Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Kemerdekaan dan kemandirian bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa
dipisahkan. Namun sampai kini, banyak pengamat mengatakan Indonesia belum
merdeka seutuhnya dan mandiri sepenuhnya dari sisi ideologi politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (Ipoleksosbudhankam). Hal ini menjadi
tantangan berat bagi rezim mendatang.
Kemandirian selalu dikaitkan dengan sikap dan kondisi kemerdekaan,
kebebasan, kedaulatan, otonomi, dan independensi menentukan nasib sendiri.
M Yudhie Haryono (2014: 2) menjelaskan ada tiga tipe negara: mandiri,
bertahan, dan bergantung. Negara mandiri memiliki beberapa asas seperti
kekeluargaan, gotong-royong, persatuan, demokratis, menentukan, menolak
intervensi, bertanggung jawab, antikekerasan, saling menghormati, dan cinta
damai. Dari asas ini, tampaknya Indonesia belum bisa dikatakan sebagai
“mandiri” dan merdeka 100 persen.
Tahun 2014-2019 kurun menentukan Indonesia akan menjadi negara mandiri,
bertahan atau bergantung pada negara lain. Indonesia sudah memiliki harapan
baru pada presiden dan wakil presiden terpilih. Pemimpin nasional ini akan
menjadi pionir mewujudkan Indonesia mandiri dan merdeka. Intinya, inilah era
kemerdekaan dan kemandirian, bukan ketertinggalan apalagi kehancuran.
Pada 17 Agustus 1964, Bung Karno berpidato dengan judul “Tahun Vivere
Pericoloso” (hidup dalam suasana penuh bahaya). Dalam pidato tersebut,
diungkapkan tiga paradigma besar yang bisa membangkitkan Indonesia menjadi
bangsa besar, baik secara politik maupun ekonomi, di antaranya trisakti:
berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam
budaya. Namun untuk menuju “era kemandirian” trisakti saja tidak cukup. Ini
harus dijadikan lima (pancasakti), maka menjadi bersubstansi dalam agama dan
bermartabat di pergaulan internasional.
Untuk menjadi negara mandiri, Indonesia harus bebas dari ancaman,
gangguan, hambatan, dan tantangan. Selain itu, indikator kemandirian bangsa
juga mampu menghancurkan lima musuh: kemiskinan, kebodohan, kekerasan,
pengangguran, dan kesenjangan.
Indonesia menjadi negara mandiri seutuhnya, maka akan merdeka
sepenuhnya. Tak ada negara merdeka, tanpa kemandirian. Tak ada bangsa mandiri,
tanpa kemerdekaan. Inti kemandirian adalah kemerdekaan dan esensi kemerdekaan
ialah kemandirian.
Perjuangan
Menjadi negara mandiri dan merdeka seutuhnya butuh perjuangan. Apalagi,
saat ini Indonesia masih dalam keadaan “darurat nasional.” Mengapa demikian?
Ada beberapa indikator, di antaranya neoliberalisme yang sampai hari ini
mengurangi peran bangsa dengan memperbesar kekuatan kapital menjadi penentu
kebijakan (daulat modal). Paketnya adalah globalisasi, perdagangan bebas yang
antinasionalisme, antisubsidi, antiproteksi, proprivatisasi, proutang,
proefisiensi.
Kemudian, neokolonialisme para pejabat. Mereka memperkaya diri,
berorientasi pada kepuasan, hedonis, dan kejayaan individu bersama keluarga
saat berkuasa. Ada pula neokompenisme yang meneguhkan mentalitas penjajah
dengan memanfaatkan birokrasi sebagai alat penghambat kemajuan warga. Kultur
kartel-oligarkisme diabadikan untuk merampok kekuasaan dengan segala cara untuk
melanggengkannya. Neofasisme yang menganggap suku atau golongannya paling
hebat. Faham ini juga menghancurkan multikulturalisme dan pluralisme.
Yang tak kalah bahaya adalah neofundamentalisme, ditandai banyaknya
aliran dan ormas atas nama agama. Mereka radikal dan suka merusak. Semua ini
berdampak pada negara karena melahirkan ketidakmandirian nasional. Ini antara
lain ditandai defisit politik berupa “kehancuran demokrasi” yang menuhankan modal
dan prosedur. Bahkan, sistem “politik Pancasila” hancur dan ditinggalkan.
Kemudian, defisit ekonomi berupa “kehancuran keadilan” yang menuhankan
konglomerasi dan korporasi asing. Ada pula defisit kebudayaan berupa
“kehancuran karakter” yang mengagungkan mental kolonial dan penghambaan. Selain
itu, banyak pula faktor ketidakmandirian bangsa. Faktor internal seperti
kelemahan etos, kultur buruk, struktur antikeadilan dan karakter bangsa yang
antikonstitusi. Sementara itu, faktor ekskternal seperti adanya lembaga asing
yang menjajah dan suburnya imperialisme.
Secara psikologis, hilir dari tujuan bernegara adalah kebahagiaan.
Namun, tak ada kebahagiaan tanpa kemerdekaan. Tak ada kemerdekaan tanpa
kebebasan, dan tak ada kebebasan tanpa kemandirian. Tak ada kemandirian tanpa
ketahanan. Tak ada ketahanan tanpa konstitusi.
Pemerintahan yang mandiri berkewajiban melahirkan politik ekonomi adil,
menyejahterakan dan membahagiakan seluruh warga. Dalam konteks ini, kebahagiaan
bangsa hanya bisa didekati dengan menjalankan politik ekonomi konstitusi:
pelaksanaan demokrasi politik yang dikerjakan bersama dengan demokrasi ekonomi.
Intinya, tujuan politik ekonomi menjamin pemerataan keadilan dan kesejahteraan
yang dirasakan semua. Kemandirian ekonomi tak akan sekadar menjadi teori dan
mimpi.
IJ Kasimo Hendrowahyono (1948: 5) pernah menyebut, rebutlah kemerdekaan
dengan pengorbanan tanpa pamrih. Gunakan baginsel atau prinsip teguh untuk
melaksanakan salus populi suprema lex est (kepentingan rakyatlah sebagai hukum
tertinggi). Di sini, negara Pancasila harus menjadi panitia kesejahteraan
rakyat, pelayan warga negara sekaligus pelindungnya. Panitia keadilan semesta
dan kebahagiaan seluruh warga.
Subiakto Tjakrawedaja (2006) menjelaskan kemandirian nasional akan
terwujud ketika negara mampu membangun, menghidupkan, dan mentradisikan trias
economicus (koperasi, BUMN, dan swasta). Selain itu, ada beberapa langkah
revolusioner untuk menjadikan Indonesia sebagai negara mandiri, antara lain
undang-undang harus melindungi.
Mendorong pemerataan agar berdampak pada pertumbuhan. Perlu ada
kebijakan jaminan sosial bagi seluruh rakyat terkait sandang, pangan, papan,
pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan. Harapannya, ke depan Indonesia menjadi
negara besar yang memimpin dunia. Republik ini mungkin dihancurkan oleh sedikit
orang serakah. Akan tetapi, Indonesia pun cukup diperbaiki oleh sedikit orang
mandiri yang memiliki misi memerdekakan negara 100 persen.
-Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta 14 Agustus 2014
Memaknai Kemerdekaan Hamidulloh Ibda
ReplyDelete