Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Sunday, 31 August 2014

Revolusi Mental Guru



Oleh Hamidulloh Ibda

Pendiri Smarta School Semarang, Peneliti Pendidikan Dasar pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang

Tulisan ini dimuat Koran Muria, 1 September 2014



Mental guru maupun calon guru di negeri ini harus direvolusi. Itu menjadi penting ketika kita melihat realita pendidikan saat ini. Jika dikaitkan dengan konsep revolusi mental yang didentumkan Jokowi, maka konsep revolusi mental menjadi salah satu formula mencetak guru berkualitas dan menggeliatkan harapan bangsa.

Mengapa harus mental guru? Karena guru menjadi poros utama memajukan pendidikan Indonesia. Dalam rumus internal Islam, guru menjadi penentu masa depan bangsa. Maka dari itu, revolusi mental guru sangat urgen dilakukan. Hal itu tentu berkaitan dengan karakter, moral, cara berpikir dan logika bertindak guru.


Seperti kita ketahui, masyarakat kita saat ini cenderung malas dan kurang disiplin. Dalam kasus libur Lebaran seperti kemarin, misalnya, tak hanya PNS, guru, pegawai swasta pun banyak yang suka membolos meski masa cutinya telah berakhir. Mereka kerap kali menuntut hak tanpa sadar akan fungsi dan tanggung jawabnya.

Oleh karena itu, revolusi mental yang dicanangkan Jokowi harus dimulai dari diri sendiri, terutama bagi pendidik di negeri ini. Sebab, guru menjadi contoh bagi semua pelajar di negeri ini. Jika guru baik, maka pelajar akan baik, begitu pula sebaliknya.

Mentalitas malas harus dibuang jauh-jauh jika kita ingin menjadi bangsa yang maju. Begitu juga dengan kedisiplinan. Itu harus dilakukan di segala bidang, mulai dari disiplin bekerja, berkendara dan sebagainya. Idul Fitri seharusnya bisa menjadi momen untuk merevolusi diri. Bukan hanya bagi umat muslim, tapi juga bagi bangsa ini secara keseluruhan.

Itu sebabnya revolusi mental yang diusung Jokowi menemui korelasinya. Tentu hal itu harus berlaku untuk semua warga negara, mulai dari guru, pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, polisi, tentara, jaksa, hakim, seniman, petani, sopir, hingga nelayan. Kita harus membuang jauh-jauh mentalitas yang menghambat kemajuan, baik bagi diri sendiri maupun untuk bangsa ini secara keseluruhan.

Mental Guru
M Yudhie Haryono (2014) menjelaskan karakter manusia Indonesia saat ini adalah warisan kolonial. Ada puluhan karakter pemimpin dan pendidik di negeri dari warisan kolonial yang harus direvolusi. Beberapa karakter tersebut meliputi inlander, melupa, miopik (rabun), instan, pragmatis dan sebagainya. Jika karakter ini masih dimiliki manusia Indonesia terutama guru, maka Indonesia hanya mengalami kemerdekaan secara de jure dan tidak pernah de facto 100 persen.

Kita tahu, guru saat ini rata-rata berorientasi pada “recehan” belaka dan bukan pada spirit berjuang dan mencerdaskan bangsa. Padahal, tindakan yang dikerjakan karena dorongan “mencari untung” seringkali menyebabkan amoralisme dan disharmoni sosial. Tindakan angka-angka akan melenyapkan nilai-nilai. Lenyapnya nilai-nilai berakibat pada kapitalisme dan imperialisme (mencari untung sebanyak-banyaknya dengan membuat bangsa lain sengsara). Kolonialisme adalah hilir dari tindakan-tindakan mencari untung saja. Hulunya adalah keserakahan dan angka-angka yang mencetak manusia kaku dan hanya bergantung pada suplemen-suplemen semu.

Dalam riset lain, guru-guru di Indonesia masih mendera penyakit mental. Para guru di era digital seperti ini mengidap penyakit-penyakit seperti asal masuk kelas (Asma), asal sampaikan materi urutan kurang akurat (Asam Urat), di kelas anak-anak remehkan (Diare), gaji nihil jarang aktif dan terlambat (Ginjal), kurang disiplin (Kudis), kurang strategi (Kusta), kurang terampil (Kram), lemah sumber (Lesu), mutu amat lemah (Mual), tidak punya selera (Tipus), tidak bisa computer (TBC) dan sebagainya.

