuti halal bi halal. Hal ini
disebabkan keterbatasan manusia untuk mengunjungi setiap orang.
Kebiasaan yang dilakukan dalam satu tahun sekali ini
mengandung banyak makna bagi masyarakat Indonesia. Suasana haru bercampur suka
tergambar dari setiap wajah umat muslim Indonesia saat mengikuti kegiatan halal
bi halal. Bagaimana tidak, orang-orang yang sulit atau jarang ditemui dapat
dijumpai di tempat itu. Selain itu, dapat mengenal orang-orang baru saat
pelaksanaan halal bi halal dilakukan. Maka dari itu, sudah menjadi keharusan umat
Islam untuk melestarikan tradisi ini. Membenci halal bi halal, berarti ia juga
membenci silaturrahmi, persaudaraan, dan perdamaian, karena tujuan tradisi ini
adalah untuk menciptakan perdamaian.
Halal bi halal mampu mengumpulkan banyak orang dalam
satu tempat. Dengan begitu, silaturrahmi dapat berjalan efektif dan mampu
menghemat waktu, pikiran, dan biaya.
Semangat baru akan sangat terasa saat
pelaksanaan halal bi halal, dan itu diharapkan dapat berdampak dalam kehidupan
sosial masyarakat. Jadi, hal-hal negatif dapat dihilangkan dari kehidupan.
Halal bi halal berarti bertemunya dua insan dalam
keadaan saling merelakan untuk saling memaafkan terhadap berbagai kekhilafan
dan kesalahan lahir dan batin yang pernah diperbuat satu sama lain. Jadi, bukan
termasuk halal bihalal ketika ada di antara kaum muslim yang secara lisan
mengaku telah saling memaafkan, tapi di hatinya masih terdapat “karang benci” dan
kedengkian yang mengganjal.
Umat Islam
harus melestarikan tradisi ini sebagai wujud kepeduliaan sosial dan untuk
mempererat tali silaturrahmi. Maka dari itu, melestarikan tradisi ini merupakan
keniscayaan bagi umat Islam yang cinta perdamaian. Akhirnya, selamat hari
raya Idul Fitri, mohon maaf lahir batin.
Tulisan
ini dimuat di Koran Pagi Wawasan, Kamis 7 Agustus 2014
0 komentar:
Post a Comment