Oleh Hamidulloh Ibda
Pendiri Smarta School Semarang, Peneliti Pendidikan Dasar pada Program
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang
Tulisan ini dimuat Koran Muria, 1 September 2014
Mental guru maupun calon guru di negeri ini harus direvolusi. Itu
menjadi penting ketika kita melihat realita pendidikan saat ini. Jika dikaitkan
dengan konsep revolusi mental yang didentumkan Jokowi, maka konsep revolusi
mental menjadi salah satu formula mencetak guru berkualitas dan menggeliatkan
harapan bangsa.
Mengapa harus mental guru? Karena guru menjadi poros utama memajukan
pendidikan Indonesia. Dalam rumus internal Islam, guru menjadi penentu masa
depan bangsa. Maka dari itu, revolusi mental guru sangat urgen dilakukan. Hal
itu tentu berkaitan dengan karakter, moral, cara berpikir dan logika bertindak
guru.
Seperti kita ketahui, masyarakat kita saat ini cenderung malas dan
kurang disiplin. Dalam kasus libur Lebaran seperti kemarin, misalnya, tak hanya
PNS, guru, pegawai swasta pun banyak yang suka membolos meski masa cutinya
telah berakhir. Mereka kerap kali menuntut hak tanpa sadar akan fungsi dan
tanggung jawabnya.
Oleh karena itu, revolusi mental yang dicanangkan Jokowi harus dimulai
dari diri sendiri, terutama bagi pendidik di negeri ini. Sebab, guru menjadi
contoh bagi semua pelajar di negeri ini. Jika guru baik, maka pelajar akan
baik, begitu pula sebaliknya.
Mentalitas malas harus dibuang jauh-jauh jika kita ingin menjadi bangsa
yang maju. Begitu juga dengan kedisiplinan. Itu harus dilakukan di segala
bidang, mulai dari disiplin bekerja, berkendara dan sebagainya. Idul Fitri
seharusnya bisa menjadi momen untuk merevolusi diri. Bukan hanya bagi umat
muslim, tapi juga bagi bangsa ini secara keseluruhan.
Itu sebabnya revolusi mental yang diusung Jokowi menemui korelasinya.
Tentu hal itu harus berlaku untuk semua warga negara, mulai dari guru, pelajar,
mahasiswa, pegawai negeri, polisi, tentara, jaksa, hakim, seniman, petani,
sopir, hingga nelayan. Kita harus membuang jauh-jauh mentalitas yang menghambat
kemajuan, baik bagi diri sendiri maupun untuk bangsa ini secara keseluruhan.
Mental Guru
M Yudhie Haryono (2014) menjelaskan karakter manusia Indonesia saat ini
adalah warisan kolonial. Ada puluhan karakter pemimpin dan pendidik di negeri
dari warisan kolonial yang harus direvolusi. Beberapa karakter tersebut
meliputi inlander, melupa, miopik (rabun), instan, pragmatis dan sebagainya.
Jika karakter ini masih dimiliki manusia Indonesia terutama guru, maka
Indonesia hanya mengalami kemerdekaan secara de jure dan tidak pernah de
facto 100 persen.
Kita tahu, guru saat ini rata-rata berorientasi pada “recehan” belaka
dan bukan pada spirit berjuang dan mencerdaskan bangsa. Padahal, tindakan yang
dikerjakan karena dorongan “mencari untung” seringkali menyebabkan amoralisme
dan disharmoni sosial. Tindakan angka-angka akan melenyapkan nilai-nilai.
Lenyapnya nilai-nilai berakibat pada kapitalisme dan imperialisme (mencari
untung sebanyak-banyaknya dengan membuat bangsa lain sengsara). Kolonialisme
adalah hilir dari tindakan-tindakan mencari untung saja. Hulunya adalah
keserakahan dan angka-angka yang mencetak manusia kaku dan hanya bergantung
pada suplemen-suplemen semu.
Dalam riset lain, guru-guru di Indonesia masih mendera penyakit mental.
Para guru di era digital seperti ini mengidap penyakit-penyakit seperti asal
masuk kelas (Asma), asal sampaikan materi urutan kurang akurat (Asam Urat), di
kelas anak-anak remehkan (Diare), gaji nihil jarang aktif dan terlambat (Ginjal),
kurang disiplin (Kudis), kurang strategi (Kusta), kurang terampil (Kram), lemah
sumber (Lesu), mutu amat lemah (Mual), tidak punya selera (Tipus), tidak bisa
computer (TBC) dan sebagainya.
Penyakit-penyakit tersebut bukan saja menghambat kemajuan pendidikan,
tetapi juga menjauhkan apresiasi dan interes masyarakat terhadap guru dan
pendidikan. Semua guru dan calon guru sejak dini harus introspeksi atau berobat
ke dokter akademik. Artinya, meskipun secara jasmani sehat, namun secara
edukatif rohaniah masih banyak guru mendera penyakit-penyakit di atas.
Karakter dan penyakit di atas bukan karakter asli bangsa Indonesia.
Sebab, menurut riset Mc Cain dan Mark Salter (2009) karakter asli manusia
Indonesia adalah kejujuran, memiliki rasa hormat, autentisitas, kesetiaan,
kerja sama, keberanian, berbudi luhur, kepatuhan, tanggung jawab, kendali diri,
kepercayaan, kepatuhan, kelenturan, kerja keras, optimis, iman, cinta kasih,
toleransi, unggul, ikhlas dan kepuasan hidup. Karakter tersebut tentu harus
dimiliki guru, karena guru adalah sumber ilmu pengetahuan dan pijakan moral.
Revolusi Mental
Revolusi mental guru urgen dilakukan. Hal itu bisa dilakukan dengan
beberapa formula. Pertama, revolusi mental yang diusung Jokowi-JK juga bisa
menjadi salah satu formula membangun sistem pendidikan. Mental manusia
Indonesia harus direvolusi, namun yang paling utama adalah “guru dan pemimpin”.
Revolusi mental guru juga harus memprioritaskan pembentukan karakter.
Artinya, tidak hanya menjadi jalan penyaluran ilmu pengetahuan duniawi, tapi
juga penanaman nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan budi pekerti. Apalagi,
dalam konsep revolusi mental terdapat pendidikan yang dikembangkan dengan
memuat nilai keagamaan moderat, inklusif, dan toleran.
Kedua, konsep revolusi mental bisa menjadi jalan meredam masuknya paham
radikal ke Indonesia, salah satunya melalui perbaikan sistem pendidikan.
Revolusi mental yang menjadi konsepsi Capres terpilih Jokowi akan menjadi jalan
meredam paham radikal yang masuk ke Indonesia. Paham radikal harus ditangani
secara komprehensif lewat perbaikan sistem pendidikan karena pendidikan
merupakan fondasi utama pembentukan mental manusia.
Ketiga, lewat revolusi mental guru, inti permasalahan pendidikan akan
terurai. Bahkan, menurut Juru Bicara Tim Pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) Hasto Kristiyanto menyatakan gagasan revolusi mental yang diusung
Jokowi adalah cara yang paling efektif bagi Indonesia menyalip kemajuan
Singapura dan Malaysia. Sebab, revolusi mental bukan hanya demi memajukan
pendidikan tetapi juga memperkuat karakter anak bangsa (Kompas, 3/7/2014).
Revolusi Mental adalah solusi mengakar atas rendahnya SDM Indonesia sehingga
dengan mudah Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia dan Singapura.
Revolusi Mental ala Jokowi adalah membangun manusia yang berkepribadian
Indonesia: Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berperikemanusiaan; memilliki
tradisi musyawarah mufakat; bergotong royong dan selalu memperjuangkan
terwujudnya keadilan sosial. Revolusi mental adalah menyiapkan manusia Indonesia
yg berkarakter, sehat, cerdas dan berdaya guna untuk kepentingan bangsanya.
Tentu hal itu diproduksi lewat pendidikan dari tingkat SD sampai perguruan
tinggi.
Bentuk konkret revolusi mental adalah menempatkan guru sebagai salah
satu tiang negara. Guru yang mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk
meningkatkan kualitas didiknya karena tugas mulia untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, pada saat bersamaan kesejahteraannya juga harus ditingkatkan. Dengan
begitu, revolusi mental diciptakan melalui pemerintahan yang bersih dan bebas
korupsi.
Banyak hal yang perlu direvolusi, namun yang paling utama adalah mental
guru. Karena guru adalah sumber ilmu dan pengetahuan, tanpa dua hal itu maka
kemajuan hanya impian. Jadi, kemajuan pendidikan menjadi awal kemajuan bangsa
dan hal itu harus dilakukan lewat revolusi mental guru. Revolusi bukan
segalanya, namun segalanya bisa berawal dari sana.
0 komentar:
Post a Comment