Penyakit-penyakit tersebut bukan saja menghambat kemajuan pendidikan, tetapi juga menjauhkan apresiasi dan interes masyarakat terhadap guru dan pendidikan. Semua guru dan calon guru sejak dini harus introspeksi atau berobat ke dokter akademik. Artinya, meskipun secara jasmani sehat, namun secara edukatif rohaniah masih banyak guru mendera penyakit-penyakit di atas.

Karakter dan penyakit di atas bukan karakter asli bangsa Indonesia. Sebab, menurut riset Mc Cain dan Mark Salter (2009) karakter asli manusia Indonesia adalah kejujuran, memiliki rasa hormat, autentisitas, kesetiaan, kerja sama, keberanian, berbudi luhur, kepatuhan, tanggung jawab, kendali diri, kepercayaan, kepatuhan, kelenturan, kerja keras, optimis, iman, cinta kasih, toleransi, unggul, ikhlas dan kepuasan hidup. Karakter tersebut tentu harus dimiliki guru, karena guru adalah sumber ilmu pengetahuan dan pijakan moral.

Revolusi Mental
Revolusi mental guru urgen dilakukan. Hal itu bisa dilakukan dengan beberapa formula. Pertama, revolusi mental yang diusung Jokowi-JK juga bisa menjadi salah satu formula membangun sistem pendidikan. Mental manusia Indonesia harus direvolusi, namun yang paling utama adalah “guru dan pemimpin”.

Revolusi mental guru juga harus memprioritaskan pembentukan karakter. Artinya, tidak hanya menjadi jalan penyaluran ilmu pengetahuan duniawi, tapi juga penanaman nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan budi pekerti. Apalagi, dalam konsep revolusi mental terdapat pendidikan yang dikembangkan dengan memuat nilai keagamaan moderat, inklusif, dan toleran.

Kedua, konsep revolusi mental bisa menjadi jalan meredam masuknya paham radikal ke Indonesia, salah satunya melalui perbaikan sistem pendidikan. Revolusi mental yang menjadi konsepsi Capres terpilih Jokowi akan menjadi jalan meredam paham radikal yang masuk ke Indonesia. Paham radikal harus ditangani secara komprehensif lewat perbaikan sistem pendidikan karena pendidikan merupakan fondasi utama pembentukan mental manusia.

Ketiga, lewat revolusi mental guru, inti permasalahan pendidikan akan terurai. Bahkan, menurut Juru Bicara Tim Pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) Hasto Kristiyanto menyatakan gagasan revolusi mental yang diusung Jokowi adalah cara yang paling efektif bagi Indonesia menyalip kemajuan Singapura dan Malaysia. Sebab, revolusi mental bukan hanya demi memajukan pendidikan tetapi juga memperkuat karakter anak bangsa (Kompas, 3/7/2014). Revolusi Mental adalah solusi mengakar atas rendahnya SDM Indonesia sehingga dengan mudah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia dan Singapura.

Revolusi Mental ala Jokowi adalah membangun manusia yang berkepribadian Indonesia: Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berperikemanusiaan; memilliki tradisi musyawarah mufakat; bergotong royong dan selalu memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial. Revolusi mental adalah menyiapkan manusia Indonesia yg berkarakter, sehat, cerdas dan berdaya guna untuk kepentingan bangsanya. Tentu hal itu diproduksi lewat pendidikan dari tingkat SD sampai perguruan tinggi.

Bentuk konkret revolusi mental adalah menempatkan guru sebagai salah satu tiang negara. Guru yang mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan kualitas didiknya karena tugas mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pada saat bersamaan kesejahteraannya juga harus ditingkatkan. Dengan begitu, revolusi mental diciptakan melalui pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Banyak hal yang perlu direvolusi, namun yang paling utama adalah mental guru. Karena guru adalah sumber ilmu dan pengetahuan, tanpa dua hal itu maka kemajuan hanya impian. Jadi, kemajuan pendidikan menjadi awal kemajuan bangsa dan hal itu harus dilakukan lewat revolusi mental guru. Revolusi bukan segalanya, namun segalanya bisa berawal dari sana.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Revolusi Mental Guru Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